Konsep Wisata Halal Ganggu Kohesi Sosial Masyarakat Manggarai

oleh -
Petrus Selestinus, Koordinator PAP-KPK dan advokat Peradi. (Foto: Ist)

Jakarta, JEDELANASIONAL.ID — Konsep Wisata Halal yang coba diterapkan oleh Badan Otoritas Pariwisata (BOP) Labuan Bajo di Manggarai Barat, sebetulnya adalah penghalusan dari konsep tentang Hotel Syariah yang pernah ada melalui Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif No. 2 Tahun 2014, tentang Hotel Syariah yang kemudian dicabut kembali dengan Peraturan Menteri Pariwisata No. 11 Tahun 2016, karena dianggap tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Oleh karena itu konsep Wisata Halal ini sebetulnya tidak memiliki landasan hukum karena tidak dikenal atau tidak diatur di dalam UU No. 10 Tahun 2009, tentang Kepariwisataan. Juga ia bertentangan dengan kewajiban negara menurut pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip NKRI.

Hal itu dikatakan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus di Jakarta, Minggu (5/5). Seperti diketahui perbincangan terkait wisata halal yang disosialisasikan oleh BOP Labuan Bajo, menjadi polemik di kalangan masyarakat Manggarai, Flores Barat, beberapa hari ini.

“Konsep Wisata Halal ini bakal menjadi kontra produktif dan akan mengganggu kohesi sosial masyarakat Manggarai Barat yang sudah tertata rapi selama bertahun-tahun lamanya, bukan saja karena ia melanggar UU No. 10 Tahun 2009, tentang Kepariwisataan yang mensyaratkan penentuan wilayah pariwisata yang strategis, harus memperhatikan aspek sosial, budaya, lingkungan dan agama masyarakat setempat akan tetapi juga konsep Wisata Halal ini bertentangan dengan amanat Konstitusi pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Apalagi konsep Wisata Halal ini hendak mengintegrasikan nilai-nilai syariah ke dalam kegiatan pariwisata, seperti fasilitas-fasilitas, ornamen-ornamen dan model pelayanannya-pun harus yang sesuai dengan ketentuan syariah, sehingga berpotensi mematikan ekspresi budaya tradisional lokal,” ujar Petrus.

Jika konsep ini ditolerir, menurut Petrus, maka bukan hanya budaya lokal yang menjadi anak tiri, akan tetapi sumber daya manusianya-pun mulai dari tenaga resepsionis hingga jabatan manager harus yang paham dan menganut hukum syariah demi menjamin pemenuhan mutu pelayanan wisata halal sehingga tidak tertutup kemungkinan muncul tuntutan diperlukan “perda syariah” sebagai pijakannya. Nuansanya  harus Islami, lagu-lagu, pernak pernik semuanya harus bernuansa syariah.

“Ini tentu tidak sesuai dengan konsep pembangunan kepariwisataan NTT yang berbasiskan kearifan lokal, mengedepankan ekspresi budaya tradisional lokal dan tentu saja semangatnya adalah semangat mewujudkan  masyarakat NTT yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan untuk mewujudkan tujuan nasional bangsa,” ujarnya.

Petrus mengatakan, konsep BOP Labuan Bajo yang hendak menjadikan Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat dengan karakteristik Pariwisata Halal harus dihentikan. Karena konsep halal ini berpijak pada ajaran syariah sehingga berpotensi menggusur identitas budaya lokal, kearifan lokal dan adat budaya lokal masyarakat Kabupaten Manggarai Barat yang merupakan bagian dari ekspresi budaya tradisional yang harus dilindungi.

Sikap tegas Pemerintah Provinsi NTT wajib didukung oleh masyarakat, apalagi saat ini Pemerintah Provinsi sedang giat-giatnya mengangkat budaya lokal untuk tampil dalam setiap kegiatan Kepariwisataan di seluruh NTT termasuk Kabupaten Mangarai Barat dan Kabupaten lainnya, sebagai wujud tanggung jawab negara menjalankan amanat pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Di sisi yang lain, tanpa disadari konsep Wisata Halal ini justru menimbulkan tafsir seakan-akan menempatkan kearifan lokal berada pada posisi yang diharamkan dan ini jelas menyinggung harga diri dan martabat masyarakat Manggarai Barat.

“Kultur dan karakter masyarakat Manggarai Barat yang sangat toleran terhadap perbedaan dan yang selalu hidup berdampingan secara damai tanpa ada persoalan halal dan haram selama ini mestinya tidak boleh diganggu gugat atas alasan apapun dan oleh siapapun. Oleh karena selama ini kehidupan masyarakat Manggarai Barat berjalan secara alamiah dan penuh toleransi tanpa ada insiden apapun,” ujarnya.

 

Copot Jabatan Shana Fatinah

Menurut Petrus, warga Manggarai Barat sangat tahu bagaimana menghormati dan memberi tempat yang layak bagi saudara-saudaranya yang Muslim atau tamu-tamunya yang Muslim. Juga sebaliknya saudara-saudara yang Muslim di Manggarai Barat sangat tahu bagaimana menghormati kultur saudara-saudaranya orang Manggarai Barat.

Kondisi demikian sudah menjadi kultur bersama yaitu saling menghargai perbedaan tanpa harus diatur dengan berbagai regulasi dan kebijakan yang hanya mengejar keuntungan materi semata-mata tanpa memperhatikan persoalan keberagaman kebudayaan daerah yang saat ini sangat diperlukan untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia sebaga investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan nasional.

Karena itu, menurut Petrus, Kepala Badan Otoritas Pariwisata (BOP) Kabupaten Manggarai Barat, Shana Fatina harus dicopot dari jabatannya dan sebelumnya harus mencabut konsep Wisata Halal dimaksud disertai permintaan maaf kepada masyarakat Manggarai Barat dan Pemerintah Provinsi NTT, karena konsep Wisata Halal ini tidak ada pijakan hukumnya, bahkan berbasis pada hukum syariah yang sulit diterapkan di Manggarai Barat dan Provinsi NTT pada umumnya yang kultur dan agamanya berbeda.

“Apalagi pada saat yang bersamaan Pemerintah Daerah NTT sedang membangun Kepariwisataan NTT yang berbasis pada ekowisata yang mengedepankan aspek kearifan lokal, konservasi alam, pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal, seperti Bangunan Hotel bergaya rumah adat, reseptions dan duta wisata harus berpakaian sarung tenun khas NTT, sapaan pembuka disesuaikan dengan tradisi setempat, tamu disuguhi sirih pinang dan tembako dll. yang tentu saja gaya khas NTT,” ujarnya. (Ryman)