Lapas Tangerang Terbakar, ICJR: Perlu Ada Pembenahan Lapas Secara Menyeluruh

oleh -
Lapas kelas I Tangerang, Banten, terbakar pada 8 September 2021 dini hari. Kebakaran ini memakan korban jiwa setidak 40 orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). (Foto: Liputan6.com)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID —  Terjadi kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang, Banten, pada 8 September 2021 dini hari. Kebakaran ini memakan korban jiwa setidak 40 orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).

Menurut keterangan Dirjen PAS, kebakaran terjadi pada pukul 1.50 di Blok C lapas tersebut.

“ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) menyatakan bela sungkawa atas musibah yang terjadi tersebut. Semoga proses evakuasi dapat berjalan dengan lancar, dan situasi dapat dengan cepat terkendali,” ujar peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (8/9).

Maidina mencatat bahwa Lapas Kelas I Tangerang, per Agustus 2021 memuat penghuni sebanyak 2.087 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), padahal kapasitas lapas tersebut hanya untuk 600 WBP, dengan kondisi ini beban Lapas Kelas I Tangerangan mencapai 245%.

Hal ini jelas berdampak pada upaya mitigasi lapas dalam konidisi darurat, misalnya kebakaran. “Overcrowding tentunya akan mempersulit pengawasan, perawatan Lapas, sampai dengan proses evakuasi cepat apabila terjadi musibah seperti kebakaran,” ujarnya.

Overcrowding Lapas ini, katanya, terjadi akibat beberapa masalah yang bersumber dari tidak harmonisnya sistem peradilan pidana dalam melihat kondisi kepadatan Lapas di Indonesia. Polisi, Jaksa, dan Hakim terlihat tidak terlalu peduli dengan kondisi Lapas yang sudah kelebihan beban di luar ambang batas yang wajar seperti di Lapas Kelas I Tangerang ini.

Dia mengatakan bahwa sistem peradilan pidana kita sangat bergantung dengan penggunaan pidana penjara sebagai hukuman utama. Pidana penjara 52 kali lebih sering digunakan oleh Jaksa dan Hakim dari pada bentuk pidana lain (ICJR:2021).

Masalah lain, adalah problem kebijakan narkotika yang gagal. Mayoritas penghuni Rutan dan Lapas berasal dari tindak pidana narkotika, dengan 28.241 WBP total di seluruh Indonesia merupakan pengguna narkotika yang sedari awal seharusnya tidak perlu dijebloskan ke penjara.

Angka itu bisa bertambah besar karena kebanyakan dari pengguna narkotika juga dijerat dengan pasal kepemilikan dan penguasaan narkotika yang digolongkan sebagai bandar. Polisi, Jaksa, dan Hakim lebih memilih mengirimkan para pengguna ini ke dalam penjara dari pada penanganan atau alternatif pemidanaan lain yang lebih manusiawi seperti rehabilitasi atau pidana bersyarat dengan masa percobaan.

“Dalam kondisi ini, maka sekali lagi penting untuk berefleksi agar ada visi bersama dari institusi dan lembaga negara khususnya yang berada dalam sistem peradilan pidana untuk Bersama-sama menyelesaikan persoalan Lapas,” katanya.

Maidina mengatakan, beberapa hal penting ini perlu segera dilakukan pemerintah. Pertama, mengarusutamakan pembaruan sistem peradilan pidana untuk tidak lagi bergantung pada pidana penjara, perubahan paradigma harus disegerakan.

“Polisi, Jaksa, dan Hakim harus didorong untuk memiliki perhatian pada kondisi Lapas, bisa dimulai dengan mendorong penggunaan alternatif pemidanaan non pemenjaraan, termasuk untuk kasus pengguna narkotika yang angkanya begitu banyak,” katanya.

Kedua, sembari itu, mendorong adanya formasi KUHP untuk memperkuat alternatif pemidanaan non pemenjaraan dan juga menghindarkan penggunaan hukum pidana berlebih dalam RKUHP. RKUHP tidak boleh memuat penggunaan pidana penjara yang lebih besar dari KUHP sekarang, tingginya angka pemenjaraan dan jumlah perbuatan pidana yang semakin besar, akan berdampak buruk pada Lapas, misalnya pidana yang berhubungan dengan privasi warga negara atau pidana tanpa korban.

Ketiga, reformasi kebijakan narkotika dengan menjamin dekriminalisasi penggunaan narkotika lewat adanya diversi dengan pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika. Kebijakan narkotika jelas merupakan masalah utama dari problem Lapas. Sehingga perlu trobosan perubahan kebijakan, dekriminalisasi penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi, dan memperketat rumusan pidana agar tidak lagi secara eksesif mengincar pengguna narkotika harus disegerakan.

Keempat, menurut Maidina, mengedepankan penerapan keadilan restoratif yang berbasis kesukarelaan tanpa paksaan yang memberdayakan korban untuk kasus-kasus dengan kerugian terukur atau tanpa korban.

Kelima, mengevaluasi proses pemberian hak WBP yang selama ini terhambat, khususnya dalam kasus-kasus yang menyumbang jumlah besar dalam pemasyarakatan, seperti narkotika. Sistem pembinaan di luar Lapas harus didorong.

“Terkahir, ICJR menyerukan adanya perhatian khusus dari pemerintah terhadap korban dan keluarga korban musibah kebakaran Lapas ini. Pemerintah perlu secara tegas bertanggungjawab akan hal ini dengan perencanaan yang terukur terhadap penyelsaian masalah overcrowding Lapas dan tentu program pemulihan bagi korban,” ujarnya.

ICJR menyerukan agar jangan lagi sistem peradilan pidana menjadikan pemasyarakatan sebagai korban dari perspektif dan paradigma penggunaan penjara berlebih oleh aparat penegak hukum dan badan peradilan. “Pada Lapas yang harus menampung jumlah besar WBP, akan ada risiko besar yang harus dihadapi dalam kondisi darurat,” pungkasnya. ***