Mengasah Habitus Baru dalam Menghadapi Pandemi

oleh -
Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) kembali menggelar acara FOKUS (Forum Diskusi) secara online melalui ISKA Channel di Jakarta, Jumat (7/8). Diskusi tersebut mengambil tema tentang “Habitus Baru di Arena Pandemi”. Hadir sebagai pemakalah yaitu Romo Dr. J. Haryatmoko, SJ, dosen Universitas Sanata Dharma, dan Pakar Etika dan Filsafat Modern; Prof. Yudho Giri Sucahyo, Ph.D. Pakar IT Universitas Indonesia, yang juga Ketua Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) dengan host Dr. Fidelis I. Diponegoro, M.M, Koordinator Jawa DPP ISKA. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID –Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) kembali menggelar acara FOKUS (Forum Diskusi) secara online melalui ISKA Channel di Jakarta, Jumat (7/8). Diskusi tersebut mengambil tema “Habitus Baru di Arena Pandemi”. Hadir sebagai pemakalah yaitu Romo Dr. J. Haryatmoko, SJ, dosen Universitas Sanata Dharma, dan Pakar Etika dan Filsafat Modern; Prof. Yudho Giri Sucahyo, Ph.D. Pakar IT Universitas Indonesia, yang juga Ketua Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) dengan host Dr. Fidelis I. Diponegoro, M.M, Koordinator Jawa DPP ISKA.

Romo Dr. J. Haryatmoko, SJ, dosen Universitas Sanata Dharma, dan Pakar Etika dan Filsafat Modern. (Foto: JN)

Romo J. Haryatmoko memulai pembahasan dengan menguraikan pengertian “habitus” menurut Pierre Bourdieu. “Habitus merupakan disposisi atau sikap atau kecenderungan yang menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik hidup. Habitus merupakan respresentasi yang sudah mengarah kepada tujuan, meski tanpa sadar dipikirkan oleh manusia dan tanpa sengaja diusahakan untuk mencapainya namun secara objektif sudah melekat teratur tanpa diarahkan oleh aturan dan secara kolektif sudah harmoni tanpa harus dipimpin oleh seorang dirigen” (Bourdieu, 1980:  88-89).

Jadi, habitus merupakan hasil dari internalisasi struktur sosial yang pada gilirannya memengaruhi struktur sosialnya juga.

“Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis, tak harus selalu disadari kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu,” ujarnya.

Romo misalnya mencotohkan habitus dengan orang yang berlatih bermain piano. Pada awalnya seseorang belajar memainkan notasi saja. Kemudian, setelah lancar, maka orang tersebut bisa memainkan lagu-lagu.

Romo Haryatmoko mengatakan, penyampaian habitus paling efektif dilakukan dengan cara yang implisit, bukan melalui perintah, nasehat atau kotbah. Penyampaian habitus efektif melalui teladan dan lingkungan. Dia mencontohkan, seperti kisah novel, film, cerpen, wayang, yang mengandung nilai-nilai, model-model kehidupan itu menarik karena tidak menggurui.

Lantas, pelajaran apa yang bisa dipetik dari pandemi Covid-19 saat ini?

Prof. Yudho Giri Sucahyo, Ph.D. Pakar IT Universitas Indonesia, yang juga Ketua Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) saat berbincang dengan Dr. Fidelis I. Diponegoro, M.M, Koordinator Jawa DPP ISKA. (Foto: JN)

Romo Haryatmoko mengatakan, pertama kita harus mengembangkan habitus baru tersebut. Selanjutnya, kita harus memaknai hidup kita yaitu menghadapi penderitaan dan mau melampaui diri kita sendiri.

Dia mengatakan, ketika seseorang membalas cibiran atau seragan fisik orang lain maka itu hal yang lumrah. Namun, ketika kita membalas sebuah olokan dengan cara mengampuni orang yang mengolok tersebut, maka itu adalah tindakan yang melampaui diri.

Habitus baru, kata Romo, juga dibutukan dalam menghadapi keputusasaan. Karena itu, habitus baru merupakan buah dari ketekunan dan harapan yang kuat.

Menurutnya, adaptasi dalam situasi baru saat ini yaitu kita harus hidup hiegenis, yaitu sadar menjaga kesehatan; Menjaga jarak fisik, cara bicara; Membiasakan hidup sederhana yaitu makanan, penampilan dan budaya; Menjalani Misa, ibadat, pendalaman iman melalui online; belajar secara daring; ceramah, pertemuan online (daring); dan bekerja atau Work From Home.

Sementara itu, Prof Yudho berbicara tentang pentingnya literasi digital dalam era pandemi seperti saat ini. Dia mengatakan, literasi digital menjadi hal yang sangat penting karena teknologi digital menjembatani keterbatasan interaksi selama Pandemi. “Dunia digital justru bisa menyediakan ruang tak terbatas,” ujarnya.

Dikatakannya, kita bisa survive di masa pandemi ini jika bisa memanfaatkan digital. Karena itu, kita perlu memiliki literasi digital, yaitu menggunaka media teknologi informasi tersebut.

Prof Yudho mengutip pernyataan Menteri Koperasi dan UMKM, Teten Masduki, bahwa jika pada tahun 1998 sektor UMKM jadi pengaman ekonomi nasional, maka pada saat pandemi ini, justru sektor UMKM yang pertama jatuh terjerembab. Itu karena mereka sangat sedikit dari sektor UMKM yang masuk dalam dunia digital.

Dia mengatakan UMKM yang menggunakan digital baru mencapai 13 persen atau 8 juta dari semua UMKM yang ada. “Karena itu, yang bisa kita lakukan yaitu membuat UMKM itu memiliki literasi digital,” ujar Prof Yudho.

Dia mengatakan, infrastruktur digital antara Indonesia barat dan Indonesia timur memilili kesenjangan yang luar biasa besar. Di Papua dan Nusa Tenggara misalnya masih banyak yang belum memiliki gawai atau handphone. Atau seandainya mereka memiliki HP maka dalam satu keluarga hanya memiliki satu buah HP. Karena itu, HP tersebut dipakai secara bergantian.

Seandainya mereka telah memiliki HP, maka kecepatan mengakses data pun atau untuk melakukan pembicaraan juga terputus-putus.

Memang Indonesia telah memiliki Palapa Ring. Namun, problemnya yaitu menyediakan sambungan hingga ke rumah-rumah penduduk belum diselesaikan.

“Secara infrastruktur Indonesia masih berada pada last miles problem. Palapa Ring sudah bisa menyediakan jaringan internet secara nasional tetapi PR-nya bagaimana menghadirkannya sampai ke rumah-rumah,” ujarnya.

Prof. Yudho Giri Sucahyo, Ph.D. Pakar IT Universitas Indonesia, yang juga Ketua Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI). (Foto; JN)

Dia mengatakan, masyarakat yang tidak memiliki literasi digital merupakan persoalan yang biasa saja. Namun, inilah yang menjadi satu dari sekian banyak penyebab kesenjangan yang kita miliki.

Prof Yudho misalnya mencotohkan bahwa seoraang anak yang tidak memiliki HP atau komputer tidak bisa mendaftarkan diri sekolah di sekolah negeri, atau menjadi PNS. Itu karena sistem di sekolah negeri maupun tes masuk PNS sudah menggunakan komputerisasi.

Karena itu, menurut Yudho, untuk mengatasi kesenjangan digital tersebut sangat bergantung pada komitmen para kepala daerah. “Para kepala daerah misalnya harus menyediakan ruang publik dengan WIFI yang bisa diakses secara luas,” ujarnya.

Selain itu, katanya, peran komunitas, dunia swasta juga sangat penting dalam menyedikan perangkat digital bagi masyarakat Indonesia. “ISKA, sebagai sebuah komunitas intelektual, yang memiliki anggota hampir di seluruh Indonesia, memiliki peran penting dalam menyediakan sekagus memberi literasi digital kepada masyarakat di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Tentu saja hal ini didukung oleh adanya ketersediaan dana dari pemerintah dalam melakukan literasi digital. “Literasi digital sudah menjadi keniscayaan, kita tidak bisa hidup tanpa teknologi,” ujarnya.

Diskusi daring tersebut dihadiri oleh Ketua Presidium ISKA, Hargo Mandirahardjo, para Ketua DPP ISKA, maupun anggota ISKA dari seluruh Indonesia. (Ryman)