Kenaikan Tarif TN Komodo, Keuskupan Ruteng: Bangun Dialog dalam Menangani Isu Sosial

oleh -
Vikjen Keuskupan Ruteng, Romo Alfons Segar. (Foto: Floresa.co)

Ruteng, JENDELANASIONAL.ID – Beberapa hari ini rencana kenaikan tarif masuk di Taman Nasional Komodo memantik polemik, khsusnya di kalangan masyarakat Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Terkait hal tersebut, akhirnya, Keuskupan Ruteng, sebagai gembala umat lokal ikut bersuara.

Vikjen Keuskupan Ruteng, Romo Alfons Segar melalui siaran pers yang diterima redaksi di Jakarta, Rabu (27/7) mengatakan, rencana kenaikan tersebut sejatinya dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia bersama dengan Pemerintah Provinsi NTT.

Salah satu pertimbangannya adalah demi konservasi habitat komodo, yang pada gilirannya mendukung pariwisata yang berkelanjutan.

Namun, Romo Alfons mengatakan, protes dari para pelaku pariwisata dan masyarakat yang terdampak memperlihatkan pentingnya mengintegrasikan kondisi perekonomian masyarakat yang baru menggeliat akibat pandemi Covid-19 dalam kebijakan pariwisata.

“Kami menilai bahwa momentum kenaikan tiket tersebut kuranglah tepat karena dunia pariwisata di Labuan Bajo dan Flores pada umumnya sedang bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covi1-9,” ujarnya.

Selain itu, kenaikannya yang sangat drastis itu juga mengganggu animo wisatawan dan menghambat kebangkitan dunia pariwisata yang menjadi motor penggerak perekonomian masyarakat.

“Kebijakan publik demikian, mesti melibatkan pelbagai pihak yang berkepentingan dalam sebuah dialog dan uji publik yang intensif. Selain kajian akademik, dituntut pula kajian sosial yang mempertimbangkan dampak ekonomis, politis, kultural dan ekologis dari  kebijakan tersebut. Selain itu dibutuhkan proses sosialisasi yang tepat dan terus-menerus,” ujar mantan Praeses Seminari Santu Pius XII Kisol itu.

Karena itu, Keuskupan Ruteng mengimbau semua pihak untuk membangun dialog dalam menangani isu-isu sosial secara bersama. “Hal ini sangatlah selaras dengan budaya Manggarai, yakni ‘lonto leok’ dalam rangka memperkuat kebersamaan dan kesatuan kita (nai ca anggit, tuka ca leleng). Cara atau metode yang digunakan untuk menyampaikan pendapat secara demokratis kiranya tidak berdampak merugikan pariwisata,” ungkapnya.

Dia mengatakan, Gereja Keuskupan Ruteng tidak henti-hentinya memperjuangkan pariwisata holistik yang mencakupi semua dimensi kehidupan manusia dan kesejahteraan umum.

Romo Alfons mengatakan, Gereja Keuskupan Ruteng dalam program pastoral Keuskupan Ruteng tahun 2022 ini mengusung tema pariwisata holistik dengan motto: Berpartisipasi, Berbudaya dan Berkelanjutan.

“Berpartisipasi berarti pariwisata yang melibatkan dan mensejahterakan masyarakat lokal. Berbudaya berarti pariwisata yang berakar dan bertumbuh dalam keunikan dan kekayaan kultur dan spiritualitas setempat. Berkelanjutan berarti pariwisata yang merawat dan melestarikan alam ciptaan,” ujarnya.

Menurut Romo Alfons, melalui paroki, lembaga gerejawi, biara-biara maupun awam Katolik, khususnya para pelaku wisata, Gereja Keuskupan Ruteng telah dan akan terus-menerus terlibat untuk mengembangkan pariwisata holistik dari Wae Mokel sampai Selat Sape, Manggarai Raya.

Selain mengelola situs dan program pariwisata rohani, Gereja Katolik berpartisipasi dalam menggerakkan ekonomi kreatif pariwisata umat, menggalakkan pariwisata budaya serta mendorong pariwisata alam. Lebih dari itu Gereja terlibat dalam menguatkan aspek spiritual dan etis umat sehingga dapat mengupayakan pariwisata yang beradab dan bermartabat serta menangkal dampak negatif yang timbul dari pariwisata.

Selain itu, kesejahteraan umum, penghargaan martabat manusia dan keutuhan ciptaan (ekologi) tetaplah menjadi kriteria utama dalam perjuangan moral dan sosial yang benar dan tepat.

“Marilah kita terus menerus merajut tali persaudaraan dalam dinamika pariwisata super premium dalam rangka mewujudkan peradaban kasih di tanah Nuca Lale Manggarai Raya,” pungkasnya. ***