Kasus Andi Arief Bukan Komoditas Politik, Negara Harus Rombak Pendekatan Pidana

oleh -
Andi Arief, politisi Partai Demokrat. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.COM — Kegagalan pemerintah dalam urusan narkotika harus menjadi perhatian. Pemerintah harusnya sadar bahwa ada hal besar terkait dengan reformasi kebijakan narkotika yang harus diperhatikan, bahwa tidak ada satupun negara di dunia berhasil menangani penyalahgunaan narkotika dengan menghukum pengguna narkotika.

Pada Minggu, 3 Maret 2019 lalu, Politisi Partai Demokrat Andi Arief tertangkap dan diduga mengkonsumsi narkotika di Hotel Menara Peninsula, Jakarta Barat. Diketahui dari beberapa pemberitaan di media Andi Arief diduga menggunakan narkotika jenis sabu, dengan hasil tes urin positif. Di tengah masa kampanye saat ini, pembincangan mengenai ditangkapnya Andi Arief menjadi komoditas politik yang justru digunakan untuk saling serang.

Perlu diketahui bahwa dalam catatan pemberitaan media, Andi Arief bukan satu-satunya politisi yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, beberapa politisi terlepas dari posisinya sebagai oposisi maupun pendukung pemerintah pernah menjadi korban penyalahgunaan narkotika.

“Sayangnya isu yang diperdebatkan kemudian justru menjadikan penggunaan narkotika sebagai komoditas politik yang meneruskan stigmatisasi buruk bagi penggunaan narkotika dan justru mendukung penggunaan hukum pidana untuk menyelesaikan penyalahgunaan narkotika,” ujar Direktur Program ICJR, Erasmus Napitupulu, dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (5/3).

Padahal dengan makin banyaknya  korban penyalahgunaan narkotika  terjerat dalam pidana penjara menandakan bahwa terdapat kesalahan dalam kebijakan narkotika di Indonesia. Pemerintah Indonesia, kata Erasmus, sampai dengan hari ini jelas menjadi salah satu contoh gagalnya kebijakan buruk penanganan narkotika yang lebih mengedepankan pemidanaan dari pada kesehatan masyarakat.

“Pendekatan yang digunakan Indonesia untuk menangani masalah narkotika selama ini hanya berfokus pada kontrol penawaran atau supply control, dengan mempropagandakan perang terhadap narkotika termasuk menghukum pidana penjara pengguna narkotika dalam jumlah dan kondisi apapun. Padahal visi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah merujuk mengenai pendekatan kesehatan yang terbukti lebih ampuh mengatasi persoalan narkotika,” ujarnya.

Menurut Erasmus, UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika berisi pasal karet yang justru mengirim pengguna narkotika ke penjara, tanpa adanya akses rehabilitasi, dan membuat pengguna narkotika semakin terjerat oleh penyalagunaan narkotika. Jaminan rehabilitasi yang diatur dalam UU Narkotika pun tidak membuat pengguna narkotika bebas dari ancaman pidana penjara.

Berdasarkan riset ICJR pada 2012, ditemukan hanya 10% putusan Hakim Agung yang memberikan putusan rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Selain itu, Riset ICJR, Rumah Cemara dan EJA pada 2015 di PN Surabaya menyatakan hanya 6% putusan hakim yang menempatkan pengguna narkotika ke tempat rehabilitasi. LBH Masyarakat pada 2015 menganalisis 522 putusan Hakim se-Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi) sepanjang 2014, hanya 43 orang yang diberikan putusan rehabilitasi.

“Penjara ditengah kondisi overcrowding, lemahnya pembinaan dan pengamanan lantas menjadi lahan subur bagi para bandar untuk melakukan peredaran gelap narkotika.  Pemerintah terus mempropagandakan bahwa kebijakan narkotika yang punitif dengan menghukum pengguna narkotika akan efektif mengurangi penggunaan narkotika. Padahal, Negara-negara di dunia telah menyerukan bahwa pendekatan perang terhadap narkotika terbukti tidak efektif,” ujarnya.

Dalam laporan Oktober 2018  yang disusun oleh jaringan 174 Organisasi Masyarakat Sipil di seluruh dunia yang menguji tentang kebijakan narkotika selama 10 tahun terakhir menyatakan bahwa kebijakan pelarangan narkotika lewat slogan war on drugs atau perang terhadap narkotika telah gagal mencapai tujuan untuk menghapuskan peredaran gelap narkotika.

Dalam paparan data yang komprehensif, laporan ini menyimpulkan semangat perang terhadap narkotika telah membawa dampak peningkatan 145% kematian akibat narkotika, mencapai 450.000 kematian di tahun 2015. Statistik secara global menujukkan kebijakan punitif dalam narkotika termasuk kriminalisasi pengguna narkotika telah membawa terjadinya fenomena mass incarceration atau pemenjaraan secara massif dimana 1 dari 5 narapidana di dunia berasal dari tindak pidana narkotika dan sebagai besar untuk penggunaan personal.

Hal ini, kata Erasmus, terkonfirmasi dalam konteks Indonesia. Tercatat jumlah pengguna narkotika yang dikirim ke penjara terus meningkat setiap tahunnya. Misalnya, pada Desember 2015 jumlah pengguna narkoba di dalam Rutan/Lapas mencapai 26,330, lalu naik pada Desember 2016: 28,647. Kemudian pada Desember 2017: 37,085 lalu terus naik pada Desember 2018 menjadi 38,493.

Melalui kasus ini, dan kasus-kasus penghukuman pengguna narkotika lainnya, terlepas dari apapun latar belakang politiknya, Pemerintah harusnya sadar bahwa ada hal besar terkait dengan reformasi kebijakan narkotika yang harus diperhatikan, bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang berhasil menangani penyalagunaan narkotika dengan menghukum pengguna narkotika,” ujarnya.

“Kegagalan negara dalam menangani kasus narkotika sebaiknya dijadikan refleksi untuk merombak kebijakan narkotika yang berhaluan pidana, dengan mendekriminalisasi penggunaan dan kepemilikan narkotika untuk kepentingan personal demi mengembalikan pendekatan kesehatan masyarakat untuk menangani masalah narkotika,” pungkasnya. (Ryman)