Minimnya Pelayanan Publik di Kota Depok Terkait Kelemahan Visi dan Inisiatif Pemimpin

oleh -
Kota Depok yang tak ramah terhadap pejalan kaki. (Foto: Tempo.co)

Depok, JENDELANASIONAL.ID — Kepala Perwakilan Jakarta Raya Ombusdman RI Teguh Nugroho menyoroti pelayanan publik di Pemerintahan Kota Depok. Lembaga yang memiliki kewenangan  mengawasi pelayanan publik ini menerima banyak keluhan dan laporan dari masyarakat.

“Kita banyak menerima keluhan dari masyarakat Jumlah Laporan Masyarakat selama Tahun 2020 sebanyak 34 Laporan, yang terklasifikasi menjadi 3 kluster instansi dalam satu kewilayahan Kota Depok. Kita juga sudah menindaklanjutinya,” ujarnya seusai menjadi narasumber webinar Gerakan Depok Berubah Ngobrol Politik yang diselengarakan Projo Kota Depok dengan tema “Akankah Terus Menjadi ‘Pengemis’ Ketika Berhadapan Dengan Pelayanan Publik Di Depok”?

Teguh menyampaikan bahwa laporan dari masyarakat terkait ruang lingkup Pemerintah Kota Depok yang terbanyak diterima oleh Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial Kota Depok. Kemudian intansi vertikal seperti Kepolisan, BPN dan kewenganan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait soal SMA dan MAN.

Dia menambahkan, dalam bidang pendidikan Ombusdman sudah merekomendasikan tindak lanjut seperti permasalahan PPDB sudah disampaikan ke Disdik.

Menurutnya, sebagai antisipasi jangka pendeknya dengan memberikan biaya pendidikan. Sedangkan, untuk jangka panjangnya bisa dengan membangun gedung sekolah baru yang saat ini masih kurang.

Dia mengatakan, untuk pendirian sekolah misalnya, bisa berkoordinasi dengan Propinsi atau Pusat.  Misalnya untuk SMA dan SMK yang kewenangannya di Jawa Barat, untuk Pemkot Depok bisa menyediakan lahannya. “Jarang inisiatif dari Pemkot atau Pemda  untuk pencatatan aset fasos dan fasum. Kita dorong pencatatan aset fasos fasum, agar untuk  jangka panjang bisa didirikan untuk gedung SMA. Sama juga di bidang kesehatan. Bayangkan saja dari  1,4 juta pengguna BPS hanya 3500 tempat tidur di RS Depok. Tiap minggu dapat laporan warga tidak bisa masuk kamar. Kalau ditindaklanjuti khawatir terjadi diskriminasi,” terangnya.

Ketua DKR Kota Depok Roy Pangharapan menyesalkan kepemimpinan Kota Depok selama 15 tahun yang hanya ada satu RSUD Depok. Sementara, untuk Puskesmas hanya dua yang memiliki fasilitas rawat inap.

Dirinya berharap agar Puskesmas naik status menjadi RS kelas D dan Puskesmas rawat inap diperbanyak. “Apalagi kondisi seperti ini banyak yang terdampak Covid-19. Banyak masyarakat yang tidak bisa bayar iuran BPJS Kesehatan. Nah, berobat gratis cukup dengan KTP adalah solusi terbaik disaat ini. Belum lagi dalam pendidikan, Depok hanya punya 14 sekolah Negeri. Membangun gedung baru sekolah Negeri adalah suatu keharusan,” paparnya.

 

Harus Menjadi Kota Inklusif

Anis Hidayah aktivis perempuan yang kebetulan tinggal di Depok, menyampaikan seharusnya Kota Depok dalam pelayanan publik harus inklusif, accessible, non diskrimatif, ramah, dan berperspektif HAM seperti memperhatikan kaum difabel, ramah anak, ibu hamil dsb.

Misalnya kita amati di Jalan Margonda di jembatan penyeberangan, kanan kirinya ada pagar tetapi lubangnya besar semua. Hal tersebut, katanya, sangat berbahaya untuk anak anak.

“Dari sisi layanan publik yang paling sederhana saja Pemkot Depok tidak bisa menterjemahkan layanan publik yang ramah seperti apa. Padahal layanan publik itu menyangkut seluruh hajat hidup orang banyak,” ujar Anis.

Terkait penanganan Covid 19 Pemkot Depok dinilai sangat tidak proper dalam layanan publik. “Bagaimana mengedepankan prioritas dari kepentingan warga, jangan terjebak dalam angka-angka. Harusnya mendidik soal bagaimana masyarakat menghadapai Covid 19. Hal yang sederhana di pelayanan Covid 19 ini saja Walikota tidak pernah mengunjungi tempat saya, padahal covid 19 pertama di kompleks saya,” ujar Anis.

Sementara narasumber lain mengungkap problem kemacetan menahun, kurangnya sarana dan prasarana di bidang pendidikan, dan minimnya prasarana dan pelayanan kesehatan di Kota Depok.

Drs. H. Sariyo Sabani, MM, mantan birokrat di Kota Depok mengungkap fakta kemacetan di Sawangan, Citayam, dan beberapa tempat lain yang sampai kini dibiarkan saja. “Menurut saya ini soal kelemahan visi dan inisiatif  pemimpin,” ujar Sariyo.

Sariyo mencontohkan soal pelebaran jalan di Sawangan. Seperti diketahui dengan alasan lebih membutuhkan ruas jalan baru, pada Maret 2016, Walikota Depok Mohammad Idris malah menolak pelebaran Jalan Raya Sawangan sepanjang 7 km. Padahal menurut Sariyo, waktu itu atas pengajuan walikota sebelumnya kepada Pemda Jawa Barat, disetujui bantuan Pemda Jabar. “Lha kalau dirasa kurang, mengapa tidak dibangun bertahap?” ujar Sariyo

Dalam penutup diskusi webinar tersebut Aan Rusdianto Ketua Projo Depok, menegaskan belum terlihat langkah terobosan dan inovatif dari Pemkot  dalam menjawab keruwetan dan keluh kesah masyarakatnya. “Aalih alih meningkatkan layanan publik malah disodori solusi yang konyol seperti mendengarkan lagu di lampu merah, sebagai jawaban masalah di Depok. Depok butuh perubahan butuh pemimin yang bisa membawa perubahan yang lebhh baik,” pungkasnya. (Ryman)