Kerusakan Lingkungan, Indonesia Perlu Manifesto Peradaban Ekologis

oleh -
Diskusi “Manifesto: Menuju Peradaban Ekologis Untuk Indonesia” yang digelar “Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik, LP3ES”, di Jakarta, pada 5 Juni lalu. Diskusi mengahadirkan pembicara tunggal yaitu Honorary Professor di University of Queensland, The University of Amsterdam, Gerry van Klinken. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Hari Lingkungan Hidup yang diperingati pada 5 Juni menjadi momentum untuk merefleksikan masalah-masalah yang terkait dengan kerusakan lingkungan. Perubahan iklim, sudah bukan menjadi hal yang wajar. Ini merupakan sebuah krisis peradaban dan tidak lagi cukup hanya dengan tulisan ilmiah. Negeri ini butuh manifesto peradaban ekologis.

Demikian kesimpulan diskusi “Manifesto: Menuju Peradaban Ekologis Untuk Indonesia” yang digelarForum 100 Ilmuwan Sosial Politik, LP3ES”, di Jakarta, pada 5 Juni lalu. Diskusi mengahadirkan pembicara tunggal yaitu Honorary Professor di University of Queensland, The University of Amsterdam, Gerry van Klinken.

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto dalam pengantar diskusi mengatakan bahwa kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang menjadi momok bagi peradaban di dunia. Di Indonesia pada khususnya, memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan budaya dan politik, utamanya demokrasi yang terus mengalami kemunduran.

Ketika pemerintah Presiden Jokowi fokus pada kebijakan dan isu pembangunan, maka dia mengesampingkan dampak kerusakan lingkungan yang timbul.

“Arah kebijakan new-developmentalism ini tidak hanya mengesampingkan HAM dan kebebasan sipil, yang merupakan isu pelik lainnya, tetapi juga menutup mata dengan kondisi lingkungan yang kian memprihatinkan,” ujarnya.

Di sisi lain, dampak kerusakan lingkungan dan krisis iklim juga menggerogoti masyarakat di Indonesia, ditandai dengan semakin maraknya bencana-bencana antropogenik.

Namun tidak hanya itu. Indonesia, sebagai wilayah kepulauan juga dihadapkan dengan bahaya naiknya permukaan laut dan penetrasi air laut. Walaupun, sudah ada banyak aktivis lingkungan muda yang menyuarakan aspirasi mereka terkait bagaimana politisi enggan dan lamban merespons kerusakan lingkungan, tetapi mereka terhalang oleh beberapa isu politik, seperti: kuatnya konsolidasi oligarki, politik dinasti, politik kartel, politik uang.

“Dari sisi masyarakat, mereka pun kurang memiliki kreativitas dan imajinasi terkait dampak atas kerusakan lingkungan dan juga kurangnya kesadaran ekologis. Hal tersebut membuat masalah lingkungan, utamanya yang terjadi di Indonesia, menjadi hal yang sangat kompleks,” ujar Wijayanto.

Menanggapi hal itu, Gerry van Klinken mengatakan bahwa kerusakan lingkungan bukan masalah yang hanya bisa diatasi melalui perubahan perilaku individu semata, terlebih di Indonesia.

Negeri ini, katanya, harus melakukan langkah-langkah penanganan yang radikal untuk mengurai dan mengatasi kondisi lingkungan yang terus memprihatinkan. “Yang dibutuhkan bukan hanya sekadar sebuah makalah, tapi manifesto. Indonesia butuh manifesto,” ujarnya.

Eksistensi manusia sebagai spesies yang menghuni planet bumi ini sedang dalam ujung tanduk peradaban. Dia terancam oleh krisis iklim yang secara gradual tetapi signifikan terus menghantui.

Gerry mengatakan, hal ini bukan masalah yang baru, tetapi sudah muncul gejalanya sejak 160 tahun yang lalu. Tetapi terus diabaikan oleh literatur hingga 1990. Walau pun, kini sudah mendapat perhatian publik, tetap saja setiap tahunnya timbul prestasi-prestasi baru yang justru mempertegas betapa parahnya dampak dari kerusakan lingkungan.

 

Posisi Indonesia dalam Kerusakan Lingkungan

Di sisi lain, Indonesia memposisikan diri sebagai korban, mencoba lari dari tanggung jawab krisis iklim. Tetapi bukan berarti negara ini lepas dari kontribusi buruk mereka atas kerusakan lingkungan. Indonesia, misalnya, menjadi peringkat keempat produksi emosi karbon terbesar di dunia.

“Sebagai pelaku besar, Indonesia tidak bisa lagi lepas tanggungjawab. Pada saat yang sama, Indonesia memberikan subsidi pada pertambangan batubara sebesar 640 juta USD dalam satu tahun. Lima kali lebih besar dari subsidi untuk perkembangan energi terbarukan,” katanya.

Namun, daripada merasa takut, kata Gerry, kita harus mencoba membayangkan dunia kita setelah berhasil melalui musibah ini. Peradaban pada saat itu akan dicirikan sebagai peradaban ekologis. Sebuah istilah yang lahir dari Tiongkok, yang merujuk kepada peradaban yang dicirikan dengan ecososialisme.

Selain itu, harus ada kesadaran bahwa bumi ini bersifat terbatas, berdasarkan buku The Limits to Growth, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak akan bertumbuh tanpa batas.

Jika terus dibiarkan, maka stok makanan akan berkurang, polusi akan meningkat dan peradaban akan ambruk. Sedangkan, dari sisi kapitalis, pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai hal yang terjadi terus menerus, yang mana tidak mungkin terjadi. Sehingga, steady state economy menjadi hal yang akan sangat mungkin terjadi di mana populasi tidak akan bertumbuh, kapital yang tetap, barang mengalir melalui sistem ekonomi ini jumlahnya sangat kecil dan hanya sesuai dengan kemampuan bumi untuk menyerapnya. Ini menjadi tantangan ahli ekonom.

Menurut Gerry, kita menuju peradaban ekologis dengan ecososialisme menekankan pada kolaborasi politik, ekonomi dan sosial. Ruh-nya ada pada kolaborasi, bukannya persaingan.

“Selain itu, pentingnya demokrasi dalam menstimulus perubahan perdaban menuju peradaban ekologis. Lebih lagi, pencerahan dan perlu menggali ide-ide baru. Untuk sampai ke peradaban ekologis, kita harus terus memandang hal tersebut sebagai tujuan. Bergantung pada inovasi teknologi saja tidak cukup, tetapi harus ada perubahan social,” ujarnya.

 

Tokoh yang Tidak Miliki Kapabilitas Diberi Posisi Politik

Pada sesi diskusi, Fachruddin M Mangunjaya yang merupakan penulis “Generasi Terakhir” berkomentar bahwa sebenarnya, Islam sebagai agama dapat memberikan kontribusi yang besar jika umatnya memberikan teks dan konteks.

Ayat tidak bisa dipertentangkan dengan pengetahuan dan lingkungan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menawarkan pandangan yang sepenuhnya terintegrasi dari Semesta di mana agama dan sains, pikiran dan materi adalah bagian dari satu kesatuan yang hidup dan sadar. “Oleh karena itu kita merupakan makhluk terbatas yang dikandung oleh keterbatasan dan juga merupakan mikrokosmos dari keseluruhan,” ujarnya.

Julia Suryakusuma, aktivis dan penulis yang dikenal dengan State Ibuism, pun turut menyampaikan pandangannya. Dia merefleksikan bagaiama seorang anak kecil, Greta Thunberg, mempertanyakan dengan lantang peranan para kaum dewasa yang masih ignorance terhadap masalah lingkungan.

Bahkan, setelah itu pun tidak ada perubahan yang berarti. Kapitalis terus memperoleh posisinya dalam peradaban, beriringan dengan semakin besarnya kontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Bahkan, ketika bencana antropogenik pun terjadi, politisi masih bisa denial, menutup mata dan batin atas kondisi lingkungan yang sudah rusak dengan semakin parah. “Karena itu, harus ada perubahan yang drastis dan struktural untuk dapat mengurai masalah ini,” ujarnya.

Satyawan Sunito, dosen IPB, juga mempertegas bahwa memang kemunduran norma dari kelas menengah di Indonesia menjadi salah satu hal yang berpengaruh dalam pembiaraan yang terjadi terkait dengan kerusakan lingkungan.

“Bahkan tokoh-tokoh yang tidak memiliki kapabilitas untuk merefleksikan masalah justru diberikan posisi politik, menyuarakan statement bahwa megadiversity adalah untuk kepentingan ekonomi,” katanya.

Diskusi ini mempertegas publik bahwa Indonesia memerlukan sebuah langkah perubahan radikal demi mengurai dan mengatasi permasalahan lingkungan. Negeri ini perlu manifesto peradaban ekologis. (Ryman)