Islamopobia Mekanisme Pertahanan Kelompok Radikal Ketika Dikritik

oleh -
Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi, M.Si. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Istilah Islamophobia sejatinya merujuk pada pandangan yang menilai bahwa umat muslim adalah ancaman yang berbahaya, miris dan menyedihkan. Baru-baru ini, istilah islamophobia mulai menyeruak kembali seiring dengan terungkapnya data pesantren terafiliasi jaringan terorisme dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Pemerintah pun langsung dihujani tuduhan dengan dianggap Islamophobia atau anti Islam.

Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi, M.Si, mengatakan perlu meluruskan makna terminologi Islamophobia, yang dewasa ini sering dipakai oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk memojokkan pemerintah dan memecah belah umat.

“Islamophobia ini deskripsi sosiologis terhadap gejala bagaimana orang-orang mayoritas barat memandang Islam sebagai ancaman, Islamophobia tidak ada di Indonesia. Ini kekeliruan representasi,” ujarnya seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT, di Jakarta, Jumat (11/2/2022).

Menurut Mujtaba, fenomena Islamophobia sebagai akibat munculnya sebagian kecil orang muslim yang menyalahgunakan ajaran keagamaan untuk tindakan kekerasan dan melakukan kebencian terhadap mereka yang berbeda. Juga untuk melakukan tindakan teror, sehingga tergeneralisir bahwa umat Islam adalah ancaman.

“Di Indonesia, penggunaan term Islamophobia justru bertujuan untuk membela perilaku kekerasan atau kebencian terhadap yang lain yang dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam, jadi ini ada fenomena kebalikan,” jelasnya.

Mujtaba menyayangkan fenomena tersebut. Terlebih kelompok radikal memang cenderung sering melakukan playing victim ketika dikritik atas tindakan mereka yang menyebarkan kebencian atas nama ajaran agama.

“Mereka menggunakan terminologi Islamopobia untuk menjustifikasi kebencian terhadap orang lain. Ketika dikritik (atas perbuatannya), mereka malah playing victim,” ungkapnya.

Ia menegaskan, sejatinya yang menuai kritik tersebut bukanlah Islam sebagai sebuah agama, namun oknum yang mengatasnamakan Islam. Hal inilah yang menurutnya harus dipahami oleh masyarakat.

“Bukan Islamnya, tapi tindakan mereka itulah yang harusnya dikritik,” tegasnya.

Namun, Mujtaba melihat adanya permainan psikologis yang dimainkan oleh kelompok radikal sebagai upaya untuk menimbulkan perpecahan dan memojokkan pemerintah atas kebijakan yang dibuat.

”Ada permainan psikologis yang mereka mainkan. Yang pertama, menggunakan terminologi persatuan umat. Kedua, Islamopobia ini adalah defense mechanism mereka ketika mereka dikritik atas perbuatannya,” tuturnya.

Ia menjelaskan, pola pergerakan kelompok radikal adalah dengan menciptakan ketidakharmonisan di tengah masyarakat. Lalu dilanjutkan dengan meminta pembelaan atas nama kesatuan umat Islam. Dan puncaknya adalah dengan menganggap siapapun yang tidak membela dan mengkritik adalah Islamopobia.

”Padahal di Indonesia sendiri tidak ada gejala sosial yang merujuk pada praktik Islamopobia. Muslim sebagai mayoritas justru sangat difasilitasi oleh negara,” ujarnya.

Selama ini, ungkapnya, pemerintah dengan segala sumber daya yang ada sangat memfasilitasi baik muslim maupun seluruh penganut agama yang lain untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya masing-masing.

“Bagaimana pemerintah Islamopobia kalau pemerintah juga banyak memfasilitasi umat Islam, dari mulai urusan haji, memberi pendanaan untuk tempat ibadah, bahkan pendidikan juga difasilitasi, dan lain sebagainya” tuturnya.

 

Perlu Strategi Konkrit dan Efektif

Jebolan Pasca Sarjana Antropologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Indonesia (Fisip UI) menilai perlu adanya startegi yang konkrit dan efektif untuk memberantas oknum-oknum yang kerap menyalahartikan istilah Islamopobia untuk membuat kericuhan di tengah masyarakat.

“Perlu edukasi publik untuk memperlihatkan sesungguhnya seperti apa gejala yang merujuk pada Islamophobia, agar tidak digunakan diluar konteksnya,” jelasnya.

Di level konkrit, ia menuturkan perlu adanya tindakan serius dari pemerintah bagi mereka yang menyebarkan ajaran kebencian di lokasi peribadatan atas nama agama, sambil mengajarkan untuk membenci yang berbeda bahkan pada titik tertentu membenci pemerintah yang sah.

Pertama, soft approach yaitu menandingi narasi mereka dengan ajaran yang toleran, moderat, perdamaian sebagai inti dari ajaran islam. Selain itu juga perlu ajaran yang mencerminkan perdamaian.

Kedua, melakukan pendekatan hard approach. Menurutnya hal itu perlu dilakukan ketika seseorang melanggar hukum. Rule Of Law harus dijalankan. “Apalagi kalau sudah pelanggaran hukum menginfiltrasi kekerasan, memancing orang untuk melakukan kebencian terhadap yang berbeda,” ujarnya.

Terakhir, Mujtaba menjelaskan bahwa ia bersama dengan Wahid Foundation masih konsisten untuk terus mengawal penyebaran Islam yang damai, melalui dari berbagai lini dalam rangka mewarnai ruang digital dengan narasi dan konten positif untuk meng-counter narasi intoleransi.

“Kita terus konsisten dalam menyebarkan Islam yang damai melalui berbagai lini, mulai dari masuk langsung ke desa, sekolah, hingga ke ranah digital, bekerja sama dengan semua pihak, kita warnai ruang digital kita dengan narasi positif,” jelasnya. ***