MUI Sepakat dengan BNPT Terkait Ciri-Ciri Penceramah Radikal  

oleh -
Ketua Badan Penanggulangan Ektremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET-MUI), Muhammad Syauqillah, Ph.D. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Kemelut penceramah radikal terus bergulir hingga saat ini. Ciri dan strategi penceramah radikal yang dilontarkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) secara tegas dan jelas beberapa waktu lalu masih saja dipelintir beberapa pihak hingga menciptakan kebingungan di tengah masyarakat.

Padahal, jika ruang dan mimbar agama dipenuhi kelompok ini, bukan tidak mungkin kekacauan, kekerasan dan teror menjadi hal lumrah dengan justifikasi dalil keagamaan.

Ketua Badan Penanggulangan Ektremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET-MUI), Muhammad Syauqillah, Ph.D turut mengemukakan pendapatnya terkait isu yang terus bergulir tersebut.

Menurutnya hal itu bukanlah masalah yang perlu diperdebatkan. Karena dirinya menilai apa yang dilakukan BNPT telah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai badan yang menanggulangi terorisme.

“Apa yang disampaikan BNPT itu sudah sesuai dengan koridornya, ciri-ciri penceramah itu saya sepakat dan faktanya memang demikian,” ujar Muhammad Syauqillah, Ph.D, di Jakarta, Jumat (11/3/2022).

Ia melanjutkan, sejatinya poin-poin yang dikemukakan BNPT terkait lima (5) ciri atau indikator penceramah radikal dalam konteks kajian radikalisme terorisme memang fakta dan datanya demikian.

Syauqillah menilai, jika melihat dari 5 poin yang ditemukakan BNPT, intinya adalah bahwa apapun yang menyalahi konsensus nasional kita yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI  adalah radikal.

“Jadi apapun yang namanya separatis, khilafah, dan lain-lain kalau menyalahi konsensus Indonesia sebagai darul ahdi wa syahadah (negara berdasarkan kesepakatan), maka itu radikal,” jelasnya seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Dalam kesempatan yang sama, dirinya juga mengkritisi pihak-pihak yang masih mempermasalahkan dan tidak puas terhadap penyataan BNPT tersebut adalah sebagai pihak yang tidak memahami kontekstualisasi kronologis mencuatnya isu penceramah radikal.

“Karena kalau kita kembali ke kronologisnya, itu kan forum internal TNI-POLRI. Wajar saja Presiden memberikan instruksi kepada lembaga di bawahnya. Pihak yang merasa kurang puas, mungkin tidak memahami kontekstualisasi kronologinya seperti apa,” ungkap pria yang juga Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global, UI itu.

Sehingga ia kembali menegaskan, perlunya untuk memahami konteks radikal sebagai segala sesuatu yang menyalahi konstitusi yaitu di antaranya anti terhadap Pancasila, anti terhadap NKRI, anti terhadap Keberagaman, dan anti terhadap UUD 1945.

“Secara konsensus nasional kita sudah menyepakati Pancasila, jika ada yang lain yang mempromosikan di luar kesepakatan dari konsesnsus nasional kita, itu radikal, di situ aja,” tegasnya.

Ketua BPET MUI periode 2021-2025 ini juga menanggapi respon salah satu pengurus MUI yang menyebut kalau ciri penceramah radikal yang dilontarkan BNPT adalah sebuah ‘blunder’ semata, menurutnya pernyataan tersebut tidak bisa dianggap mewakili Lembaga MUI secara keseluruhan.

“Saya kurang paham apakah pernyataan itu melekat personal atau tidak. Karena kalau pernyataan sikap dari MUI seharusnya sudah melalui diskusi internal,” jelasnya.

Kepala Program Studi Kajian Terorisme, Universitas Indonesia ini menuturkan, polemik penceramah radikal yang telah menginfiltrasi ke berbagai lapisan sosial masyarakat seharusnya menggugah kesadaran akan pentingnya upaya bersama demi mensterilkan ruang mimbar agama dari penceramah radikal.

“Perlu keterlibatan semua pihak untuk bahu-membahu, tidak hanya pemerintah saja. Namun aktor-aktor di luar pemerintahan juga perlu aware soal isu ini,” imbuhnya.

Pria yang meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) dari Marmara University ini melanjutkan, semua pihak harus ikut serta untuk tidak memberikan peluang bagi kelompok yang kemudian menyalahi konsensus nasional dan mempolitisasi agama untuk kepentingan agama.

“Di BPET MUI sendiri kami membuat perbaruan fatwa yang berisi masukan dan justifikasi keharaman menyalahi konsensus nasional. Ini yang sedang kami dorong menyelesaikan problem dari hulu ke hilir,” tuturnya.

Draft perbaruan fatwa tersebut, menurutnya pertama, sebagai panduan bagi masyarakat bagaimana hukum Islam mengatur tentang hal-hal yang terkait dengan ekstremisme radikalisme dan terorisme.

Kedua, mendorong dialog di MUI level kecamatan dan kabupaten sebagai bagian yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

“Kita coba dorong dialog di situ, setidaknya kita bisa memberikan semacam keterangan atau pencerahan atau informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam konteks terorisme ini seperti apa,” pungkasnya. ***