KPK di Tengah Pusaran Arus  Politik

oleh -
Goris Lewoleba, Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, dan Wakil Ketua Umum VOX POINT INDONESIA. (Foto: Ist)

Goris Lewoleba *)

Belum lagi terasa  reda nuansa semarak dalam diskursus  tentang Ibu Kota Baru yang akan pindah dari Jakarta  ke Kalimantan Timur, kini muncul Diksi Politik kontemporer mengenai Revisi Undang-Undang KPK,  sebagai derivasi dari Pemilihan Calon Pimpinan Komisioner KPK periode 2019-2023.

Diksi Politik ini relatif telah  mewarnai ruang publik di tanah air, karena cukup menyita perhatian banyak pihak.

Pasalnya, KPK merupakan salah satu Lembaga Pemberantasan Tindak Pidana Kejahatan Korupsi  yang paling  krediel dan dipercaya di mata publik.

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau  KPK kerap kali dianggap sebagai Tambatan Hati dan Harapan Publik tentang penyelamatan harta  negara dari perilaku para koruptor yang mencuri uang rakyat.

Sebenarnya hal yang menjadi awal mula dari isue ini adalah finalisasi proses Pemilihan Calon Pimpinan Komisioner KPK untuk periode 2019-2023.

Melalui serangkaian proses seleksi yang panjang dengan prosedur yang amat  ketat, maka Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisioner KPK  telah menghasilkan dan menyerahkan sepuluh (10)  nama kepada Presiden pada Tanggal 2 September 2019 di Istana Mereka.

Meskipun hal itu telah  memunculkan banyak keraguan akan “Wajah Baru” KPK melalui proses seleksi kali ini, tetapi Presiden tampaknya  mengambil sikap yang konsisten   dan bijaksana,  dengan tetap mengapresiasi kerja kolektif dari Tim Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisioner KPK itu.

Selanjutnya, pada Tanggal 4 September 2019, kesepuluh nama Calon Pimpinan Komisioner KPK tersebut telah diserahkan oleh Presiden ke DPR untuk dipilih melalui Uji Kelayakan.

Demikian juga muncul reaksi dari  sebagian publik yang mempertanyakan kredibilitas dari beberapa  Calon Pimpinan Komisioner KPK,  karena disinyalir belum menyerahkan Laporan Harta Kekekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan  atau diduga telah  melakukan pelanggaran etik.

 

Sekali Merengkuh Dayung

Sebagaimana diketahui bersama bahwa,  kehadiran KPK sebagai Lembaga  Pemberantas Korupsi dengan kekuatan dan kewenangan yang “extraordinary” telah banyak melakukan gebrakan penanganan Pemberantasan Tindak Pidana  Korupsi  secara signifikan  di negeri ini.

Penangkapan para Koruptor mulai dari  level kelas teri sampai ke level  kelas kakap sekalipun, telah dilakukan secara masif dengan menggunakan senjata andalan KPK yaitu OTT (Operasi Tangkap Tangan).

Memperhatikan modus operandi KPK dalam menjerat para koruptor, maka kemudian,  selalu saja muncul  perlawanan balik dari para Koruptor berikut semua jaringan dan mafianya dengan berupaya untuk meperlemah KPK,  bahkan secara ekstrim hendak melumpuhkan kekuatan  KPK.

Semua upaya itu selalu saja dibungkus dengan argumentasi semu ke muka publik  bahwa, hal itu hanya  demi semata untuk memperkuat KPK.

Sudah menjadi semacam “common sense”  bahwa cara yang paling efektip untuk memperlemah KPK adalah dengan melakukan Revisi terhadap Undang-Undang KPK yaitu  : UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Terkait dengan hal yang disebut terakhir ini, bukanlah merupakan suatu yang baru, karena berbagai upaya telah dilakukan oleh sebagian pihak yang berkepentingan untuk merevisi  Undang-Undang KPK sejak tahun 2016 yang lalu.

Bahkan pada saat  itu, jika pun dalam kondisi dan tekanan yang sangat terpaksa, maka ada batas minimal yang dapat ditolerir untuk melakukan revisi dimaksud.

Sehubungan dengan hal itu, maka sebagaimana dikutip dalam Berita Satu (10 Februari 2016), dikatakan bahwa, jika Revisi sampai dengan sangat terpaksa dapat dilakukan, maka hanya berlaku  pada  empat hal yaitu, pertama, Penyadapan harus seijin Pengawas KPK, kedua, Pembentukan Dewan Pengawas KPK, ketiga, Pengangkatan Penyidik Independen, dan keempat, KPK dapat menerbitkan SP3 terhadap suatu kasus korupsi  apabila bukti tidak cukup.

Meskipun demikian, karena besarnya tekanan publik, dan teguhnya komitmen  Presiden Joko Widodo untuk menjaga dan memelihara aura kekuatan  KPK sebagai Lembaga Pemberantas Korupsi, maka Pemerintah dan DPR pada akhirnya besepakat untuk menunda Pelaksanaan Revisi terhadap Undang-Undang KPK itu sendiri.

Kemudian, dengan mengamati perkembangan politik hari ini, tampaknya sembari Merengkuh Dayung untuk Pemilihan Komisioner KPK yang baru, muncul pula secara serempak usul inisiatif DPR untuk Revisi Undang-Undang KPK.

Bahkan seperti terungkap di berbagai Media Sosial maupun Media Mainstream, bahwa proses persetujuan dalam Rapat Paripurna DPR dalam rangka  usulan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan  Korupsi ini,  dilakukan dengan suara bulat dan disetujui menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatip DPR.

Dan yang mengejutkan adalah bahwa, proses pengambilan keputusan tentang hal itu hanya berlangsung tidak lebih dari lima menit.

Dengan demikian maka,  hembusan angin politik ke arah Revisi UU KPK terasa semakin kuat dan bahkan sudah akan menjadi kenyataan di muka publik.

 

KPK-ku Sayang, KPK-ku Malang

Sebagaimana dilaporkan Kompas (6 September 2019), dalam RUU tersebut,  diatur beberapa pasal yang dinilai akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi seperti, KPK dapat menghentikan penyidikan suatu perkara, Pembentukan Dewan Pengawas KPK, dan Penyadapan yang memerlukan izin Dewan Pengawas.

Jika beberapa hal tersebut di atas dapat disetujui dalam proses Revisi Undang-Undang KPK ini, maka sudah dapat dipastikan bahwa Lembaga KPK akan lumpuh dan cenderung  menjadi  mati tak berdaya.

Kemudian, sebagai konfirmasi akan konsistensi dan komitmen mengenai upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka Revisi UU KPK dapat menjadi bahan seleksi bagi Calon Pimpinan Komisioner KPK oleh Komisi III DPR.

Meskipun hal itu  menjadi problematik,  karena Materi Revisi UU KPK ini baru saja dimunculkan kembali melalui inisiatip  DPR, tetapi RUU itu  mengandung substansi yang ditengarai secara potential akan  melemahkan upaya  pemberantasan

korupsi.

Dari pemberitaan di berbagai Media, tampaknya, dalam proses seleksi akhir oleh DPR  untuk menentukan para Pimpinan Komisioner KPK periode 2019-2023, DPR tidak akan melibatkan pihak lain, dalam hal ini Panel Ahli.

Pada hal Panel Ahli dapat membantu menjamin prinsip akuntabilitas dan obyektivitas dari DPR.

Tetapi hal itu, secara nalar cukup logis untuk  dipahami, karena ketika proses seleksi Pimpinan Komisioner KPK sudah sampai di tangan DPR, maka pada saat yang sama, hal itu  akan menjadi  Proses Politik.

Pada momentum inilah, publik dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana KPK sedang berada di Tengah Pusaran Arus Politik.

 

Nasib KPK di Tangan Jokowi

Memperhatikan ancaman yang sudah ada di depan mata akan keselamatan KPK dari berbagai upaya pihak lain yang sangat berhasrat untuk memperlemah KPK, maka harapan terakhir hanya ada di tangan Presiden Jokowi.

Dikatakan demikian, karena hanya Presiden yang memiliki kewenangan untuk menolak pembahasan mengenai Revisi UU KPK.

Hal ini disebabkan karena,  jika Presiden tidak mengirimkan Surat Presiden yang isinya menyetujui pembahasan suatu RUU, maka RUU tersebut tidak bisa dibahas.

Oleh karena itu, dalam perspektif ini, publik sangat berharap supaya Presiden Jokowi tidak menyetujui Revisi UU KPK yang pada dasarnya merupakan upaya untuk memperlemah KPK.

Dalam sudut pandang yang lebih terbuka dan optimis, pada sejatinya, upaya Pemberantasan Korupsi itu tidaklah hanya semata dibebankan kepada KPK saja.

Berkenaan dengan hal itu, maka dengan meminjam Radar Panca Dahana (Satu Meja, The Forum, Kompas TV, 5 September 2019), dikatakan bahwa, Pemberantasan Korupsi harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara luas.

Dan hal ini harus dimulai dari Lingkungan masing-masing.

Lebih lanjut, dikatakannya bahwa, dalam pandangan budaya, Pemberantasan korupsipun tidak harus selalu dilakukan dengan pendekatan hukum, tetapi juga memerlukan orang-orang yang mampu membangun Budaya Antikorupsi.

Meskipun demikian, dalam perjalanan sejarah Pemberantasan Korupsi di negeri ini, tampaknya belum ada Lembaga lain yang lebih Impresif dalam menangani upaya Pemberantasan Korupsi secara masif dan tuntas per kasus Korupsi, kecuali Lembaga KPK.

Dengan demikian maka, walaupun  di sana sini terasa masih banyak kekurangan, tetapi, fakta bahwa,  KPK merupakan Lembaga Pemberantas Korupsi yang paling dipercaya oleh rakyat pada umumnya merupakan suatu kenyataan yang tak dapat   dipungkiri.

Jika Revisi Undang-Undang KPK pada akhirnya mempereteli banyak kewenangan yang selama ini menjadi senjata andalan KPK, maka jangan sampai KPK yang merupakan Lembaga yang disayangi oleh hampir  semua lapisan  masyarakat karena telah menyelamatkan  uang negara, akan menjadi Lembaga yang bernasib malang,  dan hanya akan  menjadi  nostalgia di masa lalu.

Oleh karena itu, demi Kebaikan dan Kesejahteraan Bersama, maka marilah kita membangun kepedulian  untuk mendukung  dan memperkuat Lembaga  KPK.

*) Goris Lewoleba adalah ALUMNI KSA X LEMHANNAS RI,  Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA,  Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA