Lawan Politik Identitas dengan Spirit Kepahlawanan Bangsa

oleh -
Kristianto Triwibowo Biro Pemuda dan Mahasiswa Badan Musyawarah Antar Gereja Nasional (BAMAGNAS) Kota Tarakan seperti dikutip dari siaran pers di Jakarta, Selasa (10/11). (Foto: Ist)

Tarakan, JENDELANASIONAL.ID — Hari Pahlawan menjadi alarm moral juang anak bangsa untuk mengenang dan melanjutkan perjuangan pahlawan dalam mengisi kemerdekaan bangsa demi mencapai tujuan nasional.

Perjuangan hari ini tentunya banyak yang bisa dilakukan di berbagai lini dan kondisi terutama dalam hal demokrasi yang berkualitas, adil dan bermartabat serta upaya melawan politik identitas, Selasa (10/11/2020).

Ruang publik beberapa tahun terkahir semakin banyak diwarnai dengan sayatan politik identitas yang mengumbar kebanggaan primordial. Gerakannya berjalan masif dan pasti, sehingga menjadi batu sandungan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Persatuan bangsa mengalami tantangan dan kualitas demokrasi Indonesia kini diuji untuk berupaya melawan kristalisasi kebanggaan identitas primordial, yang dapat melunturkan kebanggaan nasionalis kebangsaan.

“Lebih dari 1 abad silam para pendahulu kita telah berjuang dengan beragam latar belakang dari Sabang sampai Merauke hingga menggapai cita kemerdekaan dan merumuskan dasar negara serta ideologi Pancasila. Sungguh luar biasa kemajemukan bangsa kita yang terdiri  dari agama, suku dan budaya namun menjadi kekuatan meraih kemerdekaan,” ujar Kristianto Triwibowo Biro Pemuda dan Mahasiswa Badan Musyawarah Antar Gereja Nasional (BAMAGNAS) Kota Tarakan seperti dikutip dari siaran pers di Jakarta, Selasa (10/11).

“Sebagai generasi yang tidak ikut berjuang meraih kemerdekaan, harusnya kita menghargai segenap tumpah darah para pahlawan yang telah menang membawa bangsa lepas dari belenggu penjajahan dan berhasil merumuskan dasar negara yang luhur abadi. Artinya, Pancasila harus diamalkan setiap anak bangsa dalam lahir dan batinnya serta berupaya melawan politik identitas atau yang kita sebut identitas primordial. Karena hal itu merupakan ancaman keutuhan bangsa Indonesia,” ungkap purna Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Tarakan M.B 2018-2020 tersebut.

Kristianto yang pernah aktif menjadi pengurus dan Pj Sekretaris Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Borneo Tarakan menjelaskan perlunya komitmen kebangsaan di ranah politik agar perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) tidak dipolitisasi untuk kepentingan politik yang berpotensi memecahbelahkan persatuan.

“Politik harus terbebas dari isu SARA dan ujaran kebencian yang memecahbelahkan persatuan. Prosesnya harus mengarah pada kebanggaan nasional yang dapat menerima berbagai latar belakang. Kita kelola segala perbedaan itu menjadi kekuatan demokrasi dan persatuan bangsa. Jangan malah dijadikan alat untuk berpolitik. Hendaknya para politisi, pejabat negara dan semua elemen masyarakat dapat menjadi negarawan sejati serta anak bangsa yang bijaksana mengasihi negeri ini,” pungkas Kris yang aktif menjadi Pokja Pengawasan Pilkada Bawaslu Kota Tarakan tersebut.

Milenial kelahiran Tarakan, 25 Desember 1996 tersebut juga sepakat dengan pendapat Presiden Joko Widodo saat Pemilu 2019 yang mengingatkan masyarakat meneladani Pahlawan Nasional Johanes Leimena dan Natsir yang kokoh menjaga persatuan walaupun berbeda latar belakang agama dan politik.

“Rivalitas di tahun politik hendaknya meneladani Johannes Leimena dan Mohammad Natsir, dua tokoh pendahulu kita. Satu dari Partai Kristen Indonesia dan satu dari Partai Masyumi. Partainya berbeda, pandangannya kerap berseberangan, tetapi sebagai pribadi mereka sangat bersahabat,” cuit Jokowi lewat akun Twitter-nya, Selasa (16/10/2018).

Mengutip pemberitaan di sebuah media massa, Mohammad Nasir adalah pahlawan nasional Indonesia yang dikenal sebagai pendiri Partai Masyumi, partai yang dibubarkan Sukarno pada 1960. Pria kelahiran Sumatera Barat 17 Juli 1908 itu pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan dan Perdana Menteri era Soekarno.

Bila Natsir berasal dari kalangan Islamis Masyumi, lain halnya dengan Johannes Leimena. Pahlawan nasional kelahiran Maluku 6 Maret 1905 itu merupakan politikus Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Leimena adalah tokoh yang mewakili Indonesia dalam penandatanganan perjanjian Renville pada 1948. Ia juga salah seorang juru runding Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Dia meninggal pada usia 72 tahun di Jakarta.

Semasa hidupnya, Leimena dikenal sebagai sosok Kristen yang punya kesan tersendiri di mata Masyumi dan HMI. Hal ini tertulis dalam buku berjudul ‘Dr Johannes Leimena, Negarawan Sejati dan Politisi Berhati Nurani’ serta buku karya Andar Ismail berjudul ‘ Selamat Berkarunia’.

Kristianto menuturkan betapa sulitnya perjuangan para pahlawan mendirikan bangsa ini ditengah keberagaman, maka itu kita harus teladani dan lanjutkan perjuangan mereka.

“Teladan dan jiwa patriotisme pahlawan harus kita wujudkan untuk melawan penjajahan politik identitas di bangsa ini, mari kita ingat kembali pesan moral Pahlawan Nasional Johanes Leimena seorang nasrani yang cinta bangsa ‘Politik bukanlah alat untuk berkuasa, melainkan etika untuk melayani’. Tumpah darah para pahlawan jadikanlah semangat kepahlawanan untuk merajut persatuan, melawan politik identitas dan meningkatkan kualitas demokrasi bangsa,” jelas jurnalis muda tersebut.

Pihaknya menduga bila ada oknum yang menggunakan politik identitas sepeti SARA, mereka telah mengkhianati perjuangan kemerdekaan.

“Sangat disayangkan bila ada oknum atau pihak yang menjadikan SARA sebagai alat kepentingan politik, sama saja mereka tidak menghargai tumpah darah pahlawan dan tidak mengamalkan dasar negara Pancasila yang telah dirumuskan oleh Founding Father kita. Saatnya masyarakat proaktif menebarkan serta melakukan perilaku demokrasi yang sehat dan berani melaporkan ke pihak yang berwajib bila menemukan politik identitas dan ujaran kebencian selama Pilkada 2020 ini, Panjang Umur Perjuangan, Selamat Hari Pahlawan,” tuntas pria berdarah Jawa tersebut. (Ryman)