Kasus Hanura, Menkumham Tidak Wajib Laksanakan Putusan Sela PTUN

oleh -
Petrus Selestinus, Koordinator PAP-KPK dan advokat Peradi. (Foto: Ist)

JAKARTA – Pengadilan Tata Usaha Negara/PTUN Jakarta telah mengeluarkan Putusan “sela”  dalam perkara Gugatan TUN antara Daryatmo dan Sudding melawan Menteri Hukum dan HAM RI,  pada 19 Maret 2018 lalu. Putusan itu “Mewajibkan Menteri Hukum dan HAM RI untuk menunda pelaksanaan Keputusan Menkum HAM RI Nomor :  M.HH-01.AH.11.01 TAHUN 2018, Tentang Restrukturisasi, Reposisi dan Revitalisasi Pengurus Dewan Pimpinan Puat Partai Hanura Masa Bhakti 2015-2023, Tanggal 17 Januari 2018.

Kuasa Hukum DPP. PARTAI HANURA selaku Tergugat Intervensi, Petrus Selestinus mengatakan, putusan Sela Majelis Hakim PTUN Jakarta dimaksud tidak akan dilaksanakan oleh Menkum HAM RI, karena SK. MENKUMHAM RI dimaksud bersifat deklaratif (menyatakan keabsahan Kepengurusan DPP. PARTAI HANURA, tanpa ada satupun diktum dalam SK. MENKUMHAM yang bersifat perintah kepada Dirjen atau DPP. PARTAI HANURA untuk melaksanakan sesuatu apapun terkait kepentingan Kepartaian.

“Dengan demikian maka Putusan Sela Majelis Hakim PTUN Jakarta bersifat non eksekutable, tidak punya daya paksa apalagi mengubah kebasahan SK. Menkum HAM RI dimaksud,” ujarnya di Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Petrus mengatakan, dari aspek yuridis formil untuk dikabulkannya sebuah Putusan Sela yang bersifat Penundaan Pelaksanaan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, maka Putusan Sela PTUN Jakarta dimaksud tidak memiliki kekuatan hukum. Pasalnya, Putusan tersebut tidak didukung dengan alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 67 ayat (4) a dan b UU Tentang Peradilan Tata Usaha Negara atau setidak-tidaknya Daryatmo dan Sudding selaku Penggugat harus terlebih dahulu membuktikan apakah “terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingannya sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan”.

Petrus, yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini mengatakan bahwa Majelis Hakim PTUN telah keliru melihat posisi Partai HANURA sebagai Lembaga Publik yang memgemban amanat UU untuk memperjuangkan kepentingan umum dalam rangka pembangunan bangsa, apalagi SK. MENKUMHAM itu bersifat “deklaratif” tanpa ada satupun diktum yang berisi perintah untuk melaksanakan sesuatu.

“SK MENKUMHAM itu justru mengesahkan apa yang sudah dilaksanakan oleh DPP. PARTAI HANURA sebelum diterbitkan SK sehingga apanya yang mau ditunda pelaksanaannya dari SK. MENKUMHAM tersebut,” kata Petrus.

Pada sisi yang lain, katanya, tidak terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan.

Karena itu, Majelis Hakim seharusnya meminta Daryatmo dan Sudding membuktikan terlebih dahulu tentang apakah terdapat keadaan mendesak yang mengakibatkan kepentingannya dirugikan. Kerugian Daryatmo dan Sudding sekiranya ada, harus dibuktikan terlebih dahulu dan apakah kerugiannya itu setara dengan misi kepentingan umum dalam rangka pembangunan yang diemban PARTAI HANURA.

Melihat posisi hukum SK. Menteri Hukum dan HAM RI terkait Restrukturisasi DPP. PARTAI HANURA dengan visi dan misi PARTAI HANURA yang mengemban perjuangan untuk kepentingan umum terkait keikutsertaannya dalam Pemilu 2019, maka Majelis Hakim PTUN Jakarta dalam perkara a’quo seharusnya tidak mengabulkan permintaan penundaan pelaksanaan Keputusan Mekum-HAM RI tersebut. Karena kepentingan umum yang melekat terkait dengan SK. MENKUMHAM RI yang bersifat deklaratif itu secara notoir feiten (tanpa harus dibuktikanpun) sudah seharusnya membuat Majelis Hakim PTUN Jakarta tahu bahwa PARTAI HANURA mengemban visi dan misi kepentingan umum membangun demokrasi dan memperjuangkan kepentingan umum lainnya.

“Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI yang digugat, sama sekali tidak mengandung perintah kepada DPP. PARTAI HANURA atau aparat Kementerian Hukum dan HAM RI lainnya untuk melaksanakan sesuatu karena  hanya menegaskan status hukum restrukturisasi, reposisi dan revitalisasi Kepengurusan DPP. PARTAI HANURA, tanpa ada satu butirpun SK Menteri Hukum dan HAM RI itu bersifat condemnatoir atau perintah untuk melaksanakan sesuatu yang kemudian merugikan kepentingan Daryatmo dan Sudding,” katanya.

Oleh karena itu, kata Petrus, Majelis Hakim PTUN Jakarta harus segera mencabut kembali Putusan Selanya itu, karena meskipun Putusan Sela itu hanya bersifat sementara karena dapat dicabut kembali pada persidangan berikutnya. Majelis Hakim PTUN Jakarta diminta untuk mengakhiri budaya mengobral Putusan Sela hanya sekadar menyenangkan Daryatmo dan Sudding dalam tempo sesaat, tetapi mengorbankan wibawa dan integritas Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, terlebih-lebih tidak mempertimbangkan legal standing Daryatmo dan Sudding yang menamakan diri DPP. PARTAI HANURA tanpa memiliki SK. Menkum HAM RI.

Menurut Petrus, Daryatmo dan Suddig hanya boleh menggugat atas nama diri pribadi sebagai anggota dan kader PARTAI HANURA dan tidak boleh mengatasnamkan DPP. PARTAI HANURA karena DPP. PARTAI HANURA yang sah adalah yang SK-nya sedang digugat oleh Daryatmo dan Sudding yang meskipun sudah ada Putusan Sela akan tetapi SK. MENKUMHAM dimaksud tidak kehilangan keabsahannya sedikitpun.

Petrus mengatakan, putusan Sela tersebut hanya merupakan kecelakaan kecil yang menimpa Majelis Hakim dan sekadar menciptakan hiburan sejenak buat Daryatmo dan Sudding. Pasalnya, pada persidangan berikutnya, Putusan Sela demikian dapat dibatalkan kembali oleh Majelis Hakim karena beberapa alasan.

Pertama, tidak ada keadaan yang mendesak yang merugikan Daryatmo dan Sudding. Kedua, kepentingan umum yang diemban oleh DPP. PARTAI HANURA sangat dirugikan. Ketiga, Daryatmo dan Sudding tidak memiliki legal standing mewakili DPP. PARTAI HANURA yang SK. Menteri Hukum dan HAM RI-nya sedang digugat. Keempat, SK. Menkum HAM RI hanya bersifat deklaratif tanpa ada diktum yang bersifat perintah untuk melaksanakan sesuatu sehingga tidak diperlukan penundaan atas pelaksanaannya.