KWI: Negara Tak Perlu Campur Terlalu Jauh Urusan Teknis Pendidikan Agama

oleh -
Gedung KWI, di Jalan Cut Mutiah, Jakarta Pusat. (Foto: ist)

JENDELANASIONAL.COM — Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) melalui Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) telah mencermati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang telah diputuskan menjadi RUU usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam Rapat Paripurna tanggal 16 Oktober 2018.

KWI menyatakan mengapresiasi RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan itu  sebagai bentuk kepedulian dan kehadiran Negara dalam rangka melindungi dan mencerdaskan setiap warga negara melalui penyelenggaraan pendidikan  yang terencana dan terpadu bagi setiap pemeluk agama.

“Namun  kami berharap bahwa Negara tidak  terlalu jauh mengatur urusan teknis pendidikan agama karena setiap agama  memiliki kekhasannya  masing-masing,” ujar Sekretaris Komisi Kerawam, Rm. P.C. Siswantoko, Pr, di Jakarta, Senin (29/10/2018).

Romo Siswantoko mengatakan, orientasi pendidikan agama bukan sebatas pada penguasaan ilmu (menjadi ahli) tetapi menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab sebagai perwujudan pengamalan ajaran, nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan dalam agama.

Demikian pula tujuan pendidikan agama Katolik tidak sebatas penguasaan pengetahuan agama Katolik namun terutama adalah melahirkan pribadi-pribadi yang  beriman dan bertanggungjawab baik terhadap imannya, diri sendiri dan sesamanya.

Berbagai bentuk kegiatan pendidikan informal dan nonformal Katolik yang disebut dalam RUU pada dasarnya merupakan wujud dari orientasi pendidikan khas Katolik tersebut.

“RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini  belum belum menggambarkan pemahaman yang komprehensif terhadap Pendidikan Agama Katolik. Hal itu terbukti dengan masih adanya konsep dan istilah yang keliru atau kurang tepat sehingga dapat menimbulkan kebingungan dan permasalahan yang amat mendasar,” ujarnya.

Selain itu, RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan itu belum pernah dikonsultasikan dan mendapat taggapan serta masukan dari  institusi Gereja Katolik di Indonesia.

Romo Siswantoko mengatakan, pihaknya juga menemukan beberapa bagian dari RUU itu  yang sangat krusial dari konsideran, pasal, dan  ayat yang membutuhkan perubahan dan/atau tidak perlu diatur.

Di antaranya yaitu Judul RUU perlu dipertimbangkan kembali mengingat secara keseluruhan RUU ini mengatur Pendidikan Agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, dan Pesantren. “Di dalam RUU, menurut kami sebagai bagian dari Pendidikan Agama Islam,” ujarnya.

Kemudian, pasal 1 angka 9 rumusan  Pendidikan Keagamaan Katolik belum lengkap karena pendidikan Keagamaan Katolik tidak hanya bersumber pada  ajaran agama Katolik, tetapi juga pada Kitasb Suci dan Tradisi. Oleh karena itu, perlu perumusan kembali agar isi dan maknanya  benar-benar sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.

Pasal 3 huruf a perlu diberikan penjelasan terhadap makna kata ta’awun, tawazun, dan tawasut dikarenakan kata-kata tersebut masuk dalam tujuan dari pengaturan RUU ini yang hanya dikenal dan dipahami oleh agama Islam. Sementara tujuan ini diberlakukan untuk keseluruhan agama dalam menyelenggarakan pendidikan keagamaan.

Selain itu, terdapat kekeliruan dalam pasal 81 huruf e yang memasukan  Pendidikan Diniyah yang tidak dikenal dalam Pendidikan Agama Katolik dan Pasal 83 angka 1 yang memasukan Pendidikan Keagamaan Kristen, padahal pada pasal itu berbicara tentang Pendidikan Keagamaan Katolik.

Terakhir, pasal 85, Pasal 86, dan Pasal 87 yang mengatur pendidikan nonformal, serta Pasal 88 yang mengatur pendidikan informal  harus dihapus karena pendidikan nonformal dan informal merupakan salah satu wujud peribadatan Gereja Katolik yang diatur secara internal dan mandiri oleh Gereja Katolik.

“Terhadap RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, Kami akan memberikan Daftar Isian Masalah (DIM) sandingan secara lengkap kepada Presiden sebagai bahan pertimbangan pengisian DIM dan kepada DPR RI dalam membantu pembahasan RUU ini pada Pembicaraan Tingkat I (satu) sesuai tahapan pembentukan undang-undang,” ujar Romo Siswantoko. (Ryman)