Menangkal Ujaran Kebencian Dalam Pemilu 2024

oleh -
Diskusi bertajuk “Menangkal Ujaran Kebencian” di Jakarta. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Memasuki tahun 2024, suhu panas dunia politik sudah semakin terasa. Nuansa polarisasi yang menjadi “warisan” Pilpres dan Pilkada di masa sebelumnya belum juga tuntas, tetapi riuh ramai jagad maya sudah semakin gaduh di tahun ini. Tentu saja hal ini menjadi masalah yang sangat menganggu dalam membangun suasana sehat demokrasi di Indonesia.

Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J.Rachbini, M.Sc, PhD. dalam diskusi bertajuk “Menangkal Ujaran Kebencian” di Jakarta, beberapa waktu lalu mengatakan, jagad maya saat ini menjadi sebuah wilayah besar, rumit dan adanya arus informasi yang dijejali oleh situasi tanpa aturan di dalamnya.

Adapun narasumber diskusi tersebut yaitu Dosen Universitas Paramadina, Husni Mubarok dan Dosen Fisip UNDIP, Wijayanto.

“Inilah metamorfosa kondisi jagad maya saat ini, yang berpengaruh terhadap dunia nyata.  Dunia nyata kemudian rusak seperti Cerpen ‘Robohnya Surau Kami’ karya Ali Akbar Navis. Jagad maya sebagai lingkungan masyarakat yang tak lagi peduli dengan ‘Surau’, dalam hal ini adalah aturan dan tatanan agama, sehingga masyarakat di jagad maya hidup tanpa aturan. Dari waktu ke waktu jagad maya yang dipenuhi oleh ujaan kebencian, sumpah serapah, hoaks, permusuhan yang menyebabkan tatanan, institusi, etika, budaya masyarakat di dunia nyata hancur,” ujarnya.

Didik mengatakan, pemerintah dan aparat negara di dalam kondisi genting seperti ini perlu menjadi penjaga atauran main, tiang institusi dan tauladan dalam perilaku di jagad maya, bukan sebaliknya terlibat di dalam kerusakan tatanan tersebut karena berpihak di dalam polarisasi.

Selama ini ada indikasikan pemerintah dan aparat negara juga terlibat dalam masalah tersebut sehingga bukan hanya sistem sosial politik di jagat maya tidak ada yang menjaga tetapi justru menjadikan dan menambah keadaan semakin runyam.

“Jika penyelenggara negara tidak bisa menjadi tauladan dan menjadi dirigen dalam ujaran kebencian maka penyebaran ujaran kebencian akan semakin menjadi-jadi. Di sinilah titik kritik dari masalah ini tergantung kepada pemerintah dan aparat apakah akan menjadi bagian utama dari pilar solusi atau menjadi bagian dari masalah itu sendiri,” katanya.

Husni Mubarok mengatakan, menyampaikan ujaran kebencian perlu diwaspadai karena ada banyak sejarah bencana kemanusiaaan dan pelanggaran HAM yang terjadi akibat adanya ujaran kebencian yang diorkrestasi.

“Seperti kasus Konflik Etnis di Rwanda tahun 1994, kerusuhan di Tanjung Balai tahun 2016 akibat kebencian etnis, serta permainan politik identitas yang terkait dengan kontestasi Pilkada DKI 2017,” ujarnya.

 

Dua Faktor

Husni mengatakan, ujaran kebencian terjadi karena 2 faktor yaitu histori konflik dan memori kekerasan yang pernah terjadi di suatu wilayah serta tidak adanya upaya mediasi serta kontra narasi yang kuat saat provokasi ujaran kebencian.

Penanganan ujaran kebencian, menurut Husni, dapat dilakukan dengan 3 pendekatan. Pertama, pendekatan secara moralitas. Kedua, sanksi administratif. Dan ketiga, pidana bagi pelaku ujaran kebencian berat seperti hasutan dan provokasi yang mengarah pada kekerasan dan pelanggaran HAM.

“Adanya penegakan hukum yang proporsional akan membuat para pelaku ujaran kebencian tidak lagi sewenang-wenang dalam melakukan hasutan dan provokasi,” katanya.

Di sisi lain, Husni juga memandang problem penindakan ujaran kebencian di Indonesia masih mengalami kesulitan karena penanganan ujaran kebencian seringkali berkaitan dengan kasus-kasus yang seharusnya tidak masuk ke ranah pidana seperti pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan serta penistaaan yang bisa memunculkan multi interpretasi.

“Oleh karenanya, penanganan ujaran kebencian tidak bisa serta merta diterapkan begitu saja oleh pemerintah karena peluang untuk terjadinya pemberangusan kebebasan ekspresi bisa saja terjadi,” imbuhnya.

Sementara itu, Widjayanto Ph.D menyampaikan bahwa polusi digital dalam bentuk hoax dan hate speech telah berlangsung lama dan terjadi di 80 negara. Berdasarkan Riset oleh Oxford tahun 2020, ujaran hoax dan hate speech telah diorkestrasi di banyak negara yang dilakukan secara terorganisir oleh cyber troops (pasukan siber yang didanai).

Wijayanto juga menambahkan riset LP3ES dan Leiden menyimpulkan bahwa pemerintah dan parpol juga terlibat dalam operasi cyber troops ini.

Riset yang dilakukan oleh LP3ES dan Leiden dengan memotret jutaan percakapan di media sosial pada akun anonim dan pseudonim juga melihat bahwa karakteristik cyber troops adalah terorganisir serta membawa agenda promosi kebijakan pemerintah. “Namun di masa Pilpres dan Pilkada cenderung mensupport kandidat tertentu serta menjelekkan  (black campaign) kandidat yang tidak didukungnya,” ujarnya.

Potret terakhir, kata Wijayanto, adalah dengan melihat praktik cyber troops yang melontarkan hate speech dan hoax pada kampanye Pilpres 2019. Di masa tersebut muncul hashtag #2019gantipresiden serta mengasosiasikan Jokowi pada identitas PKI dan terlibat dalam kriminalisasi ulama.

Kontra narasi dari kampanye hate speech ini juga bermunculan dengan ramai seperti isu agama dari kandidat lawan yaitu Prabowo dan Sandi serta praktik peribadatan dari kedua kandidat ini.

Oleh karenanya, Wijayanto yang juga berperan sebagai praktisi media sosial itu menginisiasi pembentukan gerakan content moderation bersama 12 organisasi untuk melakukan edukasi serta filter terhadap konten hoax dan ujaran kebencian.

Di bagian akhir, Wijayanto menilai perlu adanya narasi alternatif berisi narasi politik yang berorientasi pada kebijakan seperti pengawasan terhadap pengelolaan pajak hingga isu banjir yang terkait dengan lingkungan. ***