Mencintai Semua Walau Cuma Memilih Satu

oleh -
RD. Martinus Emanuel Ano. (Foto: Ist)

(Perspektif KomKer Keuskupan Denpasar Menuju Pemilu 17 April 2019)

Oleh: RD. Martinus Emanuel Ano

JALAN terjal menuju PEMILU 17 April 2019 sejauh ini telah menciptakan banyak sensasi. Para calon mendadak ramah dan seperti “murah hati”. Sejumlah acting memikat massa makin menggelora. Hampir semua tampak baik dan meyakinan (walau belum tentu benar). Para Tim Sukses dan pendukung pun tak ketinggalan memberikan aneka jenis dukungan, dari cara yang halal sampai tak halal, dari gaya yang sopan sampai kurang sopan. Bahkan ada bahaya menuju ke fanatisme sempit untuk calon tertentu. Untuk “massa awam” politik, suasana tersebut tak menantang tapi membingungkan. Untuk “para pemain” yang terlibat aktif dalam panggung politik, suasana itu tentu sangat menantang untuk meracik strategi yang lebih mumpuni bagi meraih kesuksesan. Artikel ini saya tulis untuk membangkitkan gairah dan kesadaran berpolitik umat dan agar bisa berlaku bijak di Pemilu yang akan terjadi 17 April nanti. Karena bagaimanapun, point penting yang dapat kita maknai dari terselenggaranya Pemilu nanti adalah makin majunya demokrasi di Bangsa dan Negara kita, Indonesia tercinta.

 

Essensi Pemilu: Pesta Demokrasi, Bukan “Demo Crazy”

Dalam kolom liputan khusus Agape edisi November 2018 lalu, saya pernah menulis sebuah laporan hasil konsolidasi para Ketua Komisi Kerawan se-Indonesia di Wisma Semadhi Klender-Jakarta Timur pada 9-11 Oktober 2018, bertajuk: “Signifikan & Relevannya Gereja Katolik di PEMILU 2019”, yang salah satunya menyinggung seruan Mgr. Vincentius Sensi Potokota, selaku Ketua KomKer KWI, tentang pemilu 2019 sebagai peristiwa sukacita. Ya, amat wajar kalau Pemilu diberi predikat sebagai peristiwa sukacita karena itu merupakan momen langkah yang terjadi 5 tahun sekali di mana setiap pribadi memberikan hak sebagai warga Negara dengan memberikan suara dalam Pemilu untuk menentukan arah Bangsa dan  Negara ke depannya.

Memberikan suara merupakan hak asasi setiap warga Negara. Maka sayang kalau hak itu tidak digunakan. Maka menjadi “golput” bukanlah pilihan yang bijak untuk seorang warga Negara yang bertanggung jawab atas Bangsa dan Negaranya. Sebaliknya berpartisipasi dan ikut memilih saat Pemilu merupakan ekspresi pribadi yang bijak. Kebijakan seperti ini penting, bukan saja sebagai ekspresi hak dan tanggung jawab sebagai warga Negara, tapi juga sebagai bentuk kepedulian dalam ikut merayakan sukacita bersama seluruh bangsa yang terbingkai dalam even bernama PEMILU.

Pemilu adalah pesta rakyat, pesta demokrasi. Suara rakyatlah yang menetukan hasil. Maka essensi Pemilu adalah suara rakyat. Pemilu bukan “demo crazy”, saat di mana “orang gila”, yang mungkin gila kuasa, gila jabatan atau gila uang berdemonstrasi. Maka main kuasa dan main uang bukanlah cara yang benar untuk kesuksesan pesta demokrasi. Hati nuranilah yang berkuasa dalam pesta demokrasi. Maka saya sangat setuju dan suka dengan maskot dan semboyan KPU untuk Pemilu 2019: “Pemilih Berdaulat Negara Kuat”. Pemilih berdaulat berarti yang punya hak suara memiliki kekuasaan tertinggi untuk menentukan pilihan, bukan pengaruh pihak lain, apalagi bila itu “para crazy”. Negara akan kuat bila Pemilu benar dilaksanakan sebagai pesta demokrasi dengan pemilih berdaulat sebagai fondasinya.

 

Menjadi Pemilih yang Bijak, Tak Cuma Cerdas

Dalam rangka Pemilu 2019, ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia), menerbitkan sebuah buku berjudul: “Menjadi Pemilih Cerdas”. Pemilh cerdas berarti menggunakan rasio atau akal sehat, serta menggunakan hati nurani. Iska mengajak pemilih untuk rasional agar memilih berdasarkan penilaian yang objektif, tidak dipengaruhi oleh faktor pragmatis, seperti politik uang, faktor primodialisme karena hubungan kekerabatan, suku, agama dan model kedekatan lainnya. Hal pertama dan utama yang membingkai pemilih cerdas yakni kesadaran bahwa Pemilu adalah soal penentuan orang yang akan menentukan arah dasar, visi dan misi bangsa (dan daerah) untuk lima tahun ke depannya. Yang kedua, betul menyadari bahwa demokrasi yang benar memberikan rakyat kedaulatan untuk  berkuasa atas pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif. Maka pemilih yang cerdas akan berlaku seperti berikut: 1. Menggunakan hak pilih, 2. Mencermati partai politik, 3. Mencermati calonnya, 4. Tidak percaya hoax, kampanye hitam dan serangan fajar, 5. Cerdas di hari “H” Pemilu.

Saya sangat mengapresiasi dan bangga dengan buku yang telah diterbitkan oleh “Rasul Awam” kita di ISKA. Sangat membantu umat yang mungkin “kebingungan” memilih di antara kontestan yang ada. Sederhanya, Pemilih Cerdas berarti mereka yang memilih pakai otak, berdasarkan pengetahuan yang objektif, mungkin juga wawasan politik dan kebangsaan. Ada sebuah catatan tambahan yang tidak dibeberkan secara detil, yang saya pakai sebagai acuan untuk menganjurkan menjadi pemilih yang tak cuma cerdas, tapi bijak. “Pemilh cerdas berarti menggunakan rasio atau akal sehat, serta menggunakan hati nurani. Istilah yang saya garis bawahi inilah yang hendak saya dalami lebih dari cukup untuk menjadi pemilih yang bijak.

Dalam konteks pemahaman filsafat, “kebijaksanaan” berarti kemampuan, kepiawaian, kecerdasan seorang pribadi untuk merangkaikan, mengsinkronkan, menyesuaikan apa yang ada di otak dengan yang sedang ada di hati. Otak itu penampung pengetahuan dan berisi wawasan. Sedangan hati itu berisi perasaan, juga iman kepercayan. Hati Nurani itu selalu jernih. Makanya dalam pandangan moral Katolik, hati itu hakim tertinggi untuk sebuah keputusan yang benar dan baik. Hati Nurani itu berfungsi untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat/buruk. Memilih dalam Pemilu, bagi umat Katolik berarti memilih sesuai hati nurani yang jernih, yang di dalamnya ada iman (ada Tuhan yang berdiam di hati). Memilih sesuai hati nurani berarti sudah tahu mana yang baik yang perlu dipilih dan mana yang buruk/jahat yang tak perlu dipilih. Untuk dapat membedakan mana yang baik dan tidak, maka perlu kecerdasan, butuh akal sehat, butuh pengetahuan dan wawasan yang mumpuni. Pemilih yang bijak berarti mereka yang memilih karena memiliki wawasan dan pengetahuan yang cukup tentang calon dan menggumuli pengetahuan dan wawasannya itu dalam hati nurani yang jernih, yang kemudian bisa melahirkan “fox populi fox Dei”. Yang dipilih merupakan penjelmaan suara Tuhan untuk menetukan siapa yang terbaik bagi melayani Bangsa dan Negara kita 5 tahun ke depan.

 

Mencintai Semua Walau Cuma Memilih Satu

Pemilih yang bijak akan berlaku adil terhadap semua calon yang ada. Bahwa kita ngefans berat dengan calon/paket tertentu tak lalu berarti meremehkan, merendahkan, menodai atau membenci yang lain. Bagaimanapun para calon yang berani maju adalah “pencinta demokrasi” yang membuat demokrasi bangsa kita tetap terjaga dan terus berkembang. Kita perlu bangga dengan keberanian mereka untuk maju sebagai calon pada Pemilu serentak yang akan datang.

Sisi lain dari kapasitas Pemilih yang bijak adalah “Mencintai semua calon/kubu, walau cuma harus memilih satu. Hal ini penting karena ketika kita ngefans kepada yang satu sambil merendahkan, mengejek atau bahkan membenci yang lain, hal itu tidak cuma melecehkan demokrasi, tapi juga merusakan hati nurani, yang bila betul kita percaya ada Tuhan yang menghuni hati, maka kita melawan kebajikan Tuhan yang sejatinya mencintai semua orang tanpa batas. Orang Kristiani telah menjadi maskot cinta tanpa batas kepada siapapun. Dalam konteks ini, Saya teringat dengan ceramah Kepala Kemenag Kabupaten Jembrana, Bpk. I Made Sudarmita, S.Pd, S.Ag, MM, tentang ciri khas masing-masing agama di Indonesia, saat berbicara di depan para anak muda yang hadir di acara terakhir Pra JOMK Dekenat Bali Barat pada 29-31 Mei 2018 di Paroki St. Petrus Negara. Orang Kristen, Protestan dan Katolik terkenal dengan ajaran cinta kasihnya. Hukum pertama dan utama ialah cinta kasih terhadap Tuhan dan yang kedua, mencinta sesama seperti kepada diri sendiri (Matius 22:37-39). Bahkan kalau itu dianggap sebagai “rival”, musuhpun, harus tetap dicintai, didoakan dan diberkati. Kotbah Yesus di bukit telah menjadi inspirasi terbaik untuk kita dalam konteks itu (Bdk. Matius 5:44).

Pemilih yang bijak tidak mengusung fanatisme sempit kepada calon tertentu, tidak radikalisme dan fundamentalisme, tidak anarkis. Pemilih yang bijak sportif untuk mencintai dan mendukung semua calon (kecuali yang sudah dilabeli korup), walau saat pemilihan cuma memilih satu yang dipandang layak dan pantas. Bila sikap bijak ini yang diambil dan kita pelihara untuk menyukseskan Pemilu 17 April 2019 nanti, maka kita bisa menjadi Pemilih Berdaulat yang membuat Negara ini kuat, tangguh, mandiri dan berani bersaksi tentang demokrasi kepada bangsa dan Negara lainnya.

Hemat saya, ajakan Yesus untuk “cerdik seperti ular namun tulus seperti merpati dalam menjadi domba di tengah srigala” (Matius 10:16), menjadi Sabda yang menjelma menjadi manusia dan tinggal di antara kita, bila dalam memilih kita melibatkan otak dan hati untuk berpadu dalam menentukan pilihan. Akhirnya, pemilih yang bijak adalah mereka yang memilih berdasarkan rekam jejak yang baik (moral yang baik), yang teruji dan terbukti, sebagaimana yang telah diserukan Bapak Uskup Denpasar dalam Surat Gembala menjelang Prapaska-Paska tahun 2019. Selamat mencoblos di 17 April 2019. Terus dan tetaplah menjadi WNI yang 100% Katolik 100% Indonesia. Tuhan berkati semuanya. —***—