Kampanye Politik Pilkada (Obral Janji-Janji Palsu)

oleh -
Ferlansius Pangalila, Komisioner KPU Kabupaten Tomohon, dan DPC Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Tomohon. (Foto: Ist)

Oleh: Ferlansius Pangalila*)

SEPERTINYA menjadi pemandangan yang lumrah, apabila di musim kampanye PILKADA ini, papan bunga dari para calon Bupati atau Walikota bersama wakilnya menghiasi acara-acara kedukaan dimana saja berada bahkan sampai di setiap sudut dan di pelosok-pelosok. Tentunya ucapan belasungkawa melalui papan bunga “turut berduka cita” tersebut adalah hal yang secara etis dibenarkan di kalangan masyarakat, walau belum tentu yang meninggal dunia dan bersama keluarganya mengenal baik dan dekat dengan para pengucap belasungkawa ini.

Para calon tak sedikit tiba-tiba menjadi orang yang sangat baik dan sangat peduli, bahkan sering sangat tidak tahu malu. Karena tanpa undangan resmi sekalipun, mereka tiba-tiba hadir di setiap perkawinan maupun acara ulang tahun orang yang sama sekali mereka tidak saling kenal. Pokoknya musim Kampanye ini menjadi musim aneh-aneh.

Keanehan seringkali terjadi pada para calon ini, tiba-tiba mereka menjadi sangat mahir berbicara mengenai kesejahteraan rakyat, hebat menafsir makna kedaulatan rakyat, dan tak sedikit diantaranya menjadi pakar moral dan orang saleh. Dalam musim kampanye, para calon sedikit-sedikit gelar acara, apapun alasannya pokoknya buat acara, undang orang banyak, menyuruh mc (master of ceremmony) memuji-muji dirinya, dan tak sedikit juga memuji-muji diri sendiri. Tak peduli suara sumbang alias fals, menyanyi dan berjoget ria sambil ditepuki dan disoraki oleh para hadirin. Semua keanehan ini terjadi karena satu alasan utama yaitu mencari simpati dan memohon suara agar dipilih.

Kampanye menjadikan rakyat kelihatan sangat nyata. Setiap saat yang dibicarakan hanya persoalan rakyat. Hak-Hak rakyat harus diperjuangkan dan bahkan jika boleh dipenuhi hak-hak rakyat tersebut pada saat itu juga. Bagi calon yang ber-duit, telinganya cukup pekah terhadap suara-suara lirih, sedih dan meminta tolong dari rakyat kecil. Dengan uangnya persoalan yang dihadapi langsung dihitung berapa biaya untuk menyelesaikannya, dan akhirnya berapa harga suara rakyat kecil ini untuk dibeli.

Kampanye menjadi ramai dengan berbagai proposal kegiatan, menjadi ajang minta-minta dan akhirnya berakhir pada komitmen yang “transaksional. Rakyat akhirnya memahami bahwa calon bupati atau walikota yang seperti demikian, bukanlah calon pemimpin yang baik dan yang bisa diandalkan. Pembangunan, peningkatan kesejahteraan, kualitas pendidikan dan berbagai janji-janji muluk yang disampaikan pada saat kampanye hanyalah untuk menunjukan kualitas kampanye, bahwa janji itu akan dipenuhi. Rakyat tahu bahwa itu tidak akan mungkin terjadi. Janji-janji itu yang diucapkan saat kampanye hanyalah intimidasi dengan intonasi rayuan gombal, dan pasti tidak akan ditepati.

Mari kita evaluasi beberapa kali PILKADA di daerah kita. PILKADA sebelumnya ada berapa calon Bupati/Walikota? Ada berapa janji-janji baik dalam bentuk program dan kegiatan yang disampaikan pada saat kampanye? Siapa Bupati/Walikota yang terpilih pada saat itu? Dan Sampai saat ini berapa janji-janjinya yang ditepati? Semoga dijawab dengan jujur tanpa intimidasi atau bujuk rayu.

Sepertinya setelah PILKADA rakyat kembali ke kehidupan yang nyata lagi. Buaian, rayuan, dan bahkan intimidasi pada saat kampanye berakhir sesaat setelah calon terpilih dilantik. Euforia dan pesta demokrasi berakhir. Rakyat kembali mencangkul di ladang masing-masing seperti sedia kala, sambil menghitung-hitung berapa harga dirinya, atau suaranya yang telah laku terjual pada saat PILKADA lalu.

Lantas, apakah kita kehilangan harapan? Apakah benar para calon Bupati/Walikota dalam PILKADA kali ini adalah orang-orang yang tiba-tiba menjadi aneh dan akhirnya berbuat apa saja termasuk money politic yang penting terpilih nantinya? Kampanye hanyalah obral janji dan omong kosong belaka? Atau barangkali diantara kita masih mau menjual suara kita? Hanya masing-masing diri kita yang bisa menjawabnya.

*) Penulis adalah Komisioner KPU Kabupaten Tomohon, dan DPC Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Tomohon