Kepala BNPT: Lebih dari 120 Negara Telah Terpapar Radikalisme

oleh -
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, MH, di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (20/10/2022). (Foto: Ist)

Pontianak, JENDELANASIONAL.ID – Pesantren adalah salah satu mitra terdepan pemerintah untuk menyebarkanluaskan moderasi beragama dan wawasan kebangsaan untuk melawan penyebaran virus intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Untuk itu, kalangan pesantren harus menjadikan momentum Hari Santri Nasional (HSN), 22 Oktober 2022, untuk kembali menggelorakan resolusi jihad fii sabilillah melawan kelompok yang ingin merusak persatuan dan kedamaian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Ini momentum besar dari peristiwa sejarah masa lalu yang tidak bisa dipisahkan perjuangan NKRI. Sejatinya waktu itu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, kita tahu terjadi agresi militer oleh tentara asing, tentara Belanda. Sampailah pada tanggal 22 Agustus 1945, lahir fatwa tokoh ulama dan Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari untuk resolusi jihad fii sabilillah melawan penjajahan, musuh negara,” ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, MH, di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (20/10/2022).

Pernyataan itu diucapkan Kepala BNPT saat menghadiri seminar nasional kebangsaan kerja sama BNPT dengan Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) Kalimantan Barat (Kalbar) di Pontianak. Seminar ini digelar dalam rangka peringatan HSN 2022.

Boy Rafli mengungkapkan, bahwa resolusi jihad fii sabilillah merupakan pembelajaran penting bagi bangsa Indonesia, khususnya para santri dalam membela tanah air bersama seluruh komponen masyarakat waktu itu.

“Kalau dulu musuh kita kelihatan, tapi hari ini musuh kita berupa virus intoleransi, radikal teroisme yang mempengaruhi anak bangsa kita untuk memusuhi bangsanya sendiri,” imbuh Boy Rafli seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Bedanya, lanjut Kepala BNPT, ancaman virus intoleransi, radikalisme, dan terorisme ini harus dijadikan kewaspadaan bersama. Pasalnya, virus tersebut telah berkembang menjadi ideologi terorisme global yang tidak hanya terjadi Indonesia, tapi juga belahan dunia.

Ia mengungkapkan, lebih dari 120 negara telah terpapar virus tersebut. Artinya, virus intoleransi, radikalisme, dan terorisme itu seperti virus Covid-19.

“Kalau Covid-19, hari ini pandemi sudah mulai mereda setelah imunitas bangsa kita semakin bagus. Sudah ada vaksinnya, sehingga kita kebal. Tapi virus intoleransi, radikalisme, teroisme ini sulit untuk diprediksi berapa tahun akan hilang dari muka bumi. Dia akan terus berkembang biak mempengaruhi masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia,” ujarnya.

Boy Rafli mengungkapkan bahwa ideologi terorisme yang dikembangkan adalah sebuah pemahaman, ide, gagasan berbasis kekerasan yang berlandaskan keyakinan tertentu dan memiliki tujuan politik. Kemudian dengan fenomena itu, BNPT mencoba menarik kesimpulan beberapa karakteristik ideologi terorisme tersebut.

Pertama, anti-konstitusi negara UUD 1945dan anti-ideologi negara Pancasila.

“Menurut mereka konstitusi itu haram, thogut, dan kelompok kafir. Padahal itu legacy peninggalan leluhur bangsa yang berbasis identitas dan jatidiri bangsa kita. Mereka tidak setuju dengan ini, harus diganti dan tidak perlu dijadikan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara,” tutur mantan Kapolda Banten ini.

Kedua, lanjutnya bersifat transnasional dimana ideologi datang ke Indonesia dengan maksud dan tujuan tertentu yaitu menimbulkan instabilitas agar ide politik mereka terpenuhi dan diikuti masyarakat Indonesia yang beragam terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras.

Menurutnya, ideologi transnasional, bukan berakar dari budaya bangsa Indonesia. Dia adalah idelogi berbasis kebencian, sengaja dikembangkan oleh orang yang ingin melanjutkan konflik di muka bumi.

Ketiga, bersifat intoleran eksklusif, tidak bisa menerima keberagaman suku di Indonesia, agama. Bahkan dalam satu agama pun, bila tidak sealiran dengan mereka dianggap kafir yang harus diperangi dan halal darahnya.

“Ini yang berbahaya suka meyalahgunakan narasi agama. Suka membajak agama seolah-olah sedang berjuang atas nama agama. Padahal yang dilakukan justru anti-agama dan tidak sesuai dengan ajaran agama,” tegas Boy Rafli.

Kalau tidak disadari, kalangan teridik pun bisa terpapar. Kalau tidak waspada, karena dia pakai narasi agama, kemudian bersekutu dengan kekerasan yaitu anti kemanusiaan, boleh membunuh mengajarkan orang untuk jadi bom bunuh diri. Ini sesuatu yang jauh dari jati diri bangsa kita, identitas bangsa kita, jauh dari karakter bangsa kita yang menghormati perbedaan, menjunjung tinggi kebhinekaan.

“Dengan fenomena tugas BNPT menangani masalah dari hulu ke hilir. Beda dengan Densus 88. Kami (BNPT) tidak menangkap, kami bekerja agar orang tidak jadi teroris, agar orang bisa selamat dari virus intoleransi radikal terorisme, agar orang tidak jadi korban,” tuturnya.

 

Pentahelix

Untuk itulah BNPT melakukan Pentahelix yaitu multipihak dari berbagai unsur yaitu pemerintah, akademis, masyarakat, media dan media sosial, dan dunia usaha. Dalam hal ini, IPI mewakili unsur dari masyarakat.

Karena itu, Kepala BNPT mengajak semua pihak untuk bersama memerangi agar virus ini tidak bisa berkembang, dan tidak punya tempat untuk tinggal di Indonesia. Apakah di pondok pesantren, dunia pendidkan, kampus, pemerintah, komunitas.

Untuk mencegah penyebaran virus tersebut, BNPT mengajak semua pihak untuk bersama melakukan penguatan wawasan kebangsaan dengan penguatan empat pilar yaitu UUD 45, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Kemudian, revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman bangsa dan negara. Berikutnya, adalah penguatan moderasi beragama.

Upaya ini merupakan salah satu langkah strategis BNPT. Dimana mitra utamanya adalah Kementerian Agama (Kemenag), meski implementasi dengan seluruh bangsa Indonesia. Ia ingin moderasi beragama mengikuti contoh-contoh keteladanan Rasulullah Nabi besar Muhammad SAW saat memimpin umat Muslim hijrah dari Mekah dan berhasil memimpin rakyat Madinah menjadi masyarakat madani.

Menurutnya, dengan moderasi beragama bisa saling menghargai orang lain. Apalagi masing-masing agama memiliki konsep ketuhanan dan amaliah tetapi itu harus tetap saling menghormati seperti yang tertuang dalam Alquran, lakum diinukum wa liyadiin bagimu agamamu bagiku agamaku. Ia yakin kalau ini sudah jadi pegangan bagi mayoritas Islam, akan menjadi kenyamaman bagi saudara kaum minoritas.

“Moderasi beragama dengan penampilan Islam wasathiyah harus terus dipromosikan. Tentu BNPT tidak bisa sendiri. Kami melibatkan organsiasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan beberapa orgaisasasi islam yang jadi mitra kita,” ujarnya.

Kepala BNPT mengatakan kegiatan seminar nasional ini menjadi sarana edukasi bagi seluruh masyarakat luas untuk melakukan langkah-langkah mitigasi dalam mengatasi penyeberluasan virus intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Juga sebagai upaya agar semua kita bersatu padu menyatukan pemahaman, mana hal yang baik dan tidak baik, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Kita terima kasih kepada IPI dan seluruh unsur pemerintahan di Kalimantan Barat. Semoga hasil pembicaraan kita hari ini bisa menjadi rujukan bersama agar kita dapat terus membangun semangat kerukunan, semangat persatuan, semangat kegotongroyangan dalam menghadapi berbagai masalah yang kita hadapi,” pungkas Boy Rafli.

Gubernur Kalbar H Sutarmidji SH, MH, siap mendukung upaya-upaya pemberantasan virus intoleransi, radikalisme dan terorisme, khususnya di Kalbar. Menurutnya, pembangunan bisa berjalan dengan baik bila suatu wilayah damai dan tentram.

“Kalau BNPT membuat orang tidak jadi teroris, benang merahnya tugas Pemda Kalbar adalah  menutup ruang isu propaganda teroris itu. Kami siap bersinergi untuk menciptakan Kalbar yang aman dan damai serta terbebas dari virus intoleransi, radikalisme, dan terorisme,” katanya.

Ia menilai, Pancasila harus diimplementasikan dalam bentuk kesejahteraan dan kenyamanan. Ruang-ruang inilah yang harus ditutup oleh pemerintah sehingga masyarakat bisa memiliki imunitas dan kebal terhadap propaganda kelompok radikal. Tidak hanya itu, Pemda Kalbar mulai tahun depan sudah membuat program untuk murid SD sampai SMA agar menguasai minimal 20 lagu-lagu kebangsaan.

“Lagu perjuangan bisa membangkitkan kecintaan pada tanah air. Itu sederhana tapi dampaknya sangat besar. Saya bilang minimal 20 lagu supaya tidak lahir bibit-bibit intoleran,” tukas Sutarmidji.

Di tempat yang sama, Ketua Umum IPI KH Abdul Muhaimin menambahkan bahwa kegiatan seperti seminar nasional kebangsaan harus sering digelar sebagai etalase berkaitan kerja sama berbagai pihak dalam mengurangi bahkan menghilangkan ekstremisme dalam pemahaman agama. Ini adalah bentuk nyata kelembagaan untuk menguatkan masyarakat.

“IPI sendiri sudah setiap hari konsisten melakukan langkah-langkah pencegahan ini. Mari kita jaga NKRI dari unsur-unsur yang merusak negara dan merusak agama itu sendiri,” tuturnya.

Seminar nasional diikuti kurang lebih 200 peserta pengurus pesantren dari seluruh Kalbar. Hadir dalam seminar itu, Kapolda Kalbar Irjen Pol Drs. Suryanbodo Asmoro, M.M., Pangdam XII/Tpr diwakili Irdam, Brigjen TNI Widhioseno, para Bupati, wali kota, Dandim, dan Kapolres se-Kalbar. ***