Keamanan Domestik Jadi Persoalan Mendesak yang Harus Ditangani Jenderal Andika

oleh -
Presiden Joko Widodo melantik Jenderal Andika Perkasa jadi Panglima TNI. (Foto: Bisnis.com)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Masalah di Papua menjadi salah satu persoalan mendesak yang harus ditangani oleh Panglima TNI terpilih, Jenderal Andika Perkasa. Pasalnya, ada dimensi pertahanan dalam masalah di Papua tersebut. Masalah di Papua jelas merupakan masalah Kedaulatan Negara.

Meski dilabeli sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), persoalan kedaulatan Negara menjadi penting karena memang terdapat unsur separatisme di Papua. Sebagaimana di Aceh keterlibatan TNI mau tidak mau tak terhindarkan karena itu adalah soal keamanan domestik.

“Jadi dimensi tugas pokok TNI ada di situ. Meski intensitas keterlibatan juga butuh definisi tersendiri. Jadi, segi keamanan domestik ini harus juga menjadi atensi Jenderal Andika,” ujar Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy, Anton Aliabbas Ph.D dalam diskusi Publik Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini melalui Space Twitter yang bertajuk “Keamanan Domestik Dan Pekerjaan Rumah Andika”, pada Jumat (19/11).

Selain Anton, hadir juga dalam diskusi tersebut wartawan Kompas, Edna C Patissina. Acara ini dipandu oleh Rektor Paramadina yang juga pengamat ekonomi, Prof Dr Didik J Rachbini.

Anton mengatakan, persoalan Papua adalah sesuatu yang rumit. Terdapat banyak komplikasi ihwal perebutan kekuasaan dalam sumber daya alam, yang terdiri dari aktor lokal dan internasional yang bisa dikategorikan multi national corporation (MNC) ataupun faktor USA. Termasuk juga kerumitan cara pandang soal Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), atau ada LSM yang selalu mengkritisi pelanggaran HAM di Papua. Namun jika secara jernih dipikirkan, sebenarnya semua pihak menginginkan agar Papua maju dan rakyarnya sejahtera.

Dia mengatakan, cukup penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Jenderal Andika terhadap persoalan keamanan domestik, termasuk soal Papua.

Karena dalam Uji Kelayakan dan Kepatutan di DPR beberapa waktu lalu, Andika hanya membawa 6 lembar power point dengan problem yang disajikan terkesan normatif.

“Mestinya dipaparkan pendekatannya mau seperti apa dalam persoalan Papua, misalnya. Apa yang akan dilakukan terkait gelar operasi di Papua, apakah sudah ada keputusan negara atau belum, termasuk persetujuan parlemen dan bagaimana operasi intelijen dan sinergitas operasi. Dalam hal itu harus dituntaskan metode apa untuk menyelesaikan penembakan-penembakan yang terjadi, sehingga publik tidak perlu menebak-nebak pendekatan seperti apa yang akan ditempuh,” ujarnya.

Selain itu, katanya, Jenderal Andika juga harus melakukan langkah pembenahan personil TNI. Bagaimana formula penataan personil terutama bagi mereka yang terdidik lulusan luar negeri, di mana ruangnya dan sebagainya.

“Tidak perlu dengan penambahan usia pensiun terlebih masa bakti yang terbatas hanya 13 bulan. Khusus masalah pensiun ini rasanya sipil atau parpol tidak perlu genit untuk memperpanjang usia pensiun Jenderal Andika, hingga nanti terkesan sipil selalu tidak percaya diri,” katanya.

 

Bukan Sosok Panglima yang Angker

Sementara itu, Edna C Patissina mengatakan salah satu yang perlu dipahami saat ini yaitu jabatan Panglima TNI sekarang tidaklah sepeti dulu. TNI tidak lagi menjadi lembaga supebody, serba kuasa dan ada di berbagai lini bangsa. Karena refomasi 98 mengubah secara gradual sistem bernegara termasuk TNI untuk lebih profesional sebagai tentara.

Hanya saja, kata Edna, belakangan ini pihak partai politik terlihat cenderung suka menarik-narik tentara. Hal ini bisa dimaklumi karena kesan masyarakat terhadap tentara masih menempati posisi nomor satu yang disukai ketimbang posisi parpol yang cenderung dipandang negatif. Hal tersebut bisa terlihat dari beberapa survei.

Kata Edna, Jenderal Andika bukanlah sosok panglima yang “angker” seperti tipologi panglima TNI masa lalu. “Ia pribadi yang cukup terbuka, komunikasi dengan media ataupun LSM cukup baik dan kita bebas untuk memberikan masukan atau kritik kepada beliau, meskipun via Whatsapp. Tetapi media pun tahu bahwa sebagai Panglima TNI kita harus menghormati dia dalam posisinya sebagai Panglima,” katanya.

Dia mengatakan bahwa background Jenderal Andika cukup menarik. Tujuh tahun belajar public policy di Amerika Serikat (AS) menyebabkan Andika paham dan mempunyai karakter kepemimpinan yang cukup terbuka terhadap sipil, baik ketika beradu argumen atau berbeda pendapat, dan mau mengakui jika pendapat kita benar.

Secara struktural dan kultural sejak reformasi 1998, TNI telah mengambil posisi berbeda. Bahkan anggaran pertahanan selalu rendah hanya mencapai sekitar 1 persen. Bandingkan saja dengan Singapura yang sampai 3 persen terhadap PDB. Malah, masyarakat sipil yang terkesan gagal dalam melakukan konsolidasi demokasi. Hal itu dibuktikan dengan realitas kapasitas birokrasi sipil kita yang memang masih kedodoran di berbagai lini.

Hal ini kembali terbukti ketika gawat-gawatnya pandemi covid 19, peran TNI dan Polri dalam ikut mengamankan dampak wabah menjadi lebih dominan ketimbang masyarakat sipil yang seharusnya lebih terdepan dalam penanggulangan pandemi covid 19. Padahal, TNI hanya bertugas memantau dan membantu pengamanan.

Hal itu, kata Edna, sebenarnya tidak disukai tentara karena mereka mengakui tidak disiapkan untuk tugas-tugas di luar tugas pokoknya. “Mengapa harus tentara lagi yang berada di garis depan. Sehingga dari kejadian itu muncul anekdot bahwa bagi tentara semua tugas harus dikerjakan kecuali tugas pokok,” katanya.

Karena itu, masyarakat sipil harus kembali belajar untuk membangun kapasitas dirinya. Hal itu juga sebagai pendidikan bagi kematangan tingkat demokrasi sebuah bangsa, apalagi terdapat adagium bahwa kualitas tentara sebuah negara adalah juga kualitas rakyat dari negara tersebut.

Dia mengatakan, terkait persoalan Papua, Jenderal Andika cukup memiliki kesadaran bahwa memenangkan Papua tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan militer namun dengan pendekatan sipil dengan cara operasi melawan insurgensi kepada seluruh rakyat Papua. Bukan perebutan wilayah yang harus dimenangkan, tetapi heart and mind (merebut hati dan pikiran) rakyat Papua.

“Meski sebagai prajurit, TNI harus cukup kuat namun bukan untuk menyakiti masyarakat. Yang harus dihabisi adalah pikiran untuk merdeka, bukan orang yang menuntut merdeka. Kunci melawan insurgensi adalah dengan merebut hati dan pikiran rakyat, dan hal itu kini sangat berlomba dengan waktu. Kekalahan Amerika di Afghanistan kiranya cukup menjadi pelajaran,” tuturnya.

Urgensi melawan insurgensi di tengah rakyat Papua semakin mendesak ketika BPK dalam temuan hasil auditnya mengemukakan bahwa sebagian dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua ternyata telah dialirkan untuk membantu OPM. “Hal itu selain menjadi ranah penegakan hukum, juga menjadi sinyal penting untuk segera melaksanakan metode operasi melawan insurgensi dengan merebut hati dan pikiran rakyat Papua,” pungkasnya. ***