KPK, Berdenyut Tetapi Sebenarnya Sekarat

oleh -
Diskusi “Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik” LP3ES membedah Undang-undang KPK. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Sejak Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) direvisi pada akhir 2019 lalu, muncul banyak kritik dari kalangan pengamat, dan para pegiat korupsi. Mereka mengatakan bahwa UU tersebut telah mengebiri upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Karena itu, LP3ES melalui diskusi “Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik” kembali membedah Undang-undang KPK tersebut dengan menghadirkan

Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia, Bivitri Susanti, Pengajar UGM, Zainal Arifin Mochtar, Dosen Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, pengamat dari LP3ES, Malik Rusman, Mantan Pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, dan pengamat dari La Trobe University, Jeremy Mulholland. Diskusi ini dibuka oleh Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto.

Wijayanto mengatakan bahwa ada pasukan siber yang beroperasi pada penolakan Revisi UU KPK. Pada durasi antara 10-17 September 2019, ada gelombang tsunami tweet yang tidak normal terkait dengan isu KPK, menjadi salah satu ciri adanya manipulasi publik di ruang digital. Salah satu upaya manipulasi opini publik yang paling menonjol adalah KPK Taliban.

Wijayanto mengatakan, media mungkin tidak secara langsung mengubah opini publik, tetapi nyatanya efektif untuk membuat isu terkait KPK Taliban bertahan dalam ruang diskusi publik.

“Bahkan pada saat aktivis menolak revisi UU KPK pada tahun 2019, mereka mengalami teror siber dalam bentuk peretasan dan pengawasan WA, teror telpon, peretasan dan atau pengawasan e-mail. Ironisnya, teror ini tidak berhenti sampai di situ, rentetan represi juga dialami para aktivis pasca penolakan revisi UU KPK,” ujarnya.

Bivitri Susanti menegaskan bahwa sebenarnya korupsi tidak hanya terkait dengan pencegahan dan penindakan tindakan korupsi, tetapi juga meliputi elemen lain dalam demokrasi, karena tentu saja korupsi selalu terkait dengan kekuasaan.

“Karena itu, ada ‘state capture corruption’ di mana sekelompok orang menggunakan pengaruh mereka dalam menyusun kebijakan yang menguntungkan bagi kelompok itu sendiri, terutamanya secara ekonomi,” ujar Bivitri.

Revisi UU KPK pada 2019, katanya, juga mengalami perlawanan di MK. Pada 20 November 2019, delapan perkara diajukan untuk uji materil dan formil. Secara materil sudah terbukti, kalau uji formilnya juga sudah kuat. Tetapi dalam dua sidang yang sudah selesai sejak Juni 2020 perkara yang diajukan belum mendapat putusan.

“Kemudian, dinamika penolakan revisi UU KPK mencerminkan kegagalan dari sisi konsolidasi masyarakat sipil. Kasus tersebut pun tidak bisa dilihat sebagai kasus legal-formal secara penuh, tetapi merupakan fenomena negara hukum di mana pembatasan kekuasaan,” ujarnya.

Malik Rusman mengatakan bahwa korupsi sudah membudaya. Dengan kata lain Indonesia tengah mengalami darurat korupsi. Pada tahun 2018 ada 100 kepala daerah yang ditangkap karena terlibat kasus korupsi, meningkat menjadi 120 pada 20019.

Di sisi lain, katanya, walau pun masyarakat sudah sangat anti-korupsi, tetapi masih menganggap wajar pemberian barang, fasilitas, uang menjelang Pilkades, Pilkada dan Pemilu.

“Dengan kata lain, dari sisi publik pun terdapat ambiguitas dalam memaknai korupsi. Oleh sebab itu, diskursus demokrasi tidak bisa dijauhkan dari diskursus pemberantasan korupsi, pemberantasan kemiskinan dan penciptaan keadilan sosial. Terlebih dengan berkurangnya korupsi pun otomatis meningkatkan kepercayaan publik kepada lembaga demokrasi,” kata Malik.

Dia mengatakan, selama lebih dari dua dekade menjalankan praktik demokrasi, Indonesia keliru menganggap demokrasi sebagai tujuan. “Karena ketika dianggap sebagai tujuan, maka demokrasi sudah tercapai dengan didirikannya lembaga-lembaga demokrasi, dilaksanakannya Pemilu dan sebagainya. Seharusnya, demokrasi dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara,” ujarnya.

 

Dibangun dengan Narasi Mitos

Sementara itu, Zainal Arifin Mochtar memaparkan bahwa UU KPK yang baru dibangun dengan mitos yang terkait dengan narasi bahwa KPK terlalu kuat dan tanpa pengawasan, perbaikan ekonomi terhalang oleh KPK.

Kemudian ada pula narasi yang terkait dengan KPK harus memiliki SP3 demi hak asasi. Selanjutnya, para pegawainya harus di-ASN-kan supaya memiliki kejelasan mengenai kepegawaian, dan KPK hanya independen dalam menjalankan tugas dan bukan secara posisi kelembagaan sehingga harus diletakkan di bawah badan eksekutif, dan sebagainya.

Selain mitos, katanya, ada pula paradigma yang sudah berubah terkait dengan Korupsi. “Perubahan paradigma itu terkait dengan munculnya new developmentalism sehingga menempatkan ekonomi dan pembangunan di atas penegakan hukum,” ujarnya.

Selain itu, korupsi dianggap sebagai kasus biasa, karena itu, penjinakan KPK menjadi prioritas. Garis batas toleransi terhadap korupsi melemah, kemudian pembelahan antara nasionalis dan agamis yang menjadi alibi.

Mitos dan perubahan paradigma tersebut menjadi landasan kondisi KPK saat ini yang bisa dikatakan sebagai “New Normal” KPK.

Dengan kata lain, KPK hanya berdenyut tetapi sebenarnya sekarat. Putusan MK yang menjadi harapan pergerakan anti korupsi Indonesia nyatanya selama ini di-politisasi. UU MK yang baru sedikit banyak menjadi cara domestikasi.

Berdasarkan realita tersebut, Zainal menduga bahwa MK akan mencari jalan tengah terkait UU KPK. Ia menegaskan SP3 akan menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan karena mungkin akan ditinjau kembali.

Ahmad Khoirul Umam mempertegas kaitan antara kekuasaan dengan eksistensi lembaga pemberantasan korupsi.

Lahirnya KPK, katanya, bukan atas iktikad baik untuk menciptakan mesin anti-korupsi. Hal itu bisa dibuktikan dengan mangkraknya proposal lahirnya lembaga anti-korupsi selama dua tahun.

“Setelah terbentuk pun tidak ada niatan atau upaya untuk menguatkan atau mengonsolidasi kekuatan KPK,” ujarnya.

Dengan kata lain, ketika isu pemberantasan korupsi menjadi penting bagi kekuasaan, maka akan ada penguatan yang solid terhadap upaya-upaya penegakan gerakan anti-korupsi.

Sebaliknya, ketika isu pemberantasan korupsi mengancam jantung kepentingan politik, maka akan menjadi mandul atau mengalami represi.

Dengan adanya irisan antara isu pemberantasan korupsi dengan nature of power, maka KPK pun menjadi ‘gimmick’. “Ironisnya, dengan proses pembangunan infrastruktur yang menjadi fokus alokasi anggaran pemerintah selama bertahun-tahun, tidak ada kasus yang di-cover oleh lembaga penegak hukum terkait kasus pembangunan infrastruktur. Padahal secara faktual, datanya ada, tetapi di level penegakan hukum tidak ada sama sekali,” ujarnya.

 

KPK Sasaran Perebutan Elit Kekuasaan

Pada akhir sesi, Busyro Muqoddas menyampaikan bahwa ada tiga makna faktual terkait dengan tandus-nya narasi-narasi terkait pemberantasan korupsi.

Pertama, OTT bocor. Dia mengatakan siapa di balik OTT yang bocor tersebut.

Kedua, SP3. “Kalau ditegaskan, sebenarnya ada satu nama yang paling signifikan di balik SP3. Terakhir, isu KPK Taliban yang sebenarnya tidak punya kaitan dengan unsur keagamaan,” ujarnya.

Dia mengatakan, makna besar dari adanya isu Taliban di KPK adalah adanya pembelahan masyarakat sipil yang sukses terjadi melalui dinamika politik belakangan. Selain itu, terjadi pelembagaan banditisme politik, salah satunya dengan adanya buzzer yang dilembagakan.

Dia mengatakan bahwa ide membangun KPK yang baru itu masih rasional. Tetapi ketika kultur politik masih dipertahankan hingga 2024 maka optimisme regime yang otentik pun patut dipertanyakan.

Jeremy Mulholland mengatakan bahwa ada serangan balik dari pemerintah yang notabene-nya dengan tidak ikhlas mendirikan KPK dengan melakukan revisi UU KPK pada 2019.

OTT kasus ‘bawang putih’ menjadi salah satu pemicu direvisi-nya UU KPK pada tahun 2019, setelah itu watak KPK menjadi berbeda. “Lama kelamaan, KPK menjadi sasaran perebutan elite kekuasaan,” pungkasnya. (Ryman)