Merdeka Finansial

oleh -
Ferlansius Pangalila adalah Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Indonesia, dan Wakil Sekretaris Jenderal PP ISKA.

Oleh: Ferlansius Pangalila*)

Jakarta, JENDELANASIONAL– Dirgahayu Republik Indonesia ke 77 Tahun, “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”. Merdeka!!!

Sebagaimana setiap Hari Ulang Tahun tentu punya doa dan harapan besar, maka menjadi doa dan harapan saya di hari raya kemerdekaan Indonesia ini adalah : “Rakyat Indonesia (termasuk saya) Merdeka secara Finansial”

Setidaknya saya memahami kemerdekaan ini adalah kemerdekaan dari penjajahan utang, terlepas dulu dari masalah utang yang seakan telah menjadi penjajah abadi dalam setiap fase kehidupan. Meskipun hal ini bagi saya masih sebatas harapan dan doa karena dalam kenyataan masih punya utang finansial yang tersebar dimana-mana (belum termasuk utang budi pada beberapa kawan).

Utang finansial dilain pihak sering menjadi pilihan terakhir ketika persoalan hidup diperhadapkan dengan situasi sulit yang setelah dihitung-hitung dapat terselesaikan setidaknya secara strategis dapat menyelesaikan sedikit soal hidup itu. Namun sering menjadi pilihan gampang dan tidak bijaksana jika semua persoalan hidup diselesaikan dengan berutang, yang ada penjajahan abadi terus terjadi, rong-rongan debt collector dan serangan moral rasa malu terus menghantui.

Kemerdekaan finansial memang tidak berarti bahwa kita tidak butuh uang lagi, justru yang saya setujui pada definisi dimana situasi saat uang telah bekerja untuk kita, dan kita “tidak lagi” bekerja untuk uang. Tentu saja mencapai situasi ini tidak segampang mendefinisikannya, apalagi saya sendiri dan banyak di antara kita masih bekerja untuk uang, setiap hari dipenuhi dengan kesibukan dalam bekerja demi bertahan hidup dan memenuhi target keuangan yang sebagian besar hanya untuk membayar cicilan dan membayar utang.

Tetapi doa dan harapan “Merdeka Finansial” tentu bukanlah hal yang tidak mungkin terealisasi dalam fase kehidupan kita. Ini bukan mimpi di siang bolong tetapi visi yang akan menjadi kenyataan jika kita tahu cara berjuang untuk bebas dari penjajahan utang ini. Setidaknya banyak hal yang bisa kita lakukan sembari kita masih bekerja demi uang untuk saat ini. Apa yang bisa kita lakukan dalam situasi penjajahan ini?

 

Mental Kaya

Kita, saya dan Anda dilahirkan dengan situasi dan kondisi yang berbeda-beda dan memang tidak adil, kita memulai kehidupan dengan modal yang tidak sama. Ada yang lahir sudah dalam kondisi keuangan orang tuanya boleh dikata berada bahkan sudah merdeka finansial, sementara saya dan barangkali kebanyakan kita dilahirkan dengan kondisi terbatas kalau tidak mau dikata di garis “kemiskinan material” atau di bawahnya. Sehingga tentunya mengawali bahkan sampai di fase kehidupan  ini saya masih terseok-seok dan masih hidup dalam penjajahan utang.

Ada fakta atau setidaknya merupakan kabar gembira bagi kita yang miskin dan bahkan miskin papa, “Berbahagialah kita yang masih miskin namun punya harapan” bahwa banyak juga orang yang di awal kehidupannya (miskin saat lahir) ternyata sekarang termasuk orang-orang yang kaya dan telah merdeka finansial. Banyak contoh yang bisa disebut disini (tapi tak perlu sebut nama dan merek, belum diijinkan oleh yang tersangkut). Mengapa mereka lahir miskin tapi sekarang hidup kaya, bahkan tidak sedikit di antara mereka meninggalkan warisan yang buaaanyak untuk anak dan cucunya?

Penasaran akan hal ini, saya mempelajari kehidupannya dan pelajaran pertama yang saya temukan (sebenarnya ditemukan oleh banyak orang juga) bahwa pertama-tama orang-orang ini punya mental kaya, meski di awal perjuangannya hidupnya penuh dengan penderitaan, miskin dan juga ada yang terjajah oleh utang. Mental kaya yang saya maksudkan adalah semangat perjuangan (boleh diartikan kerja cerdas) dan kebijaksanaan teristimewa kebijaksanaan finansial yang mumpuni dalam menjalani pekerjaan dan kehidupan mereka.

Kerja cerdas dipahami oleh mereka bukanlah kerja keras saja karena keahlian dan kecerdasan intelektual yang diperoleh dari pendidikan formal seperti kebanyakan di antara kita, tetapi kerja cerdas merupakan keahlian dan kecerdasan yang terakumulasi dari ketekunan/keuletan  (bahasa lain Disiplin) pada apa yang mereka kerjakan, karena orang-orang kaya ini memiliki keyakinan atau mimpi atau visi bahwa mereka akan menjadi orang-orang yang merdeka finansial. Maka secara spiritual mereka mendoakan apa yang mereka kerjakan, selalu bersyukur dengan apa yang mereka hasilkan dari pekerjaannya, dan bahkan menghidupinya (hasil kerjanya dikembangbiakan lewat penciptaan kerja dan karya-karya kehidupan lainnya). Uang yang diperolehnya digunakan secara bijaksana.

Mereka sangat bijaksana dalam bekerja demi uang dan memanfaatkan uang yang mereka dapatkan dari pekerjaan mereka secara bijaksana sehingga menghasilkan lebih banyak uang lagi. Dengan demikian lambat laun mereka menjadi kaya dan bebas dari penjajahan utang.

Mental kaya yang mereka miliki ternyata tidak tergantung pada kecerdasan intelektual/akademik/skolastika yang mereka peroleh dari bangku sekolah (bahkan tidak sedikit diantara mereka tidak lulus sekolah/sarjana).

Sekolah formal kita sibuk mengajarkan berbagai ilmu pengetahun yang kompleks, rumit, terlalu dalam dan melebar yang sering kali membosankan (setidaknya bagi saya), tapi lupa mengajarkan cara bagaimana merdeka finansial. Sekolah banyak menciptakan ahli hukum, ahli ekonomi, ahli matematika dan banyak sekali ahli-ahli lainnya tetapi dalam kenyataannya sebagian besar ahli ini hidup dalam penjajahan utang, sedikit saja yang termasuk orang-orang kaya yang merdeka finansial. Boleh jadi sekolah formal hanya menjadikan kita pintar dalam akademik tetapi tidak menjadikan kita pandai dalam kehidupan.

Menarik sekali, ternyata mental kaya ini adalah pelajaran kehidupan yang kita semua bahkan tahu tapi ternyata hanya sekedar tahu saja tanpa mengubah mental ini menjadi kebiasaan yang positif dalam setiap fase kehidupan kita sebagaimana maksud dan tujuan dari pelajaran kehidupan itu sendiri. Apa pelajaran kehidupan yang sederhana namun berdampak kaya dan merdeka finansial ini?

 

Hemat Pangkal Kaya, Rajin Pangkal Pandai

Saya yakin peribahasa ini kita tidak pernah lupa bagai doktrin yang diulang-ulang saat masih bersekolah dulu atau setidaknya pernah mendengarnya waktu sekolah dasar. Malahan ini sering menjadi bahan candaan “hemat pangkal pelit”, tetapi disisi tertentu ada benarnya bahwa “pelit” dalam arti lawan kata “boros” justru harus ditanamkan saat masih anak-anak dan bahwa selagi belum dijajah oleh utang atau setidaknya selagi masih ada uang atau gaji yang diperoleh sebagai hasil pekerjaan haruslah hidup hemat dalam arti jangan dihabiskan begitu saja untuk memenuhi “kebutuhan hidup” yang sering kali “kebutuhan” ditafsirkan dari kata-kata “keinginan” dan “godaan” hidup. Meskipun pemenuhan kebutuhan dasar hidup (minimal pangan, papan dan pakaian) menjadi prioritas, tetapi hemat harus menjadi kebiasaan hidup di fase awal kehidupan kita. Kita belum terlambat untuk berhemat setidaknya belum terlambat mengajarkan anak-anak kita untuk hidup hemat dalam arti yang sebenarnya.

Pelajaran dari peribahasa “Hemat Pangkal Kaya” justru tidak bermakna menjadi “pelit” terlebih untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Guru Bahasa Indonesia saya pernah mengajarkan bahwa “Hemat” artinya kita belajar menyisihkan sebagian atau beberapa persen dari pendapatan kita untuk disimpan atau ditabung. Hidup hemat sebenarnya mau mengajarkan kita untuk terbiasa dan akhirnya menjadi budaya menabung.

Tetapi apakah dengan menabung dapat membuat kita kaya dan merdeka finansial? Makanya peribahasa ini ada kelanjutannya yakni “Rajin Pangkal Kaya”. Rajin bolehlah kita maknai seperti kerja cerdas di atas, yakni soal keuletan dan ketekunan (disiplin) dalam bekerja, mendoakan apa yang dikerjakan dan menghidupinya. Rajin dalam arti ini akan mengakibatkan diri kita menjadi pandai atau bijaksana. Kebiasaan menabung dan kerja cerdas membawa kita pada satu titik dalam fase kehidupan kita memiliki uang yang cukup dan memiliki kebijaksanaan finansial sehingga kita menjadi pandai memanfaatkan uang tabungan kita untuk menghidupinya (berkembangbiak dalam kreasi pekerjaan dan karya kehidupan lainnya) sehingga boleh membawa kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan finansial.

Pandai dalam arti bijaksana dalam keuangan (boleh dikata Kecerdasan Finansial) tentu bertujuan untuk menjadikan kita bagian dari orang-orang kaya yang merdeka finansial, lantas pelajaran berikutnya adalah memanfaatkan tabungan atau uang yang disisihkan dalam budaya menabung tersebut secara bijaksana, yakni berinvestasi.

 

Investasi

Tak ada cara lain dalam mewujudkan mimpi merdeka finansial adalah “uang bekerja untuk kita” selain dengan cara berinvestasi. Atau setidaknya memang baru cara ini yang saya pelajari dari orang-orang kaya yang merdeka finansial itu. Menghemat dalam arti menabung saja tidak dapat membuat kita kaya, tetapi menginvestasikan uang yang kita sisihkan dalam tabungan adalah cara cerdas/bijak dalam meraih kemerdekaan finansial.

Banyak cara yang bisa dilakukan dalam berinvesatasi. Misalnya jika cukup uang tabungan sebagai modal bangunlah bisnis sendiri (seperti perusahaan sendiri) atau jika belum cukup buat perusahaan sendiri, investasikan tabungan kita ke berbagai bentuk investasi lain baik membeli saham perusahaan yang sudah ada, dan atau investasikan ke produk/komoditi yang bernilai seperti emas atau perak dan lain sebagainya. Deposito/reksadana ataupun surat berharga/obligasi juga bisa menjadi pilihan dalam berinvesatasi.

Tapi perlu pemahaman mendalam bahwa berinvestasi tidak sama dengan berjudi, Kecerdasan finansial menjadi syarat utama yang wajib kita miliki saat melakukan investasi dalam bentuk apapun. Lihat baik bentuk, legalitas dan logis jenis investasi yang akan dipilih untuk menaruh uang tabungan kita (ingat dimana hartamu berada, disitu hatimu juga). Sesuaikan dengan tingkat risiko yang dimiliki masing-masing. Mental saja tidak cukup tanpa kebijaksanaan yang mumpuni. Tetapi bijaksana saja tanpa mental yang berani hanya membuat kita ragu-ragu dalam memulai investasi. Oleh karena itu milikilah mental kaya dan milikilah kebijaksanaan finansial untuk berinvestasi, karena dengan demikian kita akan menjadi bagian dari kaum kaya yang merdeka finansial.

Selamat berjuang (untuk saya dan untuk kita) melawan penjajahan utang dan menuju gerbang kemerdekaan finansial.

Merdeka!!!

*) Ferlansius Pangalila adalah Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Indonesia, dan Wakil Sekretaris Jenderal PP ISKA.