Goris Lewoleba *)
Hari-hari belakangan ini, jagad Politik Indonesia sedang diwarnai oleh suasana residu Perhelatan Demokrasi dengan cita rasa Pragmatisme Politik.
Pasalnya, puncak kerinduan Pesta Demokrasi di negeri ini telah sampai pada Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, serta Pengumuman Kabinet yang direspons oleh sebagian masyarakat dengan suasana hati yang anti klimaks.
Walau sehari kemudian, nuansa itu kembali ceria dan dihiasi dengan Pengumuman Wakil Menteri untuk sebagian Kementerian, tetapi moment itu kerap masih direspons oleh sebagian pihak dalam sudut pandang yang pragmatis sebagai hiburan politik dan penawar rasa kecewa.
Dikatakan demikian karena, pertarungan politik untuk meperebutkan kekuasaan selama Pilpres antara dua kubu yang berlawanan secara diametral, telah dilakukan dengan amat sengit dan keras, bahkan cenderung brutal tanpa arah bagai singa lapar di padang gurun.
Pertarungan itu, telah menimbulkan banyak korban politik yang bersifat laten dan traumatis.
Korban politik dimaksud, telah pula dialami baik secara moral maupun material, bahkan sampai pada adanya korban jiwa yang tak mungkin akan dapat kembali seperti semula.
Sebagaimana kita ketahui dan alami bersama bahwa, pelaksanaan pesta Demokrasi Pemilu, terutama Pilpres telah dilakukan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik.
Sehubungan dengan itu, maka modus operandi yang demikian, telah menyebabkan terjadinya luka batin politik bagi masyarakat akar rumput karena mereka merasa telah menjadi korban politik dari para elit.
Situasi dan kondisi masyarakat pun sampai terbelah menjadi dua dengan diberi muatan sentimen Sara dengan warna yang amat tajam dan Radikalisme yang semakin menguat.
Hal ini disebabkan karena dalam setiap proses demokrasi, ternyata harapan yang ada di dalam hati, kerap kali memang tidak sesuai dengan kenyataan di depan mata.
Situasi dan risiko politik seperti itu, kadang karena memang demikian adanya, tetapi lebih sering terjadi karena by the sign, dan itulah Politik, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Ketika Pilpres berlangsung, masyarakat pemilih berikut para pendukung serta relawan telah bejuang secara hidup mati untuk memenangkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden pilihannya.
Dan karena itu, ketika pasangannya memenangkan pertarungan, maka akan disyukuri dengan penuh sukacita dan ketika mengalami kekalahan, maka hal itu mestinya diterima dengan lapang dada.
Politik dan Kompromi Kepentingan
Setelah penetapan Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk kemenangan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia untuk Periode Kedua, situasi Politik di tanah air justeru semakin panas membara.
Padahal, Prabowo sendiri sudah secara legowo meminta kepada para pendukungnya supaya tidak turun ke jalan dan tidak melakukan demo secara anarkis, serta menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi.
Hal ini memberikan indikasi bahwa telah muncul kedewasaan politik dan kematangan demokrasi di kalangan elit politik bangsa ini.
Semetara itu, dalam dinamika dan perkembangan situasi politik, terjadi serangkaian peristiwa politik yang mengejutkan publik melalui meeting politic yang bernuansa high context dengan modus Pertemuan Jokowi-Prabowo di MRT Lebakbulus.
Kemudian, Pertemuan berikut yang tak kala serunya dengan Jokowi-Prabowo di MRT, adalah Pertemuan fenomenal antara Prabowo-Megawati di Teuku Umar, sembari menyantap Nasi Goreng menu khas masakan Megawati sendiri.
Meskipun kedua tokoh ini adalah kawan lama, tetapi dengan momentum pasca Pilpres yang bernuasa sangat keras dan panas, maka tak ayal pula bahwa melalui serangkaian pertemuan para Tokoh Politik ini, telah dapat memberikan efek terhadap menurunya tensi politik di tanah air.
Namun demikian, dengan itu, justeru telah menimbulkan suatu tekanan politik baru dengan intensitas yang menyebabkan kegelisahan politik di kalangan Partai Politik Koalisi Pendukung Jokowi.
Pertemuan para elit politik ini, semakin memperkuat Fenomena Politik yang oleh Muhammad Qodari (2005), disebut sebagai “Fenomena Arus Atas dan Fenomena Arus Bawah”.
Fenomena ini semakin mewarnai jagad perpolitikan kontemporer kita.
Memperhatikan fenomena ini, sebetulnya bukan merupakan hal yang baru, karena seperti misalnya dalam Pemilu Legislatif dalam Pilkada model lama yang dipilih DPRD, koalisi yang lahir di tingkat lokal tidak selalu mencerminkan pola di tingkat Nasional.
Namun, baru pada era Pemilu Presiden dan Pilkada langsung inilah “fenomena politik arus atas dan arus bawah” ini menjadi nyata.
Secara teoritis, pengelompokan politik dirumuskan dalam aliran atau Ideologi tertentu yang sebetulnya meniscayakan pola-pola koalisi yang akan terjadi dalam realitas politik.
Oleh karena itu, pola koalisi akan bersifat lentur dan mencair bilamana situasi politik mengarah kepada suatu kepentingan bersama yang lebih kuat dan mantap atas dasar suatu urgensi soal kebangsaan yang lebih baik demi kepentingan Bangsa dan Negara yang lebih besar.
Dengan demikian, maka realitas politik Indonesia sejak dulu justeru sering berlawanan dengan teori yang ada. Partai-partai yang berbeda aliran kerap merapat satu sama lain, sejauh kepentingan politik nyata menjadi taruhannya.
Demikian juga, para elit politik, meski dalam perhelatan politik untuk meperebutkan kekuasaan telah dilakukan dengan cara yang amat sengit dan brutal, tetapi pada akhirnya demi suatu kepentingan dan keutuhan serta Persatuan dan Kesatuan masyarakat, bangsa dan negara yang jauh lebih besar, maka niscaya para Tokoh dan Elit Politik sudah tentu akan bersatu dan berbagi kekuasaan.
Lalu, muncul pertanyaan dalam nada gugatan yang menghentak, kalau demikian, untuk apa ada Pemilu ?
Memperhatikan narasi tersebut di atas, maka secara nalar, cukup logis untuk dipahami bahwa, “fenomena politik arus atas dan arus bawah” akan selalu mewarnai dinamika politik di Indonesia dalam level apapun.
Persoalanya, apakah pola dan fenomena Jokowi-Prabowo ini, merupakan hal yang positip atau negatip bagi masa depan politik Indonesia, terutama bagi Generasi Milenial ?
Hal penting yang perlu dilakukan oleh para elit adalah mengedukasi masyarakat, terutama Generasi Milenial dengan mengedepankan Etika Politik, agar dengan itu kita semua mengantisipasi, agar masyarakat tidak bersikap apatis terhadap politik, dan hendaklah mereka jangan kecewa terhadap Politik.
*) Goris Lewoleba adalah Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA