Kaum Muda Dan Ekonomi Kreatif  (Refleksi Hari Sumpah Pemuda)

oleh -
Penulis bersama Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf. (Foto: Dok.)

Oleh: Agustinus Tetiro

Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie—M. Yamin

(Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini)

 

Mohammad Yamin pastilah anak muda yang cerdas dan aktif. Dialah orang pertama yang merumuskan sumpah pemuda yang kita kenal hingga saat ini: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Dalam sepanjang hidupnya, Moh Yamin memang terkenal sangat kreatif, selalu mencoba berpikir out of the box dan tidak berpikir linear. Moh Yamin dikenal sebagai sastrawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang berkelas. Indonesia bangga memiliki anak muda seperti Moh Yamin pada masanya.

Kemampuan untuk berpikir dan bertindak kreatif itulah yang sekarang sedang dibangkitkan kembali oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam rangka memperkuat ekonomi nasional setelah menyadari bahwa semua sumber daya alam bisa habis, tetapi kreativitas manusia akan tetap bisa digali dan dikembangkan. Pemikiran kreatif kemudian sebisa mungkin dikonversi menjadi kegiatan ekonomi kreatif.

Dalam setiap visitasinya ke kampus, pesantren, ataupun acara kaum milenial, Presiden Jokowi selalu mengajak generasi muda untuk berani merealisasikan mimpi-mimpi dan ide-ide kreatifnya menjadi kegiatan produksi atau pelayanan jasa yang membawa manfaat ekonomi. Presiden Jokowi juga kerapkali tampil dengan produk-produk lokal seperti payung, kameja, sepatu, ataupun jaket. Presiden Jokowi tidak segan-segan membuat agenda mendadak ‘ngopi’ di kedai anak muda Indonesia. Lalu, banyak aktivitas Pak Jokowi yang di-upload ke media sosial seperti vlog di  Youtube, Facebook, Instagram, dan lain-lain. Semua itu dilakukan untuk memotivasi anak muda agar semakin kreatif.

Ekonomi kreatif Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar. Hal itu terbukti dari produk domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif yang ditargetkan sebesar Rp 1.200 triliun tahun depan atau naik dari proyeksi tahun ini yang sebesar Rp 1.105 triliun. Tahun lalu, PDB ekonomi kreatif mencapai Rp 1.009 triliun atau naik dibandingkan tahun 2016 yang sebesar Rp 922,59 triliun. Adapun menurut sensus ekonomi 2016, kontribusi PDB subsektor ekonomi kreatif datang dari kuliner (41,40%), fesyen (18,01%), kriya (15,40%), tv & radio (8,27%),  penerbitan (6,32%), arsitektur (2,34%), serta aplikasi & game developer (1,86%).

Ekonomi kreatif Indonesia juga menyerap banyak tenaga kerja. Ini pasti menjadi kabar gembira di tengah bonus demografi yang diakui tidak disertai dengan pembukaan lapangan kerja formal-konvensional yang signifikan. Tahun ini diperkirakan 18,1 juta orang terserap di ladang kerja ekonomi kreatif atau naik 3,73% dibandingan penyerapan tenaga kerja di ekonomi kreatif pada 2017 yang sebanyak 17,4 juta orang. Pada 2016, ada 16,9 juta orang terserap bekerja di sektor ekonomi kreatif atau naik 3,23% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 15,9 juta orang.

Selain untuk kebutuhan dalam negeri, produk ekonomi kreatif  juga mempunyai daya saing di luar melalui ekspor ke berbagai negara seperti Amerika Serikat (AS), Swiss, Jerman, Jepang, dan Singapura. Nilai ekspor produk ekonomi kreatif Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada rentang tahun 2015-2017, nilai ekspor mencapai produk ekonomi kreatif masing-masing tercatat US$ 19,3 miliar; US$ 19,99 miliar; dan US$ 21,5 miliar. Tahun ini, nilai ekspor produk dan jasa ekonomi kreatif diproyeksikan mencapai US$ 22,6 miliar.

Penulis mewawancarai Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf belum lama ini. Menurut Triawan, saat ini, rasa bangga untuk menggunakan produk dan jasa dalam negeri meningkat. Orang bangga memakai tenun ikat, senang ngopi di kafe anak bangsa, dan mengunjungi tempat-tempat wisata di dalam negeri. Bekraf, dalam keterbatasannya—terutama dari segi dana– selalu ingin mengaktualisisasi semua potensi yang ada dalam setiap subsektor ekonomi kreatif di tanah air.

Menurut Triawan, energi dan semangat anak muda Indonesia harus bisa sedemikian rupa dikapitalisasi. Pada gilirannya, semua penyaluran hobi mereka harus mendatangkan uang. Pemerintah menyadari bonus demografi yang menyebabkan makin membengkaknya jumlah orang muda Indonesia. “Bekraf melihat film, musik, fashion, dan semua yang dekat dengan anak muda sebagai hal yang sangat potensial. Bekraf adalah tempat pertemuan antara orang kreatif dan pemodal yang ingin berinvestasi,” ujar Triawan.

 

Pendidikan, Pelatihan & “Percobaan”

Lalu, bagaimana mengembangkan ekonomi kreatif untuk generasi muda? Kita tentu sudah melihat bahwa pemerintah melalui kementerian perindustrian (Kemenperin) sangat gencar mengembangkan pendidikan vokasi atau kejuruan. Pendidikan vokasi dan kejuruan bertujuan untuk mencetak sebanyak mungkin angkatan kerja yang terdidik dan terampil. Kemenperin menggandeng industri dan korporasi untuk menggelar pendidikan dan pelatihan vokasi yang sesuai dengan kebutuhan industri. Namun, itu bukan persiapan langsung untuk menjadi pelaku ekonomi kreatif atau seorang wirausahawan (enterpreneur).

Ekonomi kreatif mempunyai karakteristik yang berbeda. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB-UI) Ari Kuncoro dalam sebuah kesempatan wawancara dengan penulis mengatakan, ekonomi kreatif dalam arti kecerdasan dan kemampuan menciptakan sebuah produk dan kemudian ‘memaksa’ publik untuk membeli hanya mengandaikan sebuah generasi yang berani berpikir out of the box. Latihan berpikir out of the box bisa dilakukan melalui pendidikan sejak dini yang menyangkut studi sastra dan humaniora, retorika dan prosa.

Menurut Ari, kebiasaan membaca sastra, menyimak film, latihan berteater, dan giat mengikuti seminar serta public speaking membuat orang bisa berpikir secara kreatif. Berpikir secara kreatif pada gilirannya akan menghasilkan hal-hal unik yang bisa diterima. Untuk diangkat sebagai contoh: hampir semua enterpreneur muda di Silicon Valey atau dimana pun berada adalah orang-orang yang keranjingan membaca buku (sastra dan sejarah) sebagai kegiatan yang menyenangkan, inspiratif, dan informatif.

Pernyataan Profesor Ari Kuncoro ini bisa diterima jika kita mengingat hasil studi filosof dan pedagog Martha Nusbaum dalam “Not for Profit. Why Democracy Needs The Humanities” (edisi 2012) yang juga menyinggung perkembangan baru sekitar pendidikan humaniora di Singapura dan Tiongkok. Kendati bukan negara demokrasi, Singapura dan Tiongkok membuka pintu lebar-lebar bagi pendidikan humaniora (filsafat, sastra, sejarah) dalam konteks pendidikan tinggi di jurusan ekonomi dan bisnis. Pilihan untuk mempelajari ilmu humaniora bisa menjadi pilihan minor di luar kuliah mayor bidang ekonomi, manajemen, dan bisnis.

Menurut Nusbaum, Tiongkok dan Singapura sadar bahwa sikap kritis yang ada dalam studi-studi humaniora membantu pemahaman generasi muda mereka yang sedang kuliah di bidang bisnis untuk mengelola keputusan yang salah. Manfaat pendidikan humaniora dalam ‘memprovokasi’ generasi muda dengan semangat kritis dan inovatif sangat diperlukan dalam iklim bisnis yang baik.

Dengan demikian, menurut saya, untuk konteks Indonesia, ada dua rekomendasi. Pertama, perlu dipikirkan, digagas, dan kemudian dijadikan gerakan bersama bahwa semua pilihan untuk pendidikan vokasi dan kejuruan atau untuk menjadi spesialis di bidang tertentu tidak pernah boleh hanya diartikan sebagai menjadi tenaga teknis dan ahli di salah satu bidang tanpa pengetahuan atau pengalaman dasar di bidang lain, terutama kehidupan sosial dan humaniora. Gerakan literasi yang sudah digagas dengan membuka taman baca dan membangun budaya baca harus terus ditingkatkan dan menjadi gerakan nasional yang serius sekaligus menyenangkan. Karena, inspirasi-inspirasi yang kreatif  sangat sering datang dari tradisi membaca banyak hal lain di luar keterampilan yang sudah dikuasai.

Catatan tambahan yang masih berhubungan dengan hal ini adalah bahwa semua bentuk pemagangan ataupun pengalaman kerja di industri dan korporasi bisa juga menjadi momentum dan kesempatan belajar untuk menciptakan bisnis kreatif sendiri pada waktunya ketika modal, moral dan semangat telah lebih siap. Jadi, generasi muda selalu mempunyai sikap antisipasi dan rencana kerja yang kreatif pada bidang-bidang yang sesuai dengan keterampilan dan minat.

Kedua, menyadari apa yang dikatakan kepala Bekraf Triawan Munaf bahwa dana yang disiapkan sangat terbatas, maka di luar pendidikan dan pelatihan formal, pribadi ataupun kelompok orang-orang kreatif  harus berani bergerak sendiri menggunakan berbagai media promosi yang murah seperti media sosial. Banyak contoh yang sudah bergerak secara mandiri, misalnya,  kelompok anak muda di Maumere dengan musik, sastra dan tariannya. Sekelompok anak muda di Kupang dengan gerakan cinta tenun ikatnya. Generasi muda di Bandung dengan sablon dan distro, di Bali dan lain-lain.  Gerakan kuliner tradisional oleh kaum muda Papua di Jakarta. Gerakan dengan insiatif sendiri yang kuat itu yang saya sebut sebagai “inisiatif!” dan “gerakan!” di luar pendidikan dan pelatihan yang memang sangat terbatas. Perjuangan seharusnya hingga sampai pada satu titik diapresiasi dan mendapatkan tempatnya di hati publik seperti yang sekarang sedang diraih “Near feat Dian Sorowea”. Orang muda harus berani mencoba!

Generasi muda harus mempunyai sejuta bahkan berlaksa-laksa ide gemilang. Ide-ide yang ada perlu direalisasikan menjadi seunik mungkin hingga pada satu saat dengan kepercayaan diri yang matang bisa berkata seperti Mohammad Yamin: “Saya mempunyai formulasi sendiri (untuk ekonomi kreatif)”. Begitulah cara anak muda menyatakan cintanya bagi bangsa di zaman ini. Mari sama-sama wujudkan, Indonesia Energy of Asia! Tidak perlu terlalu banyak mencari alasan dan banyak menuntut untuk mencintai bangsa ini, karena cinta memang tidak membutuhkan banyak alasan dan syarat. Seperti syair lagu anak muda: Karna sa su sayang Indonesia!

Salam Sumpah Pemuda! Satu Tanah Air. Satu Bangsa. Satu Bahasa.

*) Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, Produser di BeritasatuTV.