Membangun “Ekosistem Gotong Royong” di Era Pandemi Covid-19

oleh -
Inayah Wulandari Wahid, dalam acara diskusi webinar Forum Diskusi (FOKUS) yang diselenggarakan Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), Jumat (24/7). Tampil sebagai moderator dalam diskusi bertema “Merawat Gotong Royong di Tengah Pandemi” ini yaitu Prasetyo Nurhardjanto, Wakil Ketua Presidium PP Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. (Foto: JN)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID —  Gotong Royong sebenarnya bukan hanya milik khas bangsa Indonesia. Ada berbagai negara di dunia yang memilikinya. Mereka juga menggalang kegiatan atau kerja bersama dengan semangat gotong royong ketika membantu sesamanya yang lain.

Karena itu, yang menjadi pertanyaan penting dalam kehidupan setiap hari, khususnya pada era pandemi Covid-19 seperti saat ini, yaitu bukan bagaimana cara membangun gotong royong. Tapi bagaimana membangun “ekosistem gotong royong” sehingga membuat semangat hidup gotong royong tersebut bisa hidup dan berkembang.

“Saya tidak mau menceritakan apa yang sudah dilakukan oleh Gus Dur (Presiden Abdurrahman Wahid, red.) tentang gotong royong. Saya sering mendengar bahwa orang sering mengatakan bahwa kita harus mengembalikan kehidupan gotong royong. Tapi kita luput memperhatikan bahwa gotong royong itu tidak muncul dengan sendirnya,” ujar pengiat sosial, Inayah Wulandari Wahid, dalam acara diskusi webinar Forum Diskusi (FOKUS) yang diselenggarakan Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), Jumat (24/7). Tampil sebagai moderator dalam diskusi bertema “Merawat Gotong Royong di Tengah Pandemi” ini yaitu Prasetyo Nurhardjanto, Wakil Ketua Presidium PP Ikatan Sarjana Katolik Indonesia.

Tokoh dari Kampung Sawah, yaitu Yuherisman Sangaji dalam wawancara dengan Prasetyo Nurhardjanto, Wakil Ketua Presidium PP Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. (Foto: Ist)

Menurut anak keempat (ke-4) Presiden Gus Dur ini, kehidupan gotong royong bisa muncul jika ada ekosistem yang memungkinkannya muncul. Sebut saja seperti solidaritas, egaliter, dan rasa senasib sepenanggungan. Tanpa ekosistem seperti itu maka mustahil semangat gotong royong bisa muncul.

Karena itu, jaringan komunitas Gusdurian melakukan dan mengkampayekan sembilan nilai yang dilakukan Gus Dur, antara lain, persaudaraan, kesetaraan, keadilan, kemanusiaan. “Nilai-nilai inilah yang menjadi dasar atau bahan bakar dan menjadi ekosistem bagi terbangunnya semangat hidup gotong royong,” ujar Inayah.

Inayah mengatakan, saat ini tidak gampang orang membangun gotong royong karena masyarakat kita sudah berubah dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Salah satu ciri masyakat industri yaitu adanya semangat individualisme, yang menekankan kerja secara sendiri-sendiri.

“Jadi menurut saya gotong royong tidak seperi dulu lagi, karena ekosistemnya sudah berubah. Karena itu butuh ekosistem yang baik untuk bisa menumbuhkan gotong royong. Apa yang dilakukan Gus Dur adalah membangun sesuatu yang baik bagi munculnya ekosistem gotong royong tersebut, seperti egaliter, senasib sepenanggungan, dan sama rasa satu sama lain,” ujarnya.

Inayah mengatakan, yang dilakukan pemerintah malah membangun ekosistem yang bertentangan dengan tumbuhnya semangat gotong royong tersebut. Contohnya dalam Pemilukada DKI Jakarta dan pemilu 2019 lalu, ada banyak kampanye yang menggunakan identitas untuk memenangkan pertarungan. Padahal, penggunaan identitas tersebut bertentangan dengan semangat munculnya semangat kegotongroyongan dalam kehidupan bersama.

“Yang harus dilakukan justru dalam kampanye itu tidak menggunakan identitas. Identitas seharusnya menjadi sumber kekuatan. Ini yang menurut saya penting untuk menjadi ekosistem sehingga membuat gotong royong itu bertumbuh,” ujarnya.

Pada saat ini seharusnya pandemi menyatukan kita semua. Tapi yang terjadi pada masa pandemi ini orang masih tetap saja berpikir sendiri-sendiri dan saling menyalahkan satu sama lainnya.

“Padahal, gotong royong adalah solidaritas, kerja komunal, kerja kolektif bahwa kita tidak bisa kerja sendiri-sendiri. Saya butuh orang lain untuk bekerja,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu Prasetyo menampilkan wawancara dengan tokoh masyarakat dari Kampung Sawah, yaitu Yuherisman Sangaji. Kampung Sawah merupakan kampung persaudaraan karena di tempat ini hampir tidak ada konflik antar agama yang terjadi. Hal itu karena mereka terus merawatnya.

Yuherisman mengatakan pihaknya pernah menggelar sebuah focus group discussion (FGD) tentang toleransi. “Hasil dari FGD tersebut kemudian ditulis dan dilombakan pada tingkat kelurahan, provinsi dan nasional. Dan kami dari Kampung Sawah ini mendapat juara satu,” ujarnya.

Ditambahkannya, bahwa pihaknya juga berencana membuat monumen Pancasila. “Namun monumen ini belum terlaksana,” ujarnya.

ISKA Channel. (Foto: Ist)

Setelah menyaksikan video wawancara tersebut, Inayah menambahkan bahwa Kampung Sawah merupakan salah satu contoh membangun ekosistem kehidupan gotong royong. “Kehidupan toleransi dan gotong royong di Kampung Sawah itu bisa terjadi karena sudah ada ekosistem yang terbangun selama bertahun-tahun. Karena itu, orang di sana gampang sekali merajut kehidupan gotong royong,” ujarnya.

Inayah mengakui bahwa Gusdurian tidak memiliki konsep tentang kehidupan gotong royong. Hanya saja, katanya, Gusdurian senantiasa mengampanyekan tentang membangun ekosistem yang membangun kehidupan gotong royong dan persaudaraan.

“Semakin orang terpapar ekosistem kehidupan gotong royong, toleransi, dan saling menghargai maka semakin orang mudah membangun persaudaraan. Karena itu, kita harus membangun ekosistem tersebut sehingga persaudaraan akan segera muncul,” ujarnya.

Ditambahkannya, di masa pandemi kita boleh saja menghadapi pandemi yang sama, namun dengan kondisi yang berbeda-beda. “Dalam masa pandemi ini kita menghadapi badai yang sama, namun dengan problem yang tidak sama. Karena ada yang menggunakan kapal, ada yang menggunakan sampan, dan ada sementara orang yang mungkin hanya menggunakan kayu saja. Ada juga orang yang mungkin akan kehabisan oksigen. Jadi kita harus segera bersama-sama. Let us togather,” ujarnya.

Prasetyo mengatakan dia berkeyakinan bahwa pandemi ini bisa berakhir jika ditangani secara bergotong royong.

Saat ini, katanya, dari 31 ribu relawan yang melamar ke Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 terdiri dari berbagai latar belakang profesi. Mulai dari tukang gojek hingga manajer perusahaan. Namun, semuanya melakukan kerja bersama karena memiliki keyakinan bahwa dengan gotong royong badai ini dapat diakhiri.

“Kami tahu bahwa dengan gotong royong kita bisa mengatasi pandemi ini,” ujar Ketua Bidang Pelatihan Relawan Gugus Tugas ini. (Ryman)