Literasi Digital Dalam Pengarusutamaan Pancasila

oleh -
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Benny Susetyo. (Foto: Ist)

Oleh: Benny Susetyo*)

JENDELANASIONAL.ID – Literasi digital atau  dengan nama lain  Digital Literasi adalah  kemampuan  menggunakan  teknologi informasi  dan komunikasi (TIK)  untuk menemukan,  mengevaluasi,  memanfaatkan,  membuat, dan  mengkomunikasikan  konten maupun  informasi dengan  kecakapan kognitif  maupun teknikal.

Perkembangan teknolgi semakin cepat, akses berkomunikasi dan mendapat informasi bisa didapatkan secara cepat dan mudah. Bahkan, hampir seluruh manusia di dunia ini menginginkan segala hal menjadi lebih praktis dan efisien.

Literasi digital sangat diperlukan sebagai acuan agar lebih terarah dalam penggunaan teknologi yang semakin berkembang. Dalam bidang teknologi, khususnya informasi dan komunikasi literasi digital berkaitan dengan kemampuan penggunanya.

Dampak positif dari kemampuan literasi digital ini pun sangat krusial dari mulai kemampuan untuk memfilter banjir informasi yang diterima, validasi kebenaran informasi, menciptakan tatanan masyarakat yang kritis dan kreatif. Di era New Normal ini generasi muda yang sudah beradaptasi dengan era teknologi digital diharapkan mampu mengedukasi masyarakat terutama menangkal berita hoaks.

Disisi lain kurangnya kemampuan litersi digital dalam kehidupan masyarakat akan menimbulkan banyaknya informasi hoaks yang meresahkan masyarakat. selain itu, maraknya hoaks di ranah publik mencerminkan kultur bangsa yang begitu mudah masuk dalam perangkap budaya kematian. Budaya kematian itu tercermin dalam sikap ketidakmampuan menggunakan daya nalar, dalam menyeleksi pemberitaan atau berita, antara mana yang penuh dengan rekayasa dan mana yang faktual.

Di balik itu semua, peristiwa ini terjadi karena masih rendahnya budaya kritis dalam masyarakat kita yang merupakan dampak lemahnya literasi digital. Selama ini, pendidikan kritis tentang cara berpikir, bertindak, dan bernalar tidak pernah diajarkan. Budaya kritis muncul dari kesadaran kritis yang tumbuh dalam alam budaya berpikir. Budaya kritis lahir dari sikap yang selalu mempertanyakan kebenaran dan sumber kebenaran yang sesungguhnya.

Teori kritis mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuatu, dan menyediakan cara-cara pengganti untuk menafsirkan peran sosial media massa. Sebagai contoh, sebagian teoritikus kritis berargumen bahwa media pada umumnya menyokong status quo, bahkan mungkin ketika status quo sedang di bawah tekanan atau mulai retak. Teori kritis sering menyediakan penjelasan rumit, dan kecenderungan media secara konsisten berlaku seperti itu. Teori kritis sering kali menganalisis institusi tertentu, meraba-raba sejauh mana tujuan yang diharapkan bisa diusahakan dan dicapai. Media massa dan budaya massa yang mereka promosikan telah menjadi fokus teori kritis.

Para peneliti kritis mengaitkan media massa dan budaya massa dengan berbagai permasalahan sosial. Bahkan, ketika media massa tidak dilihat sebagai sumber permasalahn tertentu, media massa dikritik karena memperparah atau membuat masalah menjadi sulit diidentifikasi dan dipecahkan.

Pendidikan kritis melahirkan sikap dan cara berpikir yang tidak mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang menggunakan proganda sebagai alat untuk mengaduk emosi publik lewat ujaran kebencian dan SARA. Ujaran kebencian banyak dilakukan oleh orang dengan rata-rata usia 40 tahun keatas. Oleh karena itu dengan kemampuan anak-anak muda generasi milenial menciptakan konten positif bisa mempengaruhi pergerakan tak terbatas ruang dan waktu

Kecerdasan masyarakat dalam menggunakan media sosial hanya bisa dibangun lewat sebuah kesadaran kritis, dengan cara mendidik rakyat untuk lebih mampu memilih berita dan konten yang memiliki sumber akurat.

Di sinilah pentingnya pendidikan literasi media. Literasi media secara singkat dapat dikatakan sebagai kemampuan menerima informasi dari media secara kritis. Juga mengkritisi sisi lain dari informasi tersebut yang berada di luar teks.

Kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran.jika kita memiliki kesadaran literasi maka kita bisa memiliki alat untuk mempersatukan bangsa ini dan menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya

Misalnya: siapa yang memberikan informasi? Siapa pemilik medianya? Siapa yang membiayainya? Apa sih tujuannya menyebarkan informasi tersebut? Untuk kepentingan siapa informasi tersebut disebarkan? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dengan tersebarnya informasi tersebut? Dan seterusnya.

Sebab mesti kita sadari, kebanyakan media yang ada dewasa ini dibangun berdasarkan atas dua kepentingan besar, yakni kepentingan politis atau kepentingan ekonomi; bahkan mungkin kedua-duanya, kepentingan politis dan ekonomi. Kemampuan masyarakat dalam menyeleksi berita yang tidak jelas sumbernya, hanya bisa dilakukan dengan cara pendidikan yang memerdekakan.

Buah pendidikan yang memerdekakan adalah menciptakan manusia kritis, sebagaimana berulang kali pernah ditekankan oleh Romo Mangunwijaya, bahwa siswa harus memiliki kekritisan dalam merespon situasi. Tanpa kemampuan itu, hoaks akan selalu menjadi hantu.

Orientasi pendidikan sejatinya adalah untuk memerdekakan dan membebaskan, “memanusiakan manusia” melalui proses “humanisasi” dan “hominisasi” yang secara singkat kita sebut dengan “humaniora”. Tetapi dalam kenyataannya, pendidikan hampir selalu bertolak belakang dengan humanisme, dan ini bukanlah sesuatu hal yang baru.

Di Indonesia, dengan konsep yang terus berjalan seperti ini, belenggu-belenggu dari sisa feodalisme khas Jawa dan kolonial, pendidikan menjadikan siswa sebatas sebagai kader-kader politik mini dan sumber daya manusia yang disiapkan untuk melaksanakan dan mendengarkan apa yang menjadi kepentingan pemerintah dan kaum usahawan melalui indoktrinasi.

Padahal, dampak dari konten positif ini adalah munculnya ruang kreasi seni dengan budaya lokal yang kuat. Bagaimana Ruang digital ini menjadikan Pancasila sebagai habituasi.Kekuatan Publikasi digital dan dukungan dari media secara persuasive diharapkan membuat Pancasila nantinya menjadi living ideology dan working ideology.

Dalam prakteknya Presiden Joko Widodo ingin menjadikan sila ke-3 dan sila ke-5 terimplementasi merata di seluruh Indonesia.Hal itu sudah terlihat baik dari pemerataan pembangunan maupun perbaikan SDM di masing-masing wilayah di Indonesia.Pancasila itu sampai saat ini merupakan kesepakatan sehingga kita bisa hidup dengan damai.

*) Penulis adalah Pakar Komunikasi Politik