Jemaah Tidak Rugi, MK Tolak Uji Material Aturan Investasi Dana Haji

oleh -
Sidang Pleno Pengucapan Putusan Perkara Pengujian UU Ormas, ) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Selasa (12/12)

JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UU Pengelolaan Keuangan Haji).

Pembacaan Putusan Nomor 51/PUU-XV/2017 ini berlangsung di Ruang Sidang Pleno MK Selasa (12/12).

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat membacakan putusan yang dimohonkan oleh Muhammad Sholeh tersebut.

Dalam pokok permohonannya, Sholeh mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya tiga pasal, yakni Pasal 24 huruf a, Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2) UU Pengelolaan Keuangan Haji.

Pemohon mendaftar sebagai calon jamaah haji pada Kantor Kementerian Agama Sidoarjo Jawa Timur menyetorkan dana sebesar Rp20 juta pada 13 Februari 2008 lalu. Akan tetapi, Pemohon tidak pernah dijelaskan jika uang yang disetorkan tersebut akan diinvestasikan.

Hal ini merugikan hak konstitusional Pemohon, apabila uang Pemohon dipakai untuk investasi tanpa persetujuan. Untuk itulah, Pemohon meminta agar Majelis Hakim membatalkan keberlakuan ketiga pasal tersebut.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, Mahkamah berpendapat setoran awal BPIH diposisikan sebagai DP dalam penyelenggaraan ibadah haji yang dikelola pemerintah. Pada saat DP tersebut telah dibayarkan maka tanggung jawab pengelolaannya ada pada pemerintah.

Anwar melanjutkan ketika dana dimaksud dikelola dalam bentuk investasi, segala risiko sepenuhnya ada pada pihak pengelola.

“Sehingga apabila terjadi kerugian, maka pemerintah sebagai penanggung jawab pengelolaan keuangan haji oleh BPKH-lah yang harus menyelesaikannya. Sementara warga negara calon jemaah haji sama sekali tidak dibebani tanggung jawab oleh Undang-Undang a quo untuk turut memikulnya. Pada ranah ini, pengelolaan keuangan haji hanya diatur dalam kerangka berbagi kelebihan manfaat dengan jemaah haji secara keseluruhan dan tidak berbagi kerugian dengan jamaah secara keseluruhan maupun individual,” tambah Anwar.

Selanjutnya, Anwar menyebut sehubungan dengan tanggung jawab pengelolaan keuangan haji berada di tangan Pemerintah, maka pengelolaan tersebut sesungguhnya tidak berhubungan dengan dampak kerugian yang akan dialami oleh calon jemaah. Calon jemaah, lanjutnya, hanyalah subjek yang akan menerima tambahan nilai manfaat dari pengelolaan keuangan haji dan tidak akan turut ikut menanggung kerugian bila pengelolaan dana haji tersebut sampai mengalami kerugian.

Anwar pun menjelaskan UU a quo juga dibatasi bahwa pengelolaan keuangan haji oleh BPKH dalam bentuk investasi juga disyaratkan untuk investasi-investasi yang aman dan sesuai dengan syariat. Dengan pembatasan demikian, jelasnya, perlindungan terhadap dana calon jemaah berupa DP ibadah haji sesungguhnya telah dilakukan dengan sedemikian rupa.

Oleh karena itu, dalam batas penalaran yang wajar, ketika risiko dan tanggung jawab atas kegiatan itu ditanggung oleh pemerintah, maka ancaman kerugian yang akan dialami Pemohon sesungguhnya tidak akan terjadi.

“Jika dihubungkan dengan konsep kontrak antara negara dan warga negara, maka apa yang dilakukan pemerintah dengan mengelola keuangan haji demi untuk meningkatkan nilai tambah untuk kemaslahatan penyelenggaraan haji dan umat Islam pada umumnya merupakan sebuah langkah baik dan justru bersesuaian dengan kehendak UUD 1945,” terangnya.

Sedangkan terkait persoalan besaran dana awal yang harus disetor calon jemaah haji yang dinilai Pemohon merupakan keputusan yang bertujuan agar terjadinya penumpukan dana BPIH dan akhirnya bisa dikelola dalam bentuk investasi, kebijakan tersebut bukanlah masalah terkait konstitusionalitas norma. Hal tersebut berkaitan dengan pelaksanaan norma terkait tugas pemerintah dalam penyelenggaraan ibadah haji.

“Oleh karena itu, dalil terhadap besaran dana awal BPIH ini tidak perlu dipertimbangkan lebih jauh,”pungkasnya.