Isu Islamophobia Sarat Akan Kepentingan Politik  

oleh -
Ketua bidang Agama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) provinsi Lampung, Ustadz H.Suparman Abdul Karim, S.Ag, M.Pd.I. (Foto: ist)

Bandar Lampung, JENDELANASIONAL.ID – Narasi Islamophobia di Indonesia kerap tercium bersifat politis dan dianggap sebagai upaya playing victim kelompok radikal. Kelompok radikal memanfaatkan narasi tersebut untuk melemahkan segala hal yang berkaitan dengan pemberantasan kelompok radikal. Sebab, dengan memainkan narasi itu, mereka percaya bahwa akan jauh lebih mudah menyulut api amarah umat.

Ketua bidang Agama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) provinsi Lampung, Ustadz H.Suparman Abdul Karim, S.Ag, M.Pd.I, menilai, narasi islamophobia dengan memposisikan diri dan kelompoknya seolah korban kebijakan negara yang dianggap dzalim sejatinya merupakan isu yang berulang dan tidak strategis yang digelontorkan oleh kelompok ‘pecundang’.

“Ini isu yang berulang. Sifatnya berulang dan tidak strategis. Tapi bagi mereka yang pecundang sebetulnya juga inferior, ya mungkin ini sudah menjadi hiburan bagi mereka, melakukan playing victim, merasa terzalimi dan lain sebagainya,” ujar Ustadz Suparman di Bandar Lampung, Jumat (2/9/2022).

Dirinya melanjutkan, maraknya kemunculan narasi ini dinilai karena kelompok radikal kerap menganggap hal ini sebagai isu yang paling efektif untuk menjaring simpati massa yang mayoritasnya penganut agama Islam.

“Karena inilah yang paling efektif untuk menyulut sensitifitas massa, yang mayoritas di negara Indonesia ini beragama Islam. Dikatakan laku ya tentunya laku hanya bagi kelompok mereka saja,” ucap anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) provinsi Lampung ini.

Tokoh yang dikenal dengan ceramah kritis terkait isu radikal dan terorisme ini juga menganggap isu islamophobia amat sarat akan kepentingan politik. Khususnya oleh kelompok politik yang kerap menggunakan label keislaman. Ia menilai, kekalahan kelompok tersebut dipentas politik menjadi pemicu sikap playing victim mereka.

“Bisa diibaratkan seperti para pecundang yang tidak ksatria untuk  mengakui kekalahannya  atau seperti anak kecil yang kurang perhatian. Ini menguat menjadi sebuah kepentingan bersama dari beberapa kelompok politik yang merasa terkalahkan,” kata Owner and Founder Di Sedekah Seribu Sehari ini.

 

Dua Hal yang Harus Dipatahkan

Oleh karena itu, Ust. Suparman menilai setidaknya ada dua hal yang mesti diupayakan guna mematahkan narasi islamophobia yang kerap kali berkembang di tengah masyarakat.

“Yang mesti kita patahkan pada kenyataannya di negara yang mayoritas muslim ini tidak ada sama sekali orang yang ketakutan terhadap Islam. Kita yang mayoritas muslim ini hidup tenang tenang saja, berislam dengan baik-baik saja,” jelasnya.

Islamophobia sejatinya adalah isu yang dikembangkan di negara barat, pasca peristiwa runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon. Orang-orang non-muslim yang mayoritas di Amerika Serikat belum paham betul tentang Islam. Mereka menjadi ketakutan seolah-olah Islam ini mengajarkan radikalisme dan terorisme.

Kedua, pada kenyataannya yang terjadi ini adalah banyak yang mengajarkan ajaran radikal, dan mengarah kepada aksi terorisme dan intoleransi, tapi membalutnya sebagai ajaran Islam. Lalu ketika dikritik, mereka malah memutarbalikkan hal tersebut sebagai bentuk dari intoleransi dan islamophobia.

Ustadz Suparman menguraikan, intinya semua pihak harus berani mematahkan narasi kelompok radikal sesuai dengan narasi yang mereka bawa, dengan fakta dan dasar yang benar serta relevan.

“Hal-hal yang berasal dari pengaburan fakta akan terus digoreng guna menakut-nakuti khalayak ramai. Kalau ini dibiarkan terus maka akan dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran,” tutur Ustadz Suparman.

Untuk itu, ia berharap ada ketegasan dari pemerintah untuk menertibkan hal ini melalui regulasi yang tepat, mengingat hal ini justru dapat menjadi ancaman terhadap persatuan bangsa.

“Ini sebetulnya yang harus dipertegas. Pemerintah harus lebih tegas dalam membuat aturan. Kerena playing victim ini ujung-ujungnya bermuara kepada fitnah, penyebaran berita bohong atau hoax. Hukum harus dikuatkan,” kata ustaz Suparman. ***