Oleh: Goris Lewoleba*)
Hari ini tanggal 17 Agustus 2019, merupakan hari yang istimewa, karena kita segenap Warga Negara Republik Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74.
Peringatan ini terasa fenomenal karena, dilaksanakan bertepatan dengan Tahun Politik, dimana baru saja kita melaksanakan Pesta Akbar Demokrasi di negeri ini.
Pesta dimaksud adalah hajatan besar Pemilihan Umum (Pemilu), baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden.
Pada dasarnya, peringatan ini merupakan tatalaku Ucapan Syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas Kemerdekaan yang telah kita peroleh dari tangan para penjajah.
Kemerdekaan itu kita peroleh melalui perjuangan tanpa henti dan megenal lelah.
Perjuangan itu telah dilakukan oleh para founding fathers kita dengan pengorbanan jiwa raga dalam cucuran keringat dan darah dari para pahlawan bangsa kita.
Sebagai generasi penerus bangsa ini, kita berkewajiban secara moral untuk mewarisi semangat kebangsaan yang telah diberikan oleh para pendahulu kita.
Semangat dimaksud digunakan untuk mengisi alam kemerdekaan ini melalui peran serta kita masing-masing dalam segala bidang kehidupan.
Bidang kehidupan dimaksud meliputi ranah Sosial Budaya, Politik dan Ekonomi.
Kemerdekaan dan Solidaritas Sosial
Berbicara tentang semangat kebangsaan, maka hal itu akan selalu berkelindan dangan nasionalisme.
Kemudian, nasionalisme itu sendiri dapat pula terkait erat dengan pengabdian yang total kepada bangsa dan negara.
Dalam hubungan dengan situasi masa kini, Persatuan dan Kesatuan Bangsa merupakan hal yang sedang dipertaruhkan.
Pasalnya, belakangan ini sedang marak terjadi politik identitas dengan berbasis suku, etnis, dan agama dengan muatan Ideologi partisan yang melawan Ideologi Pancasila.
Situasi yang demikian, disinyalir akan berpotensi dapat memecah belah Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Karena itu diperlukan semangat kebangsaan yang masif dan kuat.
Terkait dengan semangat kebangsaan ini, maka dengan meminjam Taufik Abdullah (2007), dikatakannya bahwa, salah satu inti dari nasionalisme, adalah pengabdian tanpa pamrih.
Pengabdian tampa pamrih diperlukan dalam meningkatkan rasa Solidaritas Sosial.
Melalui pernyataan ini dapat dipahami bahwa, solidaritas sosial diperlukan untuk mengantisipasi ancaman disintegrasi.
Oleh karena Itu semangat kebangsaan dalam ranah sosial merupakan elemen penting yang amat kita perlukan.
Dalam pengalaman empiris di depan mata, tampak jelas bahwa, ancaman disintegrasi bangsa masih cukup nyata.
Ancaman itu, bahkan semakin menjadi-jadi dengan penetrasi radikalisme berbungkus kesalehan sosial dan rutinitas agama.
Dengan demikian maka, kemerdekaan dalam semangat kebangsaan melalui solidaritas sosial akan mampu mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Persolan bangsa yang telatif rumit saat ini, terutama yang terkait dengan ancaman disiintegrasi bangsa melalui penerapan Ideologi Khilafah yang mau mengganti Ideologi Pancasila.
Selain Kemerdekaan Sosial sebagai salah satu elemen untuk memupuk semangat kebangsaan, ada juga elemen budaya sebagai pilar penting dalam memperkuat rasa Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Dalam sudut pandang perkembangan situasi masa kini, maka sistem nilai budaya Indonesia merupakan benteng tangguh dalam mendukung semangat kebangsaan itu sendiri.
Terkait dengan Kemerdekaan budaya, maka seperti yang dikemukakan Bernando Sujibto (2019), bahwa hal itu harus dipahami sebagai proses national will untuk membangun kesadaran generasi muda atas kebudayaan nasional Indonesia yang harus dijaga dan dikembangkan.
Oleh karena itu, maka ketika sebuah bangsa sudah dapat mempelajari, memahami dan mengembangkan, memperkenalkan serta menggunakan produk kebudayaannya dengan rasa bangga, maka sebenarnya kemerdekaan budaya yang sesungguhnya sudah dapat dipraktikkan dalam realitas hidup.
Kemerdekaan Politik
Ruang Kemerdekaan hendaknya diwarnai dengan semangat kebangsaan sebagai indikator adanya kehidupan politik yang demokratis.
Dan sebagaimana diketahui bahwa, ruang hidup sosial politik sudah memang sedemikian kejam dan kotor dalam banalitas yang sengit, memberi keleluasaan kepada para politisi guna bersaing untuk meperebutkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Oleh karena itu, Peter Aman (2019), mengatakan bahwa, Politik kita jauh dari keluhuran martabatnya, tetapi menjadi medium pemecah belah, merusak tatanan etis-politis dan menjauhkan polis (masyarakat, negara) dari kesejahteraan dan kerukunan.
Dengan pandangan ini, dapat dipahami pula bahwa, politik seperti itu merupakan hal yang jauh dari jangkauan kesadaran etis manusia normal.
Karena itu, Kemerdekaan Politik sesungguhnya merupakan wujud kemerdekaan manusia.
Kemudian, dengan itu, maka manusia dapat berpolitik dengan sungguh merdeka.
Jadi, politik mesti kembali ke hakekat atau dasar beradanya yakni, kesejahteraan umum, kebaikan bersama, kemakmuran rakyat, harmoni semesta serta kerukunan warga.
Di sinilah akan ditemukan Kemerdekaan Politik, karena hanya orang-orang yang merdeka yang dapat melakukan tindakan politik secara bebas sesuai dengan hati nuraninya.
Kebebasan tindakan berdasarkan hati nurani itu, untuk menyadari adanya ancaman yang sangat agresif mencabik-cabik bangsa, melukai batin masyarakat, serta membawa racun pembunuh Ideologi yang mematikan.
Hal tersebut di atas disinyalir oleh J. Kristiadi (Kompas, 15 Agustus 2019), yang menyitir pandangan Megawati Seokarnoputri dalam Pidato Pembukaan Konggres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Bali, pada Tanggal 8 Agustus 2019 yang lalu.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa, daya tular toksin maut yang mampu melumpuhkan persendian kehidupan bangsa dan negara itu sangat cepat, karena menyalahgunakan sentimen primordial dan jurus politik identitas.
Oleh karena itu, dalam ranah kemerdekaan politik, diperlukan gerakan bersama semua elemen bangsa dalam menghadapi ancaman konflik dan disintegrasi bangsa yang dipicu oleh gerakan radikalisme, terorisme, penyeragaman tafsir, dan klaim kebenaran tunggal serta pemaksaan kehendak oleh segelintir kelompok yang bertentangan dengan Ideologi Pancasila, termasuk gerakan Khilafah yang hendak menggantikan Pancasila.
Diharapkan pula bahwa, seruan Megawati Seokarnoputri seperti tersebut di atas, mampu menggelorakan semangat mayoritas diam.
Selama ini mayoritas warga seakan membisu. Sementara itu, mereka yang berhasrat menghapus Pancasila di Indonesia sangat agresif dan bersuara lantang. Mereka kecil, minoritas, tetapi militan dan fanatik, sehingga mampu mendominasi ruang publik.
Dengan demikian maka, melalui semangat kebangsaan dalam momentum Hari Kemerdekaan ini, mayoritas warga harus bersatu dan bersuara secara bebas dan merdeka untuk menghalau setiap kelompok dan atau golongan yang berusaha untuk menghilangkan Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, apalagi mau mengganti Ideologi Pancasila dengan Ideologi Khilafah, yang entah dari mana asalnya.
Kemerdekaan Ekonomi dan Semangat Kebangsaan
Mengalami kemerdekaan dalam berbagai bidang tanpa merasakan kemerdekaan secara ekonomi merupakan suatu anomali situasi.
Sepanjang sejarah kemerdekaan, Indonesia telah mengalami jatuh bangunnya kehidupan dalam bidang ekonomi.
Bahkan sampai pernah mengalami krisis ekonomi dan moneter yang parah hingga jatuhnya Presiden Soeharto pada Tahun 1998.
Meskipun demikian, sebagai suatu bangsa yang merdeka, Indonesia tetap tegar dan berjalan maju ke depan untuk menggapai kemajuan dalam segala bidang kehidupan, tidak terkecuali dalam bidang ekonomi.
Untuk mengisi kemerdekaan dalam setiap tahun berjalan, Indonesia senantiasa mengalami perkembangan kemajuan yang relatif berarti dalam bidang ekonomi.
Karena kemajuan yang demikian, maka dengan mengutip Tommy Kurnia (2018), dikemukakan bahwa, The Heritage Foundation (2018), mengeluarkan peringkat terkait dengan Indeks Kemerdekaan Ekonomi (Index of Economic Freedom) dimana Indonesia mengalami peningkatan yang signifikant.
Posisi Indonesia melesat hingga 15 peringkat terkait Indeks Kemerdekaan Ekonomi (Index of Economic Freedom) seperti tersebut di atas.
Dijelaskan juga bahwa, melesatnya peringkat Indonesia dimaksud disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain, aturan hukum yang semakin baik dan efisiensi regulasi.
The Heritage Foundation merupakan sebuah think thank yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat (AS).
Heritage menyatakan bahwa, kemerdekaan ekonomi adalah hak fundamental bagi setiap manusia.
Dengan demikian, maka dalam negara yang merdeka secara ekonomi, orang-orang leluasa bekerja, memproduksi, mengkonsumsi, melakukan investasi, dalam cara yang mereka kehendaki secara bebas dan merdeka tanpa tekanan dari siapapun.
Memang, dalam kenyataan, negara-negara maju biasanya memiliki skor tinggi dalam daftar itu. Tetapi nilai Indonesia tercatat di atas rata-rata regional dan global.
Indonesia di tahun 2018, berada di posisi 69 dengan skor 64,2. Kondisi perekonomian ini naik 15 peringkat dari peringkat sebelumnya, yakni 84. Pada hal, pada 2015 saja Indonesia belum masuk 100 besar.
Dijelaskan pula bahwa, langkah pemerintah dalam meningkatkan infrastruktur untuk menarik investor disorot secara positip dalam indeks ini.
Demikian juga dengan kasus korupsi yang gencar diburu, serta regulasi yang semakin ditingkatkan penerapannya.
Adapun hal yang menjadi kekurangan Indonesia adalah pasar tenaga kerja yang belum fleksibel, proteksionisme di beberapa sektor, serta subsidi ke banyak perusahaan BUMN, dan pengurusan keuangan publik yang masih belum baik.
Dijelaskan juga bahwa Indonesia tercatat mengalami kenaikan peringkat pada efisiensi regulator: kemerdekaan bisnis, tenaga kerja, dan monoter.
Langkah pemerintah untuk menaikkan upah minimum dan mengurangi subsidi listrik untuk program yang lebih penting juga mendapat nilai positif.
Kecuali itu, terdapat sudut pandang yang lebih terbuka akan adanya perkembangan ekonomi kreatif.
Pasalnya, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua ini, ekonomi kreatif akan diberikan porsi perhatian yang memadai.
Boleh jadi dan besar kemungkinan Presiden Joko Widodo akan membentuk kemeterian yang mengurusi ekonomi kreatif dan ekonomi digital.
Hal ini ditopang oleh hasil jejak pendapat Litbang Kompas, 7-8 Agustus 2019, terhadap 526 respoden di 17 kota di Indonesia, dalam rangka Visi Indonesia Negara Maju 2045.
Dan, salah satu tantangan besar adalah mempersiapkan diri menghadapi era transformasi digital serta pesatnya kemajuan sains dan ilmu pengetahuan.
Hal ini sejalan dengan hasil Indeks Daya Saing Global atau Global Competitiveness Index 2018, yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF).
Indonesia punya peluang menjadi Negara Maju di usianya yang ke 100 pada tahun 2045.
Meskipun demikian, Indonesia harus lebih banyak menyiapkan diri dari aspek kesiapkan mengadopsi teknologi informasi komunikasi, kapabilitas inovasi, dan pasar tenaga kerja yang berdaya saing.
Dengan demikian, maka ruang kemerdekaan hari ini sudah selayaknya diwarnai dengan semangat kebangsaan dalam aneka bidang kehidupan, seperti Sosial Budaya, Ideologi, Politik dan Ekonomi, dengan hiasan maskot Ekonomi Kreatif dan Ekonomi Digital.
*) Goris Lewoleba adalah Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA