KIPP: Perhatikan Faktor Pencetus dan Pendorong Setiap Potensi Kerawanan Pemilu

oleh -
Potensi kecurangan Pemilu 2019. (Foto: ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.COM — Pelaksaanan Pemilu serentak tahun 2019 sebagai sarana pengejewantahan kedaulatan rakyat sudah memasuki tahapan kampanye. Sekitar tiga bulan lagi, tepatnya pada 17 April 2019, rakyat Indonesia akan menentukan pilihan politiknya untuk memilih pemimpin mereka.

Pemilu 2019 ini sangat penting sekali, karena di tahun ini peraihan suara bagi parpol dapat menjadi modal untuk untuk lolos masuk ke dalam parlemen dengan ambang batas parlemen 4%.

“Berat memang, oleh karena itu persaingan ketat antar parpol, maupun internal parpol sangat sengit. Pun menurut beberapa lembaga survei, hanya akan ada lima atau enam parpol yang lolos,” ujar peneliti 7 (Seven) Strategic Sudies/Wakil Sekjend KIPP Indonesia, Girindra Sandino dalam siaran pers yang diterima redaksi Indonews.id, di Jakarta, Senin (28/1/2019).

Girindra mengatakan, basis suara sah nasional dan hitungan persen kursi yang menjadi syarat legal untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, dengan syarat 20%, tidak tertutup kemungkinan akan membuat konstelasi politik berubah. Hal itu bisa berdampak pada Pilpres tahun 2024 yang hanya diikuti satu pasangan calon Capres-Cawapres alias Calon Tunggal.

Selama mengikuti perkembangan proses pemilu sejak tahun 2004, 2009, 2014, dan sekarang pemilu serentak 2019, ada beberapa hal yang perlu diungkapkan terkait titik-titik kerawanan Pemilu 2019 yang sudah di ujung jalan yang harus diantisipasi oleh Penyelenggara, Peserta Pemilu, pihak keamanan, dan masyarakat pada umumnya.

Girindra menyebutkan ada sejumlah hal yang bisa membuat Pemilu 2019 potensial menimbulkan kerawanan.

Pertama, saat ini masih ada sekitar 5,38 juta penduduk Indonesia belum melakukan perekaman Kartu Tanda Penduduk elektronik (E-KTP). Belum lagi, masih saja ditemukan permasalah DPT di berbagai daerah. Hal ini berpotensi memunculkan kerawanan jika DPT tidak akurat itu akan memunculkan penambhan logistik yang berpotensi disalahgunakan untuk kecurangan.

“Karena DPT tentu yang paling krusial adalah pemenuhan hak konstitusional warga negara, juga berpengaruh pada proses produksi dan distribusi logistic,” ujarnya.

Kedua, proses produksi dan distribusi logistik juga merupakan titik rawan yang harus segera diantisipasi. Misalnya, apakah sudah tepat jumlah mengingingat DPT terus berubah atau dalam proses perbaikan, walau ada tambahan 2,5 persen per TPS. Apakah distribusi logistik tepat sasaran atau lokasi.

Ketiga, potensi mobilisasi pemilih fiktif dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK). DPK adalah warga yang punya hak pilih namun belum terdata dalam DPT. Pemilih kategori ini bisa menggunakan hak pilihnya cukup dengan membawa e-KTP di TPS terdekat sesuai alamat pada e-KTP. “Ini juga yang menjadi titik rawan yang bisa dijadikan lahan untuk pemilih siluman,” ujar Girindra.

Keempat, potensi surat suara tertukar. Menurut pengalaman Pemilu 2014 banyak surat suara tertukar.

Selanjutnya, berdasarkan pemilu sebelumnya, dalam pemantauan pilkada kadang di kelurahan ada penimbunan formulir C6 (surat undangan untuk pemilih dan lokasi TPS), yang belum diberikan kepada pemilih. Selain itu, ada penimbunan surat undangan pemilih atau formulir C6. Modus ini sangat banyak ditemukan pada masa-masa tenang Pilkada dan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi di pemilu 2019. “Tujuannya adalah untuk membingungkan pemilih lokasi dimana tempat memilih, membuat pemilih kehilangan hak pilihnya, dan membuka peluang masuknya ‘pemilih siluman’,” ujarnya.

Selain itu, di hari H, rekapitulasi suara oleh PPS di tingkat desa dan kelurahan. Pengalaman pada Pemilu Orde Baru, Pemilu 1999, dan Pemilu 2004,2009, 2014, selalu ada mobilisasi kekuatan politik yang dilakukan di tingkat desa dan kelurahan sebagai sebuah entitas politik. Lagipula, sejauh ini, belum ada kajian serta solusi untuk mengeliminir potensi kecurangan itu agar tidak terjadi pada pemilu 2019.

Belum lagi, adanya pelanggaran yang dilakukan oleh petugas pemilu baik di tingkat PPS, tingkat kecamatan, kabupaten hingga pusat. Hal ini tentu akan berpeluang menimbulkan konflik, celah kecurangan semakin menganga dengan politik uang untuk penyelenggara jajaran bawah. Dan masih ada sejumlah potensi pelanggaran lainnya yang bisa saja terjadi.

Menurut Girindra, pola pelanggaran, dan kecurangan dalam pemilu selalu selalu bersifat berulang (recurrent pattern). Tindakan pelanggaran itu juga dilakukan oleh orang yang sama saja. “Kondisi-kondisi struktural, tekanan-tekanan situasional, tidak berfungsinya pranata-pranata pengendali sosial maupun sosial-budaya dalam masyarakat, dll,  dapat menjadi faktor dasar (basic factors) yang melatarbelakangi tingginya frekuensi kecurangan dan pelanggaran,” ujarnya.

Girindra mengatakan, tidak cukup memetakan potensi-potensi kerawanan yang memang ada sebab akibat yang melatarbelakanginya itu. Yang paling penting diperhatikan oleh para penyeleggara pemilu yaitu adanya faktor pencetus dan faktor pendorong dari setiap potensi kerawanan itu.

“Akan tetapi yang lebih penting adalah faktor pencetus (precipitating factor) dan faktor pendorong (predisposing factors) potensi kerawanan harus dipahami jeli, untuk melakukan tindakan konkret fungsi pengawasan yakni pencegahan,” pungkasnya. (Ryman)