Misi Perdamaian Jokowi, Lompatan untuk Tampil di Gelanggang Internasional

oleh -
Presiden Joko Widodo dan Presiden Volodymyr Zelensky. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Paris, JENDELANASIONAL.ID – Perang di zaman super modern seperti sekarang ini sangat tidak populer dan sangat membahayakan seluruh umat manusia di bumi.  Perang jelas merupakan sebuah kebodohan kolektif karena jika seluruh persenjataan sangat super modern dikeluarkan atas dasar emosi marah para pemimpinnya, maka bukan hanya negara yang berperang tetapi seluruh isi bumi terancam dan bahkan hancur karena kecanggihan super dari  peralatan perang pada zaman ini.

Bom nuklir lebih setengah abad yang lalu, pada tahun 1945 sudah mampu membumihanguskan dua kota di Jepang, apalagi teknologi persenjataan modern sekarang, pasti lebih dahsyat daya hancurnya dibandingkan tujuh dekade yang lalu.

Karena itu, pemimpin negara besar yang jengah harus berpikir lebih jauh akibat perang seperti sekarang ini. Sebaliknya, harus ada lebih banyak hadir pemimpin yang menjalankan misi perdamaian dibandingkan dengan unjuk kegagahan dan kepongahan untuk mengobarkan perang seperti masa Perang Dunia Pertama dan Kedua.

“Dari sisi pandangan seperti ini, maka misi perdamaian Jokowi ke Ukraina dan Rusia merupakan secercah harapan dan langkah awal agar bumi lebih damai dan jauh dari perang. Upaya perdamaian ini patut diacungi jempol dan tidak boleh berhenti melainkan nanti dilanjutkan oleh menteri di bawahnya,” ujar Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini, MSc., PhD. Melalui siaran pers dari Paris, Rabu (29/6).

Prof Didik mengatakan, akhirnya, setelah hampir 8 tahun Presiden Jokowi enggan datang ke forum-forum internasional, sekarang saatnya yang tepat untuk memerankan politik bebas aktif, seperti diamanatkan oleh UUD 1945.

Dia mengatakan, citra dan kesan bahwa Presiden Jokowi “inward looking” karena sering tidak hadir dalam pertemuan-pertemuan internasional, saat ini mulai pupus. “Namun sekali berperan dalam misi perdamaian ini, maka sekarang sudah memainkan peran yang strategis bagi dunia.  Peranan ini juga sangat penting bagi Indonesia karena ini merupakan amanat UUD 1945,” ungkapnya.

Karena itu, hal ini, katanya, merupakan permulaan yang sangat baik. Cukup mengejutkan bahwa Presiden Jokowi mengambil keputusan tersebut. Tentu dengan risiko bahaya yang tidak kecil, apalagi bersama Ibu Negara.

 

Misi Perdamaian Perlu Dilanjutkan

Prof Didik mengatakan, setelah bertemu Presiden Putin, misi perdamaian ini perlu dilanjutkan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan kunjungan ke negara-negara besar di dalam G-20, utamanya Cina, yang sekarang tetap menahan diri.

“Jokowi juga perlu hadir berpidato di forum PBB untuk menyuarakan perdamaian dunia. Para menterinya perlu mempersiapkan panggung jika momentum kunjungan ini mendapat sambutan yang baik dari kedua belah pihak,” ujarnya.

Diplomasi ke pihak NATO juga perlu dilanjutkan secara lebih mendalam oleh para menterinya karena NATO merupakan akar dan sumber masalah konflik sekarang dan mendatang. Memang aneh di masa damai dimana ekonomi merupakan prioritas utama seluruh dunia, NATO justru unjuk kekuatan dan  menggerek misi mendominasi dunia.

Yang begitu naif, katanya, konflik mengerikan ini terjadi di dalam negara anggota G-20 sendiri dimana keseluruhan anggota sering bertemu. Ada keseimbangan yang tidak dijaga dimana organisasi lainnya seperti NATO terus melebarkan sayap di masa damai, yang justru dianggap ancamann bagi Putin.

“Ini akar masalah sehingga untuk mendamaikan tidak berada dalam posisi menyalahkan satu pihak, dengan argumen apa pun, tetapi kemudian memberi pembenaran pada yang lain.  Kesalahan mengambil posisi di dalam PBB bisa dihapus dengan peran strategis yang sedang dilakukan Jokowi sekarang,” ujar Prof Didik.

Selanjutnya, kata Prof Didik, posisi presidensi Indonesia di dalam organisasi G-20 sangat strategis dan menguntungkan bagi Jokowi dan Indonesia untuk berperan. Kelembagaan G-20 sangat penting dan mungkin lebih penting dari PBB yang isinya negara gangster dengan watak untuk menguasai, mendominasi dan bahkan jika bisa meniadakan eksistensi negara tertentu. PBB sulit diharapkan berperan untuk mendamaikan perang Rusia Ukraina karena posisinya sudah berpihak.

Namun, katanya, misi perdamaian ini tidak mesti dijalankan Indonesia seorang diri. “Kita perlu mengajak negara besar bersikap seperti Indonesia, politik bebas aktif, yang oleh banyak kalangan ahli tidak harus bersikap netral. Tetapi untuk kasus perang Rusia-Ukraina (NATO) ini, Indonesia harus memosisikan diri netral dan mengajak sebanyak mungkin negara lain untuk anti perang karena perang adalah ketotolan dan jalan setan menuju kehancuran bumi dan umat manusianya,” katanya.

Prof Didik mengatakan, Indonesia layak tampil sebagai negara yang berpengaruh di dunia untuk menjalankan misi perdamaian ini. Sejarah peranan Indonesia di dalam diplomasi dan perdamaian sudah dikenal dunia dimana Bung Karno adalah tokoh dunia yang sangat dikenal karena berdiri di tengah konflik ideologi dunia Barat dan Timur yang mengerikan. Jaman Soeharto juga banyak tampil diplomat-diplomat hebat yang mampu berperan mendamaikan konflik ideologi di Asia Tenggara dan Timur Tengah.

“Peranan Jokowi dalam hal ini sangat dihargai karena merupakan lompatan untuk Indonesia tampil kembali di gelanggang internasional, yang riskan konflik. Selamat berjuang Mr President!,” pungkasnya. ***