Jaga Persatuan di Tengah Keragaman, Pengamat Ini Tawarkan Resep ‘3B’  

oleh -
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Dr. Devie Rahmawati, S.Sos., M.Hum. (Foto: Humas Pusat Media Damai BNPT)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman, salah satunya agama. Saat ini ada enam agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Karena itu, semua warga negara dituntut untuk mampu saling bertoleransi satu sama lain, mengingat toleransi dapat mewujudkan kehidupan yang rukun dan damai.

Karena toleransi sejatinya bukan untuk saling bertukar kepercayaan dengan penganut agama lain, namun lebih dari itu toleransi memiliki makna hidup berdampingan dan saling menghormati.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Dr. Devie Rahmawati, S.Sos., M.Hum mengutarakan bahwa ada resep dalam merawat dan menumbuhkan sikap toleransi sebagai wujud menjaga persatuan ditengah pluralisme dan keberagaman yang dimiliki bangsa ini. Resep itu disebutnya dengan “3 B”. 

“Pertama, kita ini harus lebih banyak bersyukur. Karena ditengah beragamnya suku, agama, ras, bahasa, budaya yang dimiliki bangsa ini, kita ini masih dalam kondisi yang sangat harmoni,” ungkap Dr. Devie Rahmawati di Jakarta, Kamis (9/9/2021).

Wanita yang juga pernah menjabat menjadi Ketua Program Studi (Prodi) Vokasi Komunikasi UI ini melanjutkan bahwa masyarakat dapat belajar dari kondisi negara lain yang ada di Timur Tengah yang bahkan memiliki kesamaan sejarah, juga bahasa, namun terus berada dalam pusaran konflik berkepanjangan.

“Kedua adalah memang untuk bisa memahami bagaimana hidup dalam perbedaan, kita memang harus membiasakan diri untuk hidup bersama dengan orang-orang yang berbeda,” ujar perempuan kelahiran Jakarta, 1982 silam tersebut seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Mengingat sejak tahun 2020 lalu, seluruh negara di dunia dilanda pandemi Covid-19 yang memaksa masyarakat untuk tidak berkegiatan di luar rumah. Mengingat masifnya penyebaran virus tersebut sehingga Devie pun menilai masyarakat bak hidup di dua alam yaitu online dan offline.

Kecanggihan teknologi informasi, dengan segala tools-nya, telah memanjakan penggunanya untuk memilih hidup di ruang-ruang yang mereka sukai saja, yang justru menjadi homogen. Ini kemudian, membuat masyarakat menjadi sensitif dan sukar menerima perbedaan, karena larut dalam pergaulan yang homogen di ruang digital.

“Dan yang ketiga adalah belajar terus untuk mengenal dan saling menerima perbedaan. Karena ketika sudah bertemu dengan orang yang berbeda, tetapi tidak berusaha memahami orang yang berbeda tersebut, tentunya keharmonisan sulit tercapai,” tuturnya.

 

Tahapan Toleransi

Perempuan yang meraih gelar Doktoral dari Universitas Padjadjaran dan Swansea University Inggris ini menyampaikan, bahwa untuk memahami perbedaan di atas tadi tidak cukup hanya melalui teori semata. Namun perlu dipraktikkan salah satunya dengan membiasakan diri bertemu, berinteraksi dan  berada dalam lingkungan dengan orang-orang yang berbeda-beda, baik dari segi agama, suku, ras, pekerjaan dan sebagainya. Sehingga ia akan memiliki pengalaman untuk mengenali dan memahami indahnya perbedaan.

“Jadi tahapannya ialah 4P, agar masyarakat bisa toleran dengan perbedaan. Pertama nggak cukup hanya lewat pengetahuan, tapi juga harus punya pengalaman sehingga kemudian punya pemahaman. Sehingga ujungnya adalah ‘P’ yang terakhir, dimana Anda memiliki penerimaan  terhadap perbedaan yang ada,” ujarnya.

Terkait praktik intoleransi yang kian hari menjamur di tengah masyarakat, Devie berpendapat motif dan justifikasi terkait munculnya praktik intoleransi sendiri dikarenakan sifat manusia yang cenderung mencari kenyamanan yang mana hal tersebut didapatkan ketika berada ditengah lingkungan dan masyarakat yang memiliki ‘persamaan’.

“Manusia itu pada dasarnya akan mencari kenyamanan. Memang akan menjadi lebih ‘nyaman’ kalau kemudian kita hanya berbicara, bersama, berdekatan dengan orang yang menurut kita sama.  Tapi hal itu tidak akan membangun peradaban di antara sesama manusia, karena Tuhan-lah yang menciptakan adanya perbedaan itu,” kata Devie.

Wanita yang pernah menjabat sebagai Direktur Kemahasiswaan UI ini pun menambahkan, kenyamanan tersebut bukanlah berarti keamanan untuk peradaban. Karena hal tersebut cenderung membuat seseorang  lari dari kemanusiaan dan menolak rahmat yang Tuhan berikan melalui penciptaan manusia yang berbeda-beda dari fisik, wilayah, kemampuan dan lainnya.

Untuk itulah, Devie pun menyarankan langkah strategis yang bisa dilakukan oleh para tokoh masyarakat dan pemuka agama agar bisa bersama-sama mengikis intoleransi di negeri ini demi mewujudkan Indonesia yang harmoni.

“Para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda  harus menjadi teladan. Apa sih maksudnya teladan di sini? Mempraktekkan lelaku toleransi, agar masyarakat dapat langsung menirunya, dan pelan – pelan merasakan manfaat dari damainya perbedaan,” ucap perempuan yang juga Praktisi komunikasi di bidang Public Relations (PR) ini.

Terakhir, Devie berpesan kepada seluruh masyarakat bahwa kunci dari kemajuan bangsa ialah, kemampuan kita berdamai dengan realitas sosial. Bahwa kita dianugerahi surga perbedaan, yang akan menjadi kunci memimpin peradaban dunia.

“Tolerasi secara sederhana ialah kita berupaya memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain,” tutup Devie. ***