Membangun Kesadaran Spiritualitas dan Optimisme di Masa Pandemi COVID-19

oleh -
Sekretaris Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Antonius Haryanto, Pr, dalam acara FOKUS (Forum Diskusi) ISKA CHANNEL di Jakarta, Jumat (31/7). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Pada waktu pandemi COVID-19 pertama kali muncul orang merasakan galau, cemas dan mungkin juga takut. Saat pertama virus ini muncul, kita pesimistis bahwa manusia tidak sanggup mengatasi bencana tersebut. Ketakutan itu terus bertambah ketika angka orang yang terpapar dan bahkan meninggal terus bertambah. Bahkan, hingga saat inipun dunia belum bisa mengatasinya.

Namun, di tengah kegalauan, kecemasan dan ketakutan itu, berbagai aksi solidaritas, tolong-menolong, maupun gotong royong dalam membangun kehidupan bersama tumbuh dan mekar. Hal inilah yang memunculkan semangat optimisme. Bahkan kesadaran spiritualitas – kesadaran dalam membina relasi atau hubungan dengan Tuhan maupun sesama – juga muncul di tengah pandemi tersebut. Kesadaran itulah yang menjadikan manusia kuat dan tetap bertahan dalam situasi ini.

Hanlie Muliani M.Psi, SOA Parenting and Education Support Center, di kantornya. (Foto: JN)

“Secara pribadi saya jujur bahwa saya merasakan bergejolak ketika terjadi virus Corona pada Maret lalu. Saya merasa takut. Karena itu saya mulai membaca literatur, membaca buku terkait pandemi itu. Saya juga terus berdialog dengan diri saya sendiri dan dengan Tuhan. Akhrinya saya menemukan pertanyanaak kok saya seorang pastor mengapa saya merasa takut. Selama ini hidup saya selalu saya gantungkan di hadapan Tuhan. Saya akhirnya merasa menyatu dengan Tuhan. Dan itulah yang menguatakan saya,” ujar Sekretaris Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Antonius Haryanto, Pr, dalam acara FOKUS (Forum Diskusi) ISKA CHANNEL bertajuk “Kesadaran Spiritualitas dan Optimisme” di Jakarta, Jumat (31/7).

Diskusi tersebut juga menghadirkan Hanlie Muliani M.Psi, SOA Parenting and Education Support Center dengan host Ketua DPD ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia) DKI Jabodetabek, Heru Krisna. Diskusi ini dihadiri oleh Ketua Presidium Pusat ISKA Hargo Mandirahardjo, anggota DPP ISKA, DPD ISKA dari seluruh tanah air maupun para simpatisan.

Bicara tentang pandemi ini, menurut Romo Antonius, seperti kita bicara tentang fase kehidupan manusia dari anak-anak menuju dewasa. Kita sudah sering mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Misalnya ketika di dalam kandungan kita merasakan ketenteraman dan kenyamanan. Namun kita harus dilahirkan ke tengah dunia yang penuh dengan gejolak. Karena itu, manusia harus menangis ketika pertama kali dilahirkan ke dunia ini.

Selanjutnya, dalam perjalanannya, seorang anak harus belajar melakukan segala sesuatunya secara sendiri. Makan sendiri, tanpa disuap dan belajar berjalan. Dia juga belajar tanda salib. Hal tersebut terus berjalan ketika dewasa dan hingga saat ini. Ketika manusia dewasa misalnya, dia belajar memecahkan persoalan hingga menemukan solusi.

Romo Antonius mengatakan bahwa kita seharusnya bersyukur karena pandemi virus Corona ini. Betapa tidak, bahwa virus ini memiliki sisi positif karena bisa mengubah hubungan kita, baik dengan sesama maupun dengan Tuhan. “Tentunya kita harus bersyukur dengan pandemi ini. Di sisi ini ternyata ada sisi positif dimana kita meredefinisi segala relasi kita dengan sesama maupun dengan Tuhan. Relasi kita dengan sesama maupun dengan Tuhan menjadi lebih mendalam. Jadi secara spiritualitas saya bisa berkembang,” ujar Romo Antonius yang merupakan Moderator DPD ISKA DKI Jabodetabek tersebut.

Berkembang dalam spritualitas tersebut dialami Romo yang bertugas di KWI ini. Misalnya, dia sekarang memiliki waktu yang banyak untuk berdoa, meditasi, berolah raga dan mengecek kesehatan. Karena itulah kehidupannya kini menjadi lebih seimbang. Romo bisa mengolah waktnya menjadi lebih baik lagi.

“Awal virus ini saya merasakan takut juga. Terus saya cek diri, bagaimana saya memanage hidup saya apa yang belum beres dalam hidup ini. Saya melihat bahwa pandemi ini merupakan sangat istimewa untuk mengecek kehidupan saya dengan Tuhan maupun dengan sesama. Ada begitu banyak aktivitas yang bisa saya lakukan,” ujar Rom Hary, panggilannya.

Romo Antonius Haryanto, Pr. (Foto: Ist)

“Hasilnya yaitu kehidupan saya menjadi jauh lebih baik dalam hubungan saya dengan Tuhan maupun sesama maupun dalam kehidupan kesehatan. Doa dan makanan membantu saya. Hidup saya jadi lebih seimbang,” tambahnya.

Ketika ditanya bagaimana membangun kesadaran spiritual komunal, membangun kesadaran orang banyak, Romo Antonius mengatakan bahwa pandemi ini juga bisa mengatur kesadaran spiritual secara komunal. Misalnya, pada saat ini dirinya bisa mencari acara seperti seminar yang penting dan bagus melalui berbagai macam steraming atau zoom yang ditawarkan. Bahkan dirinya juga bisa mencari misa dari berbagai keuskupan di Indonesia yang ditayangkan melalui siaran Youtube.

Saat ini, satu hal penting yang perlu disadari kata Romo Harry yaitu kehidupan gereja keluarga (Ecclesia Domestica) berkembang sangat positif. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Atmajaya, Jakarta, ditemukan bahwa sekitar 80 persen perayaan ekaristi dilakukan bersama-sama keluarga. Kemudian sebesar 70 persen orang merasa khusuk mengikuti misa melalui streaming.

“Jadi keluarga itu menjadi semangat baru. Seperti gereja awal pada kehidupan perdana, keluarga merupakan hal yang penting, menjadi tempat utama pertemuan iman. Karena itulah saya melihat adanya kuncup yang muncul, ada harapan baru bagi bertumbuhnya kuncup-kuncup yang indah. Bahwa keluarga akan muncul menjadi hal penting. Komunikasi baru juga akan muncul. Makanya saya optimistis bahwa kuncup-kuncup ini akan tumbuh menjadi lebih baik dalam kehidupan kita, kehidupan masyarakat,” tambahnya.

Terakhir, Romo Harry yang juga merupakan pengguna aktif di media sosial itu, memberi saran-saran dalam membangun kehidupan spritualitas melalui media sosial. Dia mengatakan bahwa media sosial adalah bagian dari katakese. Karena itu, yang pertama-tama harus disadari bahwa media sosial, seperti kata Paus Fransiskus, merupakan anugerah dari Tuhan.

Kedua, media sosial itu harus digunakan untuk membagun kesejahteraan bersama, dan kedamaian bersama. Kesejahteraan bersama tersebut selanjutnya harus dibawa sampai kepada Tuhan sendiri. Ketiga, aktivitas tersebut harus berpusat pada Kristus sendiri.

“Jika Yesus, yang adalah seorang leader, kemudian mengumpulkan para rasul yang merupakan follower-follower, dan pada saatnya rasul tersebut kemudian menjadi leader-leader baru, maka kita di media sosial juga pertama-tama berusaha menjadi follower yang baik. Kita misalnya belajar bagaimana menggunakan media sosial yang baik dan benar. Kemudian nanti kita akan menjadi leader yang juga baik. Karena itu, kita harus belajar dulu menjadi follower yang baik,” ujarnya.

Sementara itu, Clinical Psychologist dari Universitas Atmajaya Jakarta dan Universtas Indonesia, Hanlie Muliani M.Psi. mengatakan bahwa manusia sering kali tidak bisa mengendalikan sebuah peristiwa atau bencana yang datang dalam kehidupannya. Karena itu, yang dibutuhkan yaitu mengendalikan sikapnya terhadap segala peristiwa yang terjadi tersebut.

“Tuhan seringkali menginginkan agar kita menghadapi sesuatu hal dalam hidup ini. Karena itu juga kita harus bisa mengontrol sikap kita dalam menghadapi sebuah kejadian. Karena itu, kita harus fokus pada apa yang disebut oleh Steve Jobs dengan circle of influence. Kita harus fokus pada hal yang bisa kita kendalikan, dan bukan mengalahkan situasi,” ujarnya.

Kita juga harus menjadi pribadi yang selalu optimistis karena optimisme merupakan kebiasaan atau habibat. Artinya kita menyadari bahwa sebuah kejadian itu berasal dari Tuhan dan karena itu kita melihatnya dengan penuh optimisme.

Mengutip Martin E.P. Seligman, seorang pencetus positif psikologi mengatakan, dia mengatakan bahwa manusia tidak learn helplessnss melainkan learn to hope. Karena itulah maka perlu sikap optimisme dalam hidup.

Hanlie Muliani M.Psi, SOA Parenting and Education Support Center. (Foto: Ist)

Sebagai seorang Katolik, katanya, dia memiliki apa yang diajarkan Kristus yaitu iman, harapan dan kasih. Iman yaitu percaya hanya kepada Tuhan Yesus Kristus dalam segala peristiwa kehidupan kita.

Harap yaitu kita memiliki sikap optimistis dalam menghadapi sesuatu peristiwa hidup, bahwa kita akan mampu mengatasinya. Sedangkan kasih yaitu melaksanakan tindakan terhadap sesama dalam cinta. Ketika kita menghadapi situasi down, tindakan kasih bukan justru membuat kita bertambah terpuruk, tapi justru membangkitkan semangat dan optimisme dalam diri bahwa kita masih berguna untuk sesama yang lain.

Hanlie mengatakan bahwa Yohannes dari Salib adalah seorang teladan dalam hidupnya. Yohannes dari Salib pernah mengatakan bahwa “the dark night of the soul” itu justru memurnikan jiwa kita.

Dikisahkanya bahwa Hanlie pernah mengalami dua kejadian “malam kelam” dalam hidupnya. Pertama terjadi pada tahun 2009 dia hampir mengalami kehilangan suara. Kedua pada tahun 2019 yaitu ketika dia harus mengalami kehilangan pendengaran bagian sebelah kanan.

“Saya merasa sedih karena kejadian itu. Namun hal tersebut, ‘malam kelam’ itu, hanya terjadi sebentar saja. Karena itu, kita harus bisa menemukan backpacker kehidupan. Buka dan lihat isinya, temukan apa passion/panggilan Tuhan untuk hidupmu. Ketika Tuhan sudah mempercayakan misi kehidupan melalui passion/panggilan hidup kita, Tuhan pasti mencukupkanya dan memelihara kehidupan kita,” ujarnya.

Di tengah pandemi Covid-19 ini, katanya, badan kita bisa dikarantina. Namun tidak ada yang bisa mengarantina pikiran, ide, imajinasi untuk terus berkarya. “Karena itu, yang saya lakukan dalam hidup yaitu melakukan dengan baik dan setia berkarya bersama Allah,” pungkasnya. (Ryman)