Koalisi: Tim Polri Perlu Menjawab Beragam Spekulasi dan Kejanggalan Terkait Kematian Brigadir J

oleh -
Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) bersama Irjen Fredy Sambo dan Istri. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Kepolisian sebagai bagian dari institusi penegakkan hukum perlu menjalankan tugas dan fungsinya secara professional, akuntabel dan transparan. Dalam perjalanannya, proses reformasi kepolisian masih menyisakan pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan.

Salah satu persoalan yang perlu dibenahi adalah terkait dengan masih terjadinya penggunaan kekuatan dan penyalahgunaan kewenangan yang tidak proporsional dan berlebihan yang berdampak pada terjadinya aksi-aksi kekerasan dan tindakan sewenang-wenang lainnya. Dalam beberapa kasus, beberapa praktik penyiksaaan dan pelanggaran HAM lainnya masih terjadi.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) yang menjadi sorotan publik beberapa hari belakangan ini tentu perlu menjadi perhatian serius pemerintah dan organisasi Polri untuk menyelesaikannya.

“Proses hukum terhadap kasus ini perlu dilakukan secara transparan dan akuntabel. Berbagai fakta-fakta hukum yang terjadi perlu dibuka secara terang benderang kepada masyarakat dan tentu tidak boleh ada yang di tutup-tutupi. Siapa pun yang diduga terlibat dan juga menghalang-halangi penyelidikan kasus kematian ini secara akuntabel, bisa kena jerat pidana (obstruction of justice, 233 kuhp), tidak hanya berhenti pada soal etik dan disiplin,” ujar Koalisi dalam konfrensi pers tentang “Reformasi Polri dan Kasus Brigadir J”, melalui streaming youtube, di ICW, Kamis (28/7).

Koalisi menilai beragam spekulasi dan kejanggalan yang berujung pada pertanyaan publik dan keluarga korban terkait dengan kasus ini perlu dijawab secara transparan dan akuntabel oleh tim yang telah dibentuk oleh Polri.

“Kerja tim dalam menyelesaikan kasus ini akan menjadi perhatian serius oleh masyarakat sehingga pengawasan oleh masyarakat menjadi bagian elemen penting dalam menuntaskan kasus ini,” ujarnya.

Lebih dari itu, menurut Koalisi, peran-peran lembaga pengawasan eksternal seperti Kompolnas dan Komnas HAM perlu juga melakukan pengawasan yang efektif terhadap kasus tersebut. Peran lembaga-lembaga eksternal itu perlu bekerja secara profesional dan penting untuk menjaga jarak di dalam melakukan pengawasannya demi tercipatnya pengawasan yang independent dan akuntabel.

 

Penggunaan Senjata

Khusus penggunaan kekuatan senjata api oleh kepolisian, Koalisi menilai memang menjadi masalah serius yang perlu dibenahi dalam institusi kepolisian. Aparat kepolisian perlu memperhatikan Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api.

Terdapat tiga asas esensial dalam penggunaan senjata kekerasan dan senjata api yang penting untuk diperhatikan polisi yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity) dan proporsional (proportionality).

Sungguh pun penggunaan kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan, aparat penegak hukum harus mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan.

“Penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dapat mengakibatkan petugas mendapatkan masalah, apalagi yang mengakibatkan kematian. Penyalahgunaan kewenangan ini mengakibatkan pelanggaran pidana sekaligus pelanggaran atas harkat dan martabat manusia,” kata Koalisi.

Penggunaan senjata api jelas sebagian kecil dari problem kewenangan besar Kepolisian yang minim pengawasan dan kontrol sehingga berujung pada pelanggaran HAM dan tindakan sewenang-wenang lainnya.

Laporan dari Komnas HAM menunjukkan sebanyak 71 tindakan kekerasan dan 39 tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian dalam kurun waktu dua tahun terakhir yaitu 2020-2021. Data lain dari KontraS, pada Juni 2021 hingga Mei 2022, terdapat 31 kasus penyiksaan Polisi, data ini selalu berualang tiap tahunnya.

Koalisi mengatakan, rangkaian data itu menunjukkan bahwa tindakan sewenang-wenang Kepolisian dari mulai penyiksaan sampai penggunaan kekerasan berlebih selalu berulang terjadi tanpa ada evaluasi dan penyelesaian kasus yang transparan dan akuntabel.

 

Konflik Kepentingan dan Wewenang Mutlak Penyidikan Polri

Dalam problem yang sudah sangat sistemik dan struktural di tubuh Kepolisian ini, maka Koalisi meminta Presiden dan DPR untuk menjadikan kasus kematian Brigadir J sebagai catatan tersendiri bagi perlunya sebuah mekanisme akuntabilitas pemeriksaan yang efektif dan terbuka bagi aparat Polri yang melanggar.

Adanya konflik kepentingan dan wewenang mutlak penyidikan Polri menjadi alasan untuk memikirkan sebuah mekanisme khusus atau lembaga eksternal independen yang diberi kewenangan menyidik kasus seperti ini.

Dalam kaitan dengan penanganan perkara Brigadir Josua yang masih berjalan, Koalisi mempertanyakan posisi dari Irjen Ferdy Sambo yang dalam Surat Perintah Kapolri Nomor Sprint/1583/2022 sebagai Kasatgassus Polri yang dengan jabatannya sangat mungkin mempengaruhi proses pemeriksaan ulang yang sekarang sedang berjalan.

Karena itu, menurut Koalisi, sangat dibutuhkan perbaikan di sektor perundangan, KUHAP dan aturan lain menyangkut pengawasan kewenangan Kepolisian yang dinilai sudah tak lagi efektif. Karena itu, perlu politik hukum yang kuat untuk membenahi hal ini.

Lebih dari itu, reformasi kepolisian juga harus meliputi reformasi di level instrumental dan juga reformasi kultural. Reformasi kepolisian harus dapat menempatkan institusi kepolisian untuk dapat bekerja dalam koridor prinsip negara hukum yang menghormati prinsip due process of law.

“Penghormatan atas hak hak asasi manusia dalam menangani masalah hukum yang terjadi penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi praktik kekerasan yang berlebihan. Reformasi kepolisian juga menuntut agar kepolisian dapat bekerja secara professional, akuntabel dan transparan,” ujar Koalisi.

“Dalam konteks itu, penuntasan kasus J adalah bagian dari ujian dari proses reformasi kepolisian itu sendiri,” pungkasnya. ***