KLB Campak Asmat Dicabut, Kemenkes Lanjutkan Program Pemenuhan Gizi

oleh -
Seorang anak balita menderita campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Propinsi Papua (Foto: Romo Hendrikus Hada Pr)

ASMAT – Setelah pencabutan status kejadian luar biasa (KLB) campak pada Senin (5/2/2018) kemarin, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tetap fokus mengoptimalkan pelayanan kesehatan serta edukasi tentang pemenuhan gizi keluarga di Kabupaten Asmat.

Seperti yang terlihat pada Senin (5/2/2018) sore di Kampung Kaye, Agats, Kabupaten Asmat, sekitar 100 anak, bayi, dan balita berkumpul di balai kampung. Nampak pula beberapa ibu hamil ingin memeriksakan diri.

“Kegiatan screening gizi ini diadakan sebulan sekali tiap tanggal 8 dan bergiliran dilakukan di tiga kampung yang kami naungi,” jelas Kepala Puskesmas Agats Nathan Rias, SKM.

Kegiatan rutin tersebut dipadukan dengan program pemantauan 1.000 hari pertama kelahiran secara optimal. Terdapat 8 posko di beberapa distrik menyediakan sarapan bergizi seimbang setiap hari.

“Cara ini kami lakukan agar asupan nutrisi ibu hamil terjaga dan bayi yang dilahirkan sehat tanpa malnutrisi,” kata Nathan seperti dikutip dari siaran pers Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI.

Keberadaan program pantauan dan pemenuhan gizi tersebut terbilang komprehensif. Lantaran terdapat empat pos, mulai dari penimbangan berat badan, ukur lingkar lengan, cek status gizi keluarga hingga pemberian biskuit PMT balita, anak sekolah serta ibu hamil.

Screening gizi keluarga ini diapresiasi warga Asmat. Seperti yang diungkapkan warga Kampung Kaye, Isaac Marwoto dan Evelyn Manem. Pasangan suami istri yang dikaruniai lima orang anak laki-laki ini rutin mengikuti screening gizi.

Ternyata Christian (3 tahun), satu dari putranya teridentifikasi bergizi kurang baik. Spesialis anak tim Flying Health Care (FHC) Kemenkes dr. Ali Alhadar menyarankan agar asupan makanannya diperbaiki.

“Bisa mulai ditambahkan minum susu agar berat badannya cepat bertambah,” ujar Ali.

Isaac pun mengakui anaknya hanya doyan makanan instan seperti mie dan snack. Beruntung, satu anak yang berusia setahun masih menyusui secara ekslusif dari sang ibu. Ekonomi yang sulit membuat asupan pangan keluarga ini hanya nasi dan terkadang mendapat lauk ikan atau kepiting dari hasil memancing.

Screening gizi, diakui Isaac, mudah dijangkau olehnya baik dari segi lokasi maupun untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan anak-anaknya.

“Sebenarnya kami sangat berharap ada spesialis anak untuk membantu warga kampung. Tapi biskuit PMT yang disalurkan Kemenkes sangat membantu anak-anak kami,” ujarnya.

Model pendekatan keluarga diakui cocok diterapkan dalam pemulihan tingkat gizi keluarga.

“Rata-rata status gizi di Kampung Kaye sudah membaik, tapi ada pola saat anak berumur 0-4 bulan, status gizinya masih baik karena masih diberi ASI. Namun, saat 9 bulan mereka hanya dikenalkan makan nasi kosong  yang penuh karbohidrat,” kata spesialis anak dari tim FHC Kemenkes Cut Nur Hafifah.

Yang dibutuhkan saat ini, ujar Cut, Kemenkes menyebarkan pengetahuan tentang makanan pendamping ASI melalui pendekatan keluarga. Langkah selanjutnya memberikan pengetahuan olah pangan lokal seperti daun singkong, pisang, ubi-ubian, ikan, dan kepiting menjadi sumber nutrisi bergizi seimbang.

“Asmat masih butuh pendampingan dibantu kader kesehatan dari warga lokal untuk membantu sosialisasi,”ujarnya.

Program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) pun mulai diusulkan dapat diberdayakan untuk program menengah dan jangka panjang.