Larangan Rayakan Natal, Pemerintah dan Tokoh Masyarakat Wajib Pelajari Dokumen Abu Dhabi

oleh -
Dekan FH UNPAR, Dr. Liona Nanang Supriatna, S.H. M.Hum. (Foto: Ist)

Bandung, JENDELANASIONAL.ID — Pemerintah dan tokoh masyarakat wajib mempelajari dan mensosialisasikan dokumen Abu Dhabi dalam rangka menjaga toleransi hidup beragama.

Demikian dikatakan Dekan FH UNPAR, Dr. Liona Nanang Supriatna, S.H. M.Hum. menanggapi larangan di beberapa tempat untuk merayakan ibadah Natal 2019 dan Tahun Baru 2020.

“Dokumen Abu Dhabi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, karena substansinya adalah merupakan upaya untuk menemukan nilai-nilai perdamaian, keadilan, kebaikan, keindahan, persaudaraan manusia dan hidup berdampingan dalam rangka meneguhkan nilai-nilai luhur sebagai jangkar keselamatan bagi umat manusia. Oleh karena itu, setiap hati nurani yang jujur harus menolak kekerasan dan ekstremisme buta; agar terus menerus menghargai nilai-nilai toleransi dan persaudaraan yang dikembangkan dan didorong oleh agama-agama,” ujar Liona alumnus Lemhannas RI Angkatan 58 dan Presiden Bandung Lawyers Club Indonesia.

Dokumen Abu Dhabi yang berjudul “The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together” ditandatangani oleh Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al Azhar, Sheikh e-Tayeb di Abu Dhabi pada tanggal 4 Februari 2019, adalah merupakan peta jalan yang sangat berharga untuk membangun perdamaian dan menciptakan hidup harmonis antar umat manusia.

“Dokumen itu sekaligus menjadi undangan untuk rekonsiliasi dan persaudaraan di antara semua umat beriman, juga di antara umat beriman dan yang tidak beriman, dan di antara semua orang yang berkehendak baik,” tegas Liona yang juga anggota Dewan Kehormatan Peradi Jabar.

Menurut Liona, substansi dokumen Abu Dhabi sangat mendukung penerapan nilai-nilai Pancasila, UUD NRI 1945 dalam kehidupan sehari-hari bagi bangsa Indonesia. Karena, katanya, dokumen ini menekankan pentingnya peran agama-agama dalam membangun perdamaian, menjunjung tinggi seperti: keyakinan yang berakar pada nilai-nilai perdamaian; adanya upaya untuk mempertahankan nilai-nilai persaudaraan manusia dan hidup bersama yang harmonis.

Selain itu, untuk membangun kembali kebijaksanaan, keadilan dan kasih; dan untuk membangkitkan kembali kesadaran beragama di kalangan orang-orang muda sehingga generasi mendatang dapat dilindungi dari ranah pemikiran materialistis dan dari kebijakan berbahaya akan keserakahan dan ketidakpedulian yang tak terkendali berdasarkan pada hukum kekuatan dan bukan pada kekuatan hukum.

Disamping itu, dokumen Abu Dhabi sangat sesuai dengan Pasal 28 UUD NRI 1945, karena dokumen Abu Dhabi juga menegaskan kebebasan adalah hak setiap orang: setiap individu menikmati kebebasan berkeyakinan, berpikir, berekspresi dan bertindak.

Selanjutnya, pluralisme dan keragaman agama, warna kulit, jenis kelamin, ras, dan bahasa dikehendaki Tuhan dalam kebijaksanaan-Nya. Kebijaksanaan ilahi ini adalah sumber dari mana hak atas kebebasan berkeyakinan dan kebebasan untuk menjadi berbeda berasal. Keadilan yang berlandaskan belas kasihan adalah jalan yang harus diikuti untuk mencapai hidup bermartabat yang setiap manusia berhak atasnya.

Dokumen Abu Dhabi memberi isnspirasi untuk terus menerus melakukan dialog, agar terjadi pemahaman dan promosi luas terhadap budaya toleransi, penerimaan sesama dan hidup bersama secara damai. Dialog ini dipercaya akan sangat membantu untuk mengurangi pelbagai masalah misalnya ekonomi, sosial, politik dan lingkungan.

“Dialog antar umat beragama berarti berkumpul bersama dalam ruang luas nilai-nilai rohani, manusiawi, dan sosial bersama dan, dari sini, meneruskan keutamaan-keutamaan moral tertinggi yang dituju oleh agama-agama, demikian pentingnya desiminasi substansi Dokumen Abu Dhabi dalam masyarakat yang sangat plural seperti di negara kita ini,” pungkas Liona. (Ryman)