Jejak Cinta di Papua: Katakan Tanpa Kata-Kata

oleh -
Buku Jejak Cinta di Papua. (Foto: Ist)

Oleh : AM Putut Prabantoro*)

—————-

RESENSI BUKU

Judul:

JEJAK CINTA DI PAPUA

Potret Perjalanan Binmas Noken Satgas Nemangkawi 2018 – 2019

Penulis:

Brigjen Pol Dr Eko Rudi Sudiarto, SIK, M.Si  & Kristin Samah

Halaman :

XXXVI + 245

Tahun Terbit:

2021

Penerbit :

Gramedia Pustaka Utama

ISBN:

978-602-0-5479-9

Katakan Tanpa Kata-kata (Say No Word) adalah pesan moral dari buku ini.  “JEJAK CINTA DI PAPUA: Potret Perjalanan Binmas Noken Satgas Nemangkawi 2018-2019”  ditulis Brigjen Pol Eko Rudi Sudarto dan Kristin Samah. Eko Rudi Sudarto pada saat ini adalah WaKapolda Papua dan sebagian hidupnya diabdikan di tanah  Papua. Sementara Kristin Samah adalah penulis buku dan sekaligus wartawan senior yang pernah berkarya di Suara Pembaruan dan Sinar Harapan.

Buku ini bercerita, suka duka perjalanan Polri melalui Binmas Noken Satgas Nemangkawi yang mencintai masyarakat Papua meski berhadapan dengan berbagai tantangan dan ancaman. Nemangkawi adalah nama asli dari Puncak Jaya, Pegunungan Tengah, Papua. Kata “Noken” untuk menjelaskan spirit Polri dalam mengadakan komunikasi dan pendekatan hubungan dengan masyarakat Papua yang berpijak pada kearifan lokal (local wisdom). Pemilihan noken sebagai nama Binmas untuk memaknai bahwa tas tradisional itu sebagai tempat untuk menampung segala aspirasi, usulan, keluhan dan permasalahan yang untuk kemudian dicarikan solusinya.

Cinta kepada Papua perlu pemahaman mendalam. Papua adalah satu-satunya tempat di dunia dimana dua peradaban yakni zaman purba dan zaman nirkabel (modern) bertemu. Zaman purba ditandai dengan kehidupan honai, penggunaan kapak batu, panah, tombak dan tradisi bakar batu. Jangan heran jika suatu hari melihat orang mengenakan koteka tetapi pergi ke pasar dengan membawa handphone untuk berkomunikasi.

Papua terdiri dari 257 suku bangsa yang terbagi dalam tujuh wilayah adat. Meskipun merupakan kekayaan budaya, banyaknya bahasa sering menghambat komunikasi antar kelompok mengingat beda suku beda bahasa. Wilayah geografis Papua yang ekstrim dan sulit terutama di Pegunungan Tengah yang dihuni dua pertiga Orang Asli Papua (OAP) dan tidak memiliki akses mobilisasi yang menghubungkan antar kelompok dan wilayah. Anak-anak di wilayah ini adalah kelompok minoritas dan terisolasi.

Kegiatan Binmas  Noken merupakan soft approach (pendekatan lunak) Polri yang mengedepankan dialog, membantu peningkatan pendidikan, mewujudkan kesejahteraan serta peningkatkan pemahaman berbangsa dan bernegara. Jangan heran jika kemudian Binmas Noken menyatakan cintanya dengan cara membantu mengurus ayam, babi, kambing, beternak lebah untuk diambil madunya, melatih anak-anak Tae Kwon Do, membuat shibori- sistem pewarnaan ala Jepang yang berkonsep kain ikat dan celup, trauma healing bagi anak-anak dan perempuan papua serta Polisi pi ajar dll.

 

Brigjen Pol Eko Rudi Sudarto bersama anak-anak Papua. (Foto: Ist)

Surga Kecil

Noken identik dengan Papua.  Tas tradisional ini merupakan kerajinan tangan yang memiliki nilai estetika dan seni tinggi. Ide pembuatan noken ini konon berasal dari para missionaris / zending di zaman Belanda meski untuk menjadi ahli  harus melalui praktik berulang kali. Anak-anak Papua pernah merasakan hidup dalam noken dan mereka akan bergantian dengan anak-anak wam (babi).  Selain itu, mungkin pada hari lain noken berisi berbagai bahan pangan yang dibutuhkan. Noken adalah simbol identitas budaya yang oleh UNESCO di Paris pada 2012, diangkat sebagai warisan dunia.

Papua memang harus dicintai !  Menurut Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Papua adalah surga kecil yang jatuh ke bumi dengan seluruh keindahan budaya dan sumber kekayaan alamnya. Papua harus dijaga dan dilindungi dari seluruh ancanam maupun gangguan kamtibmas yang tidak dapat dihindari. Alasannya, Papua adalah anugerah bagi bangsa Indonesia yang oleh karenanya perlu menggunakan pendekatan kemanusiaan untuk memecahkan berbagai permasalahan agar keadilan terwujud.

Bagaimana mencintai Papua ? Charles “Chato” Toto, Jungle Chef kelahiran Papua, menyatakan keprihatinannya setelah kembali dari melanglang buana karena masyarakat Papua tidak lagi  mencintai sagu yakni bahan pangan asli Papua dan lebih memilih makan raskin (beras miskin). Bagi Chato, sagu adalah ibu kehidupan karena dari pohon inilah kehidupan masyarakat Papua berasal. Selain untuk bahan pangan, dari pohon sagu dapat dibuat noken, tiang rumah dan pemelihara air. Hutan bagi Chato adalah supermarket di mana kebutuhan hidup masyarakat Papua dapat dengan mudah terpenuhi. Sehingga tidak mengherankan, menurut Chato, persoalan di Papua seharusnya dapat diselesaikan melalui makan bersama. Ini mengingatkan peribahasa saat cinta bertemu, “asam di gunung dan garam di laut bertemu di belanga” dan jadilah papeda, makanan asli Papua.

Tanyakan pada Piter Tan jika ingin mengetahui bagaimana orang Papua mencintai. Pria ini mampu merebut hati orang Papua dengan kopi dan cintanya tak terlukiskan. Jatuh cinta terjadi ketika Piter Tan membuat masyarakat Papua yang sudah kenyang janji-janji itu, tergagap-gagap, speechless. Sesuai dengan janji, pria kelahiran Papua itu akan membeli kopi masyarakat Wamena 5x (kali) lebih mahal dari harga pasaran yang Rp 9.000, hanya dengan catatan agar pohon-pohon kopi dirawat. Janji itu dibuktikan Piter Tan. Buku ini juga mengisahkan Piter Tan hampir menangis karena didatangi seorang nenek yang berjalan kaki 15 km jauhnya sambil membawa berkilo-kilo kopi. Oleh karena itu, baginya, Papua adalah tanah penuh cinta.

 

Anak-anak Papua. (Foto: Ist)

Harus Bertumbuh

Cinta tetap harus bertumbuh meski tidak mudah. Diceritakan, salah satu penghambat cinta itu adalah masa lalu (sejarah) yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Menyinggung soal sejarah sangat mungkin mengundang berbagai reaksi termasuk nada suara yang meninggi. Oleh penulis dikatakan, jalan tak akan mantap, kepala tak akan tegak, kalau bayangan masa lalu masih menjadi beban. Sejarah di Papua sering hanya dimaknai proses integrasi Papua ke dalam NKRI. Padahal banyak peristiwa sejarah tidak dapat dilepaskan dari cinta yang pernah terjalin antara pemimpin Papua dan Indonesia di masa lalu.

Silo Karno (Sukarno) Doga, misalnya, adalah nama daerah dan sekaligus situs sejarah yang menjelaskan keeratan hubungan antara Soekarno, Presiden Republik Indonesia dan Silo Doga, Kepala Suku Besar yang mengepalai aliansi perang suku Dani di Lembah Baliem. Nama Soekarno diselipkan antara “Silo” dan “Doga” pada 1960 ketika Kepala Suku itu bertemu Presiden Soekarno dalam rangka Pepera. Sebagai penghormatan, keturunan Doga mendirikan patung Silo Sukarno Dago di Jayawijaya, Wamena. Aturan diberlakukan, siapapun masuk ke kawasan ini harus menghormati bendera Merah Putih. Itulah cara orang Lembah Baliem menghormati perjanjian para leluhurnya. Tidak hanya Doga, Kepala Suku Ukumiarek Asso dan Kurulu Mabel juga bertemu Presiden Soekarno untuk urusan yang sama.

Pada 2015 atau 80 tahun setelah pembuangan ke Boven Digul pada 1935, patung Bung Hatta didirikan dan di bawahnya tertulis … “Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah di dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan tanah air, aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan di dadaku” (Bung Hatta). Mandobo, Tanah Merah, Kabupaten Boven Digul adalah saksi bisu dari sebuah sejarah yang mengerikan dimana 1.308 pemimpin nasional termasuk Bung Hatta dan St. Sjahrir dibuang oleh penjajah Belanda. Ensiklopedia Nasional Indonesia (jilid 4) mencatat, Digul disiapkan secara tergesa oleh Pemerintah Hindia Belanda yang awalnya dibangun untuk menampung tawanan pemberontakan November 1926.

Di Jayapura, terdapat Monumen Tugu Pepera yang mencatat keputusan Sidang Dewan Musjawarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat, Kabupaten Djajapura. Prasasti itu memuat 4 (empat) keputusan Dewan Musjawarah Pepera Irian Barat yang ditandatangani di Djajapura, 2 Agustus 1969 oleh 110 Anggota Dewan Musjawarah Pepera Irian Barat. Monumen Pepera juga ada di Merauke, Kurulu Jayawijaya, Wamena dan Ukumiarek. Kemanakah cinta (yang dulu pernah ada) itu pergi ?

Buku ini terdiri dari 41 Bab yang terbagi atas empat episode, “Menapaki Jalan Cinta, Dari Gajah Turun Ke Hati, Pahit Manis Kopi Papua dan Menyusuri Jalan Cinta”. Mencintai masyakarat Pegunungan Tengah harus berangkat dari hati yang tulus. Mereka bukanlah korban konflik secara langsung, namun cerita yang diturunkan turun temurun adalah kisah tentang kesulitan hidup dan tentang kepedihan.  Anak-anak membutuhkan dongeng untuk berimajinasi, anak-anak perlu bermain untuk menyalurkan enerji, anak-anak perlu diperkenalkan dunia luas dan anak-anak perlu kegembiraan.

Sekalipun banyak tantangan dan misteri,  cinta sejati Polri terhadap masyarakat Papua tidak pernah mati. Cinta yang seperti ini mengingatkan sebuah puisi yang ditulis Budi Miank, penyair dan sekaligus wartawan senior di Pontianak, …. “Senja yang membawaku padamu. Pada waktunya yang singkat, senja melukiskan cerita yang panjang. Tentang kita dan cinta yang kita titipkan pada waktu dan ruang. Cinta dimulai ketika ekor mata kita bertemu..”

*) AM Putut Prabantoro adalah Alumnus Lemahannas PPSA XXI & Taprof Lemhannas RI Bidang Ideologi dan Sosial Budaya.