Masalah Lingkungan dan Karhutla Bukan Persoalan Teknis Semata

oleh -
Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner Emrus Sihombing. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Keberhasilan salah satu srikandi kita di kabinet memimpin kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, membuat dirinya dipercaya kembali tetap menjadi orang nomor satu di instansi tersebut pada pemerintahan Jokowi jilid dua. Siti Nurbaya Bakar, sosok srikandi yang dianggap berhasil oleh presiden Jokowi menangani berbagai persoalan yang terkait dengan lingkungan dan kehutanan.

Tentu, masa jabatan lima tahun ke depan, masih banyak persoalan menghadang  yang terkait dengan pengelolaan lingkungan dan kehutanan karena bagian yang tak terpisahkan dengan perilaku sosial dari masyarakat itu sendiri yang ada di sekitarnya.

Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner Emrus Sihombing mengatakan, akar permasalahan utama di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah problema sosial. Sama sekali bukan teknis. Karena itu, penghutanan kembali dan menjaga keseimbangan ekosistem alam merupakan persoalan teknis sebagai ikutan dari dampak perilaku sosial yang belum terkelola dengan maksimal.

“Menurut pengamatan saya dari aspek komunikasi dan sosial, silih berganti menteri belum ada formula yang mampu  menuntaskan berbagai persoalan lingkungan hidup dan kehutanan. Sebab, bertahun-tahun penyelesaiannya lebih mengedepankan pendekatan teknis, bukan pendekatan sosial dan komunikasi,” ujar pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan ini melalui pernyataan pers di Jakarta, Kamis (24/10).

Dia mencontohkan, ukuran keberhasilan kegiatan reboisasi dan penghijauan cenderung dari luasan permukaan semata. Padahal, pendekatan ini harus “digugat” karena tidak menyelesaikan akar masalahnya. Padahal, persoalan lingkungan dan kehutanan sangat menyatu dengan perilaku sosial setiap individu di dalam masyarakat sebagai penghuni lingkungan dan pemanfaat dari efek positif keberadaan hutan itu sendiri. Artinya ada manusia sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dari lingkungan dan keberadaan kehutanan.

“Jadi, penyelesaian berbagai persoalan lingkungan dan kehutanan harus mengedepankan pemberdayaan penghuni sosialnya (manusia), baru kemudian dilanjutkan dengan program teknis seperti antara lain tindakan reboisasi, penghijauan dan sebagainya,” ujarnya.

Emrus mengatakan, bukankah pembukaan lahan dengan cara membakar ilalang kering di atas seluas lahan atau hutan sebagai perilaku sosial atas dasar kurangnya kesadaran mereka tentang pentingnya keseimbangan ekosisten?

Karena itu,  pemahaman dan pemberdayaan masyarakat sebagai pemangku kepentingan dalam menjaga serta melestarikan lingkungan dan hutan hal yang utama dan mutlak dilakukan.

Intinya masyarakat harus menjadi subyek dan pelaku lingkungan serta penjaga kehutanan di teritorial masing-masing. Jangan sampai mereka hanya penonton saja, ketika di tinggal, jangankan mereka tidak merawat lingkungannya dan hutan, tetapi bisa menjadi faktor yang dapat merusak karena kurangnya pengetahuan dan atau tipisnya rasa memiliki dan tanggung jawab pentingnya kelestarian ekosistem dalam sebauah lingkungan.

Untuk itu, kata Emerus, program lingkungan dan perhutanan sosial harus menjadi program utama sekaligus terdepan dengan peran serta sosial segenap anggota masyarakat sehingga merasa memiliki serta menerima manfaat dari mengelolaan lingkungan dan  hutan yang baik dan lestari.

Untuk itu kata Emrus, sebagai sahabat, dia menyerankan kepada menteri, sejatinya KLHK membuat sebuah strategi komunikasi penyuluhan penyelamatan dan perawatan lingkungan serta kehutanan dengan meramu dua disiplin yaitu sosial (ilmu sosial) dan teknis (ilmu eksakta dan teknologi) dalam  mengelola lingkugnan hidup dan kehutanan.

“Dengan demikian, individu dan masyarakat sebagai komunitas sosial sebagai penghuni lingkungannya dan penerima manfaat positif dari keberadaan kehutanan akan merasa memiliki dan merawatnya. Karhutla akan dapat ditekan seminimal mungkin. Karhutla bukan lagi seolah menjadi agenda tahunan,” pungkasnya. (Ryman)