Ini Tiga Faktor Masyarakat Mudah Terpapar Virus Narasi Radikal Agama  

oleh -
Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Dr. H. Andi Aderus, Lc., M.A. (Foto: Ist)

Makassar, JENDELANASIONAL.ID — Indonesia dengan berbagai potensi keberagaman dan kekayaan yang dimilikinya dianggap sebagai sasaran empuk kelompok radikal untuk menyebarkan paham transnasional yang bertentangan dengan falsafah bangsa ini. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengeksploitasi sentimen agama sebagai senjata untuk memecah belah kerukunan dan solidaritas masyarakat.

Mirisnya, pola narasi ini kerap kali berhasil menciptakan kegaduhan ditengah masyarakat, sehingga perlu adanya kewaspadaan akan narasi radikal yang memecah belah masyarakat dengan menunggangi isu agama.

Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Dr. H. Andi Aderus, Lc., M.A, menyayangkan fenomena yang terjadi saat ini terkait merebaknya narasi radikal yang kerap kali menunggangi isu agama. Ia menilai fenomena ini terjadi akibat faktor-faktor yang mempengaruhi lemahnya kewaspadaan masyarakat terhadap narasi-narasi yang memecah belah kerukunan dan solidaritas bangsa.

“Pertama, kelompok radikal punya trik tersendiri yaitu menyasar masyarakat yang wawasan keagamaannya kurang sehingga mudah diberikan narasi keagamaan yang menyimpang. Kedua, terhadap orang yang terlalu semangat beragama,” ujar Dr. H. Andi Aderus, Lc., MA., di Makassar, Jumat (5/11/2021).

Lalu ketiga, yang melatarbelakangi mudahnya masyarakat terpapar narasi radikal adalah kebiasaan masyarakat dalam menilai sesuatu hanya dipermukaannya saja tanpa mempelajari maksud dan tujuan suatu kelompok atau narasi yang beredar.

Menurutnya, masyarakat mudah terkesan dengan label-label yang ditampilkan dan ditawarkan seperti misalnya Syariah, Islam, Sunnah dan lain sebagainya tanpa mengkajinya lebih dalam.

“Padahal yang diperlukan disini adalah kajian yang lebih mendalam dan pendapat para ulama. Oleh karena itu, yang paling penting adalah bagaimana pandangan para ahli. Kita sering dengar narasi radikal berkedok ‘Kembali ke Al-Quran dan Sunnah’, padahal tidak semua masalah itu secara teks ada dalam alquran dan sunah tetapi itu perlu pendekatan dan penafsiran ahli,” ungkapnya.

Lebih lanjut, pria yang juga menjabat sebagai pimpinan Pondok Pesantren Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI) Pattojo, Kabupaten Soppeng ini kembali menegaskan perlunya penalaran, penafsiran dan pemahaman yang melatarbelakangi suatu ayat atau hadits diturunkan agar tidak menimbulkan kemunkaran.

“Nah inilah kenapa harus ada pemahaman yang mendalam terhadap sesuatu, tidak boleh ayat atau hadits diamalkan secara langsung dan begitu saja, kita perlu melihat pandangan para ulama disitu. Jadi banyak yang termakan narasi radikal karena ketidaktahuan orang yang didoktrin,” tegasnya.

Disisi lain, Andi juga menilai keberagaman dan kekayaan bangsa ini menjadi faktor pendorong Indonesia menjadi sasaran empuk kelompok radikal. Latar belakang kesukuan, budaya dan agama yang mencolok itulah yang kerap menjadi isu yang digunakan untuk narasi perpecahan, termasuk isu anti-nasionalisme yang juga menolak kearifan lokal dengan membenturkan antara nasionalisme dan agama.

“Ini yang luput dari pandangan kaum radikal, bahwa sesungguhnya Rasulullah dari awal telah membangun nasionalisme dengan keberagaman suku dan agama yang disatukan dalam piagam Madinah. Saya rasa nilai yang seperti itulah yang juga ditanamkan oleh para pendahulu kita,” ujar pria yang juga menjabat sebagai menjadi Ketua ICATT (Ikatan Cendekiawan Alumni Timur Tengah) periode 2020-2024 ini.

Selain itu Andi juga menyinggung peran para tokoh agama dan masyarakat dalam rangka menanggulangi dan memperkuat kewasapadaan masyarakat terhadap narasi radikal. Menurutnya para tokoh agama dan tokoh masyarakat dapat turut berperan dengan mengkaderisasi anak muda untuk ikut menjadi da’i atau pemuka agama yang nantinya hadir ditengah masyarakat untuk menyebarkan narasi agama yang moderat.

“Perlu adanya kaderisasi da’i wasatiyah atau dai moderat, karena narasi radikal dengan isu agama bisa dilawan dengan cara hadirnya da’i moderat yang memiliki wawasan wasatiyah di tengah masyarakat. Sebab kalau tidak, ibarat virus, maka ini akan menjalar terus sehingga perlu ada obat dan antivirus,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Andi mengapresiasi peran pemerintah saat ini yang salah satunya BNPT telah membentuk Gugus Tugas Pemuka Lintas Agama dengan menggandeng para tokoh lintas agama untuk melawan narasi radikal dengan moderasi beragama yang menyejukkan.

“Jadi, sekarang ini pemerintah sudah berperan dengan berbagai macam hal termasuk apa yang dilakukan BNPT melalui Gugus Tugas dan ini merupakan hal yang harus dipertahankan demi keamanan negara,” ujar pria yang juga anggota Gugus Tugas Pemuka Lintas Agama BNPT ini

Apresiasi Langkah Bentuk Gugus Tugas Pemuka Lintas Agama

Menurutnya,  langkah BNPT dengan membentuk Gugus Tugas Pemuka Lintas Agama merupakan langkah yang tepat dan perlu dipertahankan, karena ia meyakini bahwa untuk memberantas ideologi radikal tidak cukup hanya dengan tindakan penegakan hukum (hard approach) semata, namun perlu adanya langkah penguatan ideologi kebangsaan dan narasi agama.

“Tidak cukup jika radikalisme ini dilakukan dengan tindakan (hard approach) saja, karena ini menyangkut ideologi. Sehingga harus dilawan dengan pemahaman dan penguatan ideologi kebangsan dan narasi agama, karena radikalisme perlu dibasmi hingga ke akarnya,” katanya.

Sebagai salah satu pimpinan Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI), Andi juga menjelaskan program yang dilakukan oleh DDI dalam menangkal narasi dan ideologi radikal yang mencoba menyusup kedalam lingkungan pesantren, yang mana tidak sesuai dengan komitmen dan nilai-nilai dalam Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI).

“Saat ini kami mencoba mencegah dan membersihkan guru yang pemahaman keagamaaannya tidak wasathiyah supaya tidak menyebarkan virus kepada santri, dengan memberi pelatihan moderasi beragama,” ujarnya mengakhiri. ***