Jangan Pernah Negosiasi dengan Cina Terkait Natuna Utara

oleh -
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) dan Guru Besar Hukum Internasional UI, Prof Hikmahanto Juwana. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Sudah dapat diprediksi bahwa Pemerintah Cina akan menganggap sepi protes yang diajukan oleh pemerintah Indonesia (30/12) atas masuknya kapal Coast Guard mereka di ZEE Indonesia di Natuna Utara.

Hal ini mengingat Cina tidak menganggap adanya ZEE Indonesia di Natuna Utara.

Menurut Juru Bicara Kemlu Cina (31/12), Coast Guard Cina justru sedang menjalankan tugasnya melakukan patroli dan menjaga wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan Cina (traditional fishing right).

Juru bicara Kemlu Cina pun menyampaikan bahwa Cina hendak menyelesaikan perselisihan ini secara bilateral.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana meminta pemerintah Indonesia agar menolak rencana Cina tersebut.

“Rencana Cina tersebut harus ditolak oleh pemerintah Indonesia karena empat alasan,” ujar Hikmahanto melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (2/1/2020).

Pertama, katanya, bila Cina tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna Utara, demikian pula Indonesia harus tetap konsisten untuk tidak mengakui wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan Cina.

“Atas dasar sikap Indonesia ini, bagaimana mungkin Indonesia bernegosiasi dengan sebuah negara yang klaimnya tidak diakui oleh Indonesia?,” ujarnya.

Kedua, sikap Indonesia yang konsisten ini telah mendapat penegasan dari Permanent Court of Arbitration (PCA) dalam penyelesaian sengketa antara Filipina melawan Cina.

Dalam putusannya PCA tidak mengakui dasar klaim Cina atas 9 garis putus maupun konsep traditional fishing right. Menurut PCA dasar klaim yang dilakukan oleh pemerintah Cina tidak dikenal dalam UNCLOS dimana Indonesia dan Cina adalah anggotanya.

“Jangan sampai posisi yang sudah menguntungkan Indonesia dalam putusan PCA dirusak dengan suatu kesepakatan antar kedua negara,” ujar Hikmahanto.

Ketiga, Indonesia tidak mungkin bernegosiasi dengan Cina karena masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan 9 garis putus dan traditional fishing right yang diklaim oleh Cina.

Terakhir, jangan sampai pemerintah Indonesia oleh publiknya dipersepsi telah menciderai politik luar negeri yang bebas aktif.

Hikmahanto mengatakan, ketergantungan Indonesia atas hutang Cina tidak seharusnya dikompromikan dengan kesediaan pemerintah untuk bernegosiasi dengan pemerintah Cina.

“Justru bila perlu Presiden mengulang kembali bentuk ketegasan Indonesia di tahun 2016 dengan mengadakan rapat terbatas di Kapal Perang Indonesia di Natuna Utara,” pungkasnya. (Ryman)