Kelompok Radikal Bisa Mengancam Pemilu Melalui Dua Cara

oleh -
Diskusi bertajuk Pemilu Damai Tanpa Radikalisme, Intoleransi dan Terorisme yang diselenggarakan Indonesian Public Institute (IPI), di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (15/2/2019). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.COM — Ketua  Progres 98 Faizal Assegaf mengatakan tabiat radikalisme, intoleransi dan terorisme merupakan tabiat buruk dari runutan sejarah arab jahiliyah dan persekutuan jahiliyah yang memunculkan simbol-simbol yang menjadi identitas kelompok tersebut. Radikalisme kerap menunggangi dan memanfaatkan Islam untuk kepentingan politik dan kekuasaan.

Padahal, lanjut Assegaf, Islam adalah agama yang penuh kasih dan sangat menghargai perbedaan sebagaimana tradisi di Yaman.

Faizal yang juga Aktivis 98 meminta kelompok pengusung ideologi radikal jangan terlalu larut mengangkat simbol-simbol misalnya tidak menginjak rumput tapi setiap hari menginjak-injak nurani dengan paham yang sektarian dan memecah-belah.

“Praktik radikalisme ini tidak hanya bisa dilawan dengan pendekatan falsafah teoritis karena banyak negara yang telah menggunakan opsi pendekatan tersebut mengalami kegagalan. Radikalisme hanya bisa dilawan dengan tindakan tegas”, kata Faizal dalam diskusi bertajuk Pemilu Damai Tanpa Radikalisme, Intoleransi dan Terorisme yang diselenggarakan Indonesian Public Institute (IPI), di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (15/22019).

Faizal menuturkan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah menjadi pintu masuk faham radikal. Selain itu dalam legal formal, paham radikal ini diinstitusikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memang memperjuangkan untuk memasukkan syariat menurut versinya kedalam konstitusi negara. Dengan demikian, pemilu bukan sekadar pertarungan politik kekuasaan tapi juga menjadi ajang pertarungan ideologi antara faham radikal dengan ideologi Pancaila yang melindungi semua kelompok.

“Maka untuk menyelamatkan keberagaman dan kedamaian beragama dan berbangsa di Indonesia, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah membubarkan PKS setelah pemerintah membubarkan HTI,” kata Faizal.

Senada dengan Faizal, Pengamat Terorisme Stanislaus Riyanta mengatakan, kelompok radikal bisa mengancam pemilu melalui dua cara.

Pertama, kelompok radikal yang sementara bergerak lewat jalan politik dengan menumpang kubu yang mau mengakomodasi mereka. Kedua, tetap menggunakan cara-cara kekerasan memanfaatkan konsentrasi aparat dalam pengamanan pemilu untuk melakukan aksi teror.

Karena itu, katanya, masuknya kelompok radikal ke dalam kegiatan pemilu harus diwaspadai. Kelompok tersebut menggunakan daya tarik agama untuk menggalang massa dan akan menggunakan framing oposisinya adalah musuh agama.

“Contoh sikap radikal yang menggangu demokrasi adalah ancaman menyerbu KPU jika orang yang diusungnya kalah. Ini tentu sangat mencederai sistem demokrasi karena mau bertanding tapi tidak mau kalah,” ujar Stanislaus.

Dia melanjutkan, jalan terbaik untuk menekan kelompok ini adalah dengan cara menjaga Pancasila sebagai ideologi bangsa dengan tidak memberikan kesempatan mereka ada di partai politik. Dan jika sudah bergabung dengan partai politik maka jangan sampai diberi kesempatan untuk eksis.

Sementara itu, di tempat yang sama, pengamat politik yang juga Direktur Indonesian Public Institute (IPI) mengatakan ada dua ancaman besar yang menghimpit Indonesia saat ini.

Pertama, yaitu menguatnya penetrasi radikalisme agama yang datang dari organisasi transnasional. Kedua, hegemoni pasar bebas sebagai wujud kapitalisme global yang siap melakukan penghisapan terhadap bangsa ini.

Kedua kekuatan ideologi tersebut sama-sama berbahaya karena mampu menggerus nasionalisme. Kedua kekuatan tersebut juga berpotensi menumpang demokrasi dalam kontestasi pemilu 2019.

“Oleh karena itu, jangan sampai peserta Pemilu dan Pemilihan Legislatif (Pileg) melakukan transaksi dengan kelompok pengusung ideologi khilafah. Ada 2 hal yang dapat ditransaksikan dalam hal ini, yaitu transaksi uang dan transaksi ruang. Yang dimaksud transaksi ruang, adalah posisi-posisi dalam pemerintahan, ruang untuk mengembangkan bisnis dan ruang untuk menyebarkan ideologi khilafah,” ujar Karyono.

Menurut Karyono, ancaman radikalisme sudah nyata. Dia menyebut hasil survei kementerian dalam negeri menunjukkan sudah ada 19.4% ASN yang tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Selain itu, ada tujuh kampus besar terpapar radikalisme dan 41 masjid dikuasai paham radikal. Celakanya, lanjut dia, justru yang terpapar faham radikal mayoritas adalah masjid-masjid BUMN. (Ryman)