Membangun Solidaritas Tanpa Sekat di Tengah Pandemi

oleh -
Acara FoKus ISKA (Forum Diskusi) Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, yang disiarkan melalui ISKA Channel di Jakarta, Jumat (25/6). Tampil dalam diskusi yang dipandu oleh DPP ISKA Hermien Y Kleden itu dua narasumber yaitu Sosilog Universitas Indonesia, Dr. Imam B. Prasodjo dan seorang yang mengembangkan bisnis "Food Cycle", Astrid Paramita. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Indonesia merupakan negara yang dianugerahi kekayaan luar biasa besar, dengan keanekaragaman suku, adat istiadat, budaya maupun agama dan dengan kekayaan sumber alam yang sungguh mengagumkan. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, maka keanekaragaman itu bisa tumbuh menjadi riak-riak gelombang kecil yang bisa menggulung menjadi ombak besar yang bisa meluluhlantakkan bangunan bangsa ini.

Karena itu, dibutuhkan pengelolaan yang cermat, adil dan merata oleh seluruh anak bangsa. Dibutukan juga solidaritas tanpa sekat yang membingkai semua aktivitas anak bangsa tersebut – apalagi di era pandemi yang mengancam saat ini. Dibutuhkan solidaritas tanpa sekat yaitu solidaritas yang mampu menembus semua batas dan perbedaan budaya, agama, lapisan masyarakat, suku dan ras.

Hal itu mengemuka dalam acara FoKus ISKA (Forum Diskusi) Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, yang disiarkan melalui ISKA Channel di Jakarta, Jumat (25/6). Tampil dalam diskusi yang dipandu oleh DPP ISKA Hermien Y Kleden itu dua narasumber yaitu Sosilog Universitas Indonesia, Dr. Imam B. Prasodjo dan seorang yang mengembangkan bisnis “Food Cycle”, Astrid Paramita.

Sosilog Universitas Indonesia, Dr. Imam B. Prasodjo. (Foto: JN)

Mengawali pembahasannya, Imam mengatakan bahwa dirinya merasa bersyukur terlahir sebagai anak desa. Karena dengan itu, dia bisa melihat dan mengetahui Indonesia yang sesungguhnya. Karena kota-kota di Indonesia, katanya, semuanya berkembang dari desa kecil dan guyub.

“Saya merasa bersyukur karena adalah anak desa yang lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah. Di tahun 1960-an, saya pindah ke Jakarta untuk lanjutkan pendidikan, sementara teman-teman saya cuma berpendidikan SD. Kedua orang tuaku meninggal saat awal perkuliahan. Setelah saya selesaikan sarjana, saya melanjutkan pendidikan master dan doktor di USA. Dan saat ini saya adalah dosen Sosiologi di Universitas Indonesia. Selain itu saya aktif di dua bidang: upaya-upaya dalam melakukan perdamaian, serta pendampingan dalam rangka pemberdayaan masyarakat,” ujarnya.

Saat Imam pulang studi dari USA, barulah dia semakin menyadari bahwa Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku, budaya, ras dan agama.

Saat berusia 25 tahun, berkat pergaulannya dengan teman-teman yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, Imam muda, mulai mengenal keanekaragaman suku, budaya, ras, agama, adat istiadat, stratifikasi sosial, keberagaman pola pikir. Dia mengatakan ada sekitar 50-an kerajaan yang pernah ada di Indonesia.

“Dan semua ini adalah bukti anugerah dari Tuhan Sang Pencipta. Jika semua anugerah Sang Pencipta ini tidak dirawat dan dilestarikan, maka bisa mendatangkan kehancuran di negara kita. Patutlah kita bersyukur kepada Tuhan Sang Pencipta atas semua anugerah ini, dan juga patutlah kita berterima kepada kedua proklamator kita: Bung Karno dan Bung Hatta yang telah meletakan dasar berdirinya NKRI tercinta ini. Setiap kali kita mendengar lagu-lagu wajib, misalnya Lagu Tanah Airku, betapa kita dipenuhi dengan roh atau semangat kebhinekaan yang kita miliki,” ujarnya.

Imam mengatakan bahwa sejak awal negara ini dirancang atas dasar kesamaan cita-cita yang tertuang pada konstitusi, bukan atas ikatan-ikatan primordial, baik suku, agama, ras, dan kedaerahan. Karena itu, negara ini memiliki kerekatan semangat berbangsa dan bernegara.

Rumusan Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, dan dengan didirongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Kemudian cita-cita luhur ini dirumuskan dalam kalimat bahwa pembentukan suatu Pemerintah Negara Indonesia adalah merealisasikan cita-cita kehidupan bersama, yakni “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Imam mengatakan, inilah yang disebut “The Indonesian Dream” yang ingin diwujudkan.

“Dan inilah cita-cita yang menjadi perekat mengapa kita setia dan sepakat bergabung dalam satu bangsa dan satu Pemerintahan Negara Indonesia,” ujarnya.

Karena itu, menurut Imam, dirinya sangat beruntung sebagai orang desa. “Karena saya lebih dalam  memandang Indonesia itu sebagai sebuah desa, dibandingkan dengan teman-temanku yang berasal dari kota, karena mayoritas  penduduk Indonesia berasal dari desa. Sungguh luar biasa bahwa saya bisa melihat Indonesia dari luar, karena saya berasal dari desa yang kemudian tinggal di kota. Saya sangat beruntung hingga saat ini,” kata Imam.

Walau berbeda-beda, katanya, tapi kita semua mempunyai kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan. Hal ini tercantum dalam Pasal 27 (ayat 1) UUD 1945, amandemen IV berbunyi: “Semua warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 berbunyi:  “Setiap orang berhak atas pengakuan,  jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan sama di hadapan hukum.”

Kedua pasal di atas sangat menguatkan kita dalam hidup berbangsa dan bernegara di NKRI tercinta ini.

Karena itu, diskusi tentang membangun solidaritas tanpa sekat di tengah pandemi merupakan sebuah solidaritas yang mampu menembus semua batas dan perbedaan budaya, agama, lapisan masyarakat, suku dan ras.

Pemilik bisnis “Food Cycle”, Astrid Paramita. (Foto: JN)

 

Nilai Bhinneka Tunggal Ika yang Perlu Dikembangkan

Menurut Imam, nilai dan perilaku yang harus dikembangkan terkait bhinneka tunggal ika adalah sebagai berikut.

Pertama, Kebhinekaan Tunggal Ikaan tidaklah sekadar keragaman semata, namun merupakan keterlibatan energetik, energetic engagement, terhadap keragaman itu. Hal ini berarti terdapat hubungan inter dan intra komunitas yang dinamis.

Kedua, Kebhinekaan Tunggal Ikaan tidaklah sekadar toleransi, tetapi juga upaya aktif untuk memahami perbedaan antara berbagai kelompok yang ada (the active seeking of understanding accross lines of difference).

Ketiga, Kebhinekaan Tunggal Ikaan berarti memegang identitas masing-masing, dimana satu kelompok dengan yang lainnya berbeda, namun perbedaan itu tidak hidup dalam situasi isolatif, tetapi selalu dalam hubungan intensif antara satu dengan yang lain.

Keempat, Kebhinekaan Tunggal Ikaan itu bebasis pada dialog. Hal ini berarti di dalamnya terdapat hubungan, transaksi, “give and take”, kritik dan evaluasi diri. Dialog berarti bicara dan mendengar. Dan dalam proses itu menghasilkan pemahaman bersama atas adanya “kesamaan”, maupun pemahaman atas “adanya perbedaan”.

 

Memberi Bantuan Tanpa Membedakan Agama

Jika kita hendak berbuat baik atau membantu sesama maka janganlah kita tunggu menjadi orang kaya dulu, tapi berbuatlah sesuai kemampuan kita yang ada saat ini.

“’Do something as you can do’. Itulah motivasi saya dan suamiku saat awal membangun bisnis “Food Cycle” yang merupakan sebuah organisasi non profit yang berbadan yayasan dengan misinya ‘Zero food Waste and zero hunger for better Indonesia’,” ujar Astrid Paramita memulai penjelasannya tentang alasan keterlibatan dirinya bersama sang suami dalam yayasan yang didirikannya itu.

Organisasi ini, kata Astrid, didirikan berdasarkan inspirasi dari sebuah organisasi di India yang menyalurkan kelebihan makanan saat pesta pernikahan bagi orang kecil.

“Di India, pesta pernikahan itu diadakan berhari-hari, sehingga kelebihan makanan itu sebaiknya dibagi juga ke orang lain yang membutuhkan. Jadi itu bukan sisa makanan yang akan dibagi, tapi kelebihan makanan. Kata suamiku: ‘Gimana kalau kita dirikan ‘Food Cycle’ di Indonesia juga untuk membantu orang-orang kecil ?’. Akhirnya kami juga mulai bergerak bersama untuk membangun organisasi ‘Food Cycle’ di Indonesia di tahun 2017,” ujarnya.

Pada awalnya, Astrid bersama Herman, suaminya, termotivasi membantu sesama dengan menyalurkan bantuan makanan yang berasal dari “Food Cycle”, tanpa membedakan orang dari agama apa pun. Sesuai ajaran agama kita (Katolik), kita tidak boleh  “pilih kasih” atau memandang orang dari agama atau sukunya.

“Jadi kasih itu harus mencakup siapa saja, tanpa mengkotak-kotakan orang dari suku dan agamanya. Puji Tuhan Yesus, saat ini sudah ada 50-an yayasan yang kita sumbangkan “food cycle” bagi mereka. Dalam menjalankan misi pelayanan ini, kami bekerjasama dengan beberapa restoran, perkantoran dan Perusahan Roti Holland yang turut berdonasi bagi sesama yang membutuhkan makanan,” ujarnya.

Salah satu figur yang sudah lama berkerja sama dengan yayasan untuk membagi “food cycle” kepada sesama adalah seorang mantan Miss Indonesia 2016 yaitu Natasha Manuella Halim. Selain itu ada juga orang-orang yang dikenal melalui media sosial. “Mereka juga turut membantu kami dalam menyalurkan ‘food cycle’ kepada orang-orang kecil,” ujarnya.

 

Kekuatan Orang “Abnormal”

Diskusi ini terbilang sangat menarik. Banyak sekali pertanyaan muncul. Saking banyaknya pertanyaan maka waktu pun ditambahkan oleh pemandu acara.

Menjawab pertanyaan tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi pandemi Covid ini dalam kaitannya dengan membangun solidaritas tanpa batas, Imam mengatakan bahwa dalam situasi pademi ini, kita juga berada dalam arus perubahan yang besar. Kemajuan di berbagai bidang teknologi informasi, dapat membantu kita dalam berinteraksi dengan sesama. Dia mencontohkan di bidang perdagangan, akan lebih mudah menjangkau masyarakat untuk bertransaksi.

Contoh konkritnya, kata Imam, di pasar tradisional saja sudah dilakukan transaksi secara “on line”, sehingga mengakibatkan banyak pedagang yang guling tikar. Di pasar tradisional saja demikian, apalagi di pasar moderen.

Pandemi Covid 19 ini membuat kita menjaga jarak, sehingga interaksi kita harus melalui “digital interaction”. Pandemi Covid telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan, dan banyak perusahan yang bangkrut.

“Jika tanpa ada solidaritas dari sesama, maka akan terjadi konflik atau tragedi kemanusian yang luar biasa. Jadi kita harus merancang sebuah solidaritas tanpa batas dengan sebuah ketulusan, dan saling bersinergis lintas kelompok, agama dan suku, agar kita sama-sama bisa mengatasi pandemi ini,” katanya.

Imam mengatakan, dia sudah mendedikasikan diri dan hidupnya untuk melakukan pekerjaan humanitarian tersebut. Hal ini juga merupakan “modal akhirat” bagi dirinya. “Saya dan teman-teman yang punya niat yang sama, telah membangun yayasan untuk bantu memberdayakan sesama. Saya terinspirasi dari Santo Fransiskus Assisi dan Muder Theresia dari Calcuta untuk mengabdikan diri bagi orang lain,” ujarnya.

Imam mengatakan bahwa ada banyak orang “abnormal” di sekitar kita. Dia menyebutkan orang seperti Astrid itu adalah orang-orang “abnormal” karena mengerjakan perkerjaan yang tidak bisa dilakukan maupun jarang dilakukan oleh orang-orang lain. “I know the power of abnormal people. Saya sangat terinspirasi dengan sebuah buku berjudul ‘The Power of Unreasonable People’. Buku itu sangat menginspirasikan saya juga untuk berbuat baik bagi orang yang lain di sekitar kita,” ujarnya.

Astrid mengatakan bahwa di era pandemi seperti saat ini, ada berbagai pihak yang tidak bisa menyediakan sumber makanan bagi yayasannya. Pasalnya mereka tidak bisa lagi menggelar pesta seperti biasanya. Karena itu, Astri dan suami harus berpikir keras untuk mencari sumbangan bagi orang-orang yang biasa mendapatkan bantuan.

“Saya bersyukur sekali karena banyak orang berderma untuk bisnis ‘food cycle’. Selain itu, dalam situasi pandemi ini, saya juga menanam tanaman yang mengahasilkan bahan makanan. Selama ini kami kami salurkan bantuan ‘food cycle’ melalui pesanan via media sosial. Dan ada banyak daerah di Indonesia yang kami berikan sumbangan,” pungkasnya. (Ryman)