Mundur dari Kursi Wapres, Cara Hatta Beri Kesempatan Soekarno Jalankan Tesis Politiknya

oleh -
Rangkaian Talk Show “Pekan Bung Hatta” merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Badan Kebudayaan Nasional Pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Rangkaian Talk Show “Pekan Bung Hatta” merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Badan Kebudayaan Nasional Pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan dalam mengenalkan sepak terjang, kisah dan inspirasi Bung Hatta kepada masyarakat luas.

Selama sepekan, dari 9-14 Agustus 2021, Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan menayangkan video-video talk show membahas Bung Hatta dalam berbagai perspektif, ditayangkan di Channel Youtube BKNP PDI Perjuangan setiap pukul 16.30 WIB.

Pada episode ketiga Rabu, 11 Agustus 2021, BKNP PDI Perjuangan  mengangkat tema “Soekarno-Hatta Dwitunggal”, secara khusus  menggali makna dan penafsiran tentang makna diwtunggal yang disematkan kepada Soekarno-Hatta. Dua narasumber tampil dalam tema ini yakni wartawan senior Kompas Trias Kuncahyono, dan mantan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar. Talk show dipandu oleh Ibnu Beno, seorang aktivis kebangsaan dan kader PDI Perjuangan.

Dalam penyampaian pertamanya, Trias Kuncahyono mengatakan bahwa perjumpaan antara Soekarno dan Hatta merupakan perjumpaan yang telah ditakdirkan oleh alam dan telah menjadi suratan sejarah. Itulah yang menjadi simbol dasar pemaknaan dwitunggal Soekarno-Hatta.

“Saya  ibaratkan keduanya itu bagaikan dua sisi dari sekeping mata uang. Dua sisi mata uang pasti berbeda satu sama lainnya, namun dwitunggal dalam kepingan yang sama,” kata Trias beranologi.

Mengutip intelektual hukum Djokosoetono, Trias mengatakan bahwa ada dua faktor yang mempersatukan sebuah bangsa. Pertama, hal semisal bendera merah putih dan ideologi negara. Kedua adalah integritas personal para pemimpinnya.

“Keduanya dipersatukan oleh sejarah, dipertahankan oleh alam dan kemudian menjadi pemersatu bangsa. Satu orang merupakan orator ulung dan  penyemangat, satu lagi adalah seorang administrator dan diplomat andal,” lanjut Trias.

Dalam contoh lain, Trias menambahkan  pengejawantahan dari dwitunggal Soekarno-Hatta saat detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia. Saat itu, bisa saja Soekarno membacakan teks proklamasi sendirian tanpa Hatta. Namun, Soekarno menunggu sahabatnya itu untuk kemudian membacakan proklamasi yang menjadi tonggak kemerdekaan Indonesia.

“Bersatunya dua tokoh itu menjadi kekuatan besar untuk mempersatukan bangsa kala itu. Simbol  itu  yang ingin disampaikan Soekarno-Hatta. Mengapa Soekarno sampai menunggu Hatta untuk bersama hadir dalam membacakan proklamasi,” ungkap Trias.

Meskipun kemudian Bung Hatta mundur sebagai wakil presiden karena perselisihannya yang sudah memuncak dengan Soekarno, dwitunggal antara Soekarno-Hatta masih tetap utuh. Kita pun dapat menilai relasi ini dalam sudut pandang yang positif.

“Meskipun sudah tidak menjadi wakil presiden kala itu, Bung Hatta terus memberikan masukan dan kritikan kepada Soekarno yang dibuktikan dalam surat-surat yang ditulis oleh Hatta. Ini isyarat bahwa dwitunggal ini masih terus berlangsung dan bukan menjadi ‘dwitanggal’,” ungkap Trias.

Sementara itu, dalam memaknai dwitunggal Soekarno-Hatta, Arcandra menilai bahwa sosok Hatta bagi Soekarno ataupun sebaliknya layaknya persilangan dua kayu dalam sebuah tungku api. Meskipun seringkali kita melihat persilangan pendapat antara Soekarno-Hatta, namun justru perbedaan itulah yang menguatkan nilai-nilai yang mereka perjuangkan.

“Seperti falsafah Minangkabau, bersilang kayu di tungku barulah api hidup. Sebab ketika kayu bersilang, ada oksigen yang masuk dan dapat menciptakan kobaran api,” urai Arcandra.

Kritik Hatta terhadap Soekarno dinilainya membuat argumentasi kebangsaan yang dimiliki Soekarno menjadi teruji.

“Soekarno membutuhkan tantangan-tantangan yang justru ia dapatkan dari kritikan Hatta. Meskipun sebagai manusia, Soekarno kadang marah dengan kritikan Hatta, namun akhirnya dia butuh itu untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik,” lanjut pria asal Minang ini.

Dalam banyak keputusan, Hatta memang banyak berselisih dengan Soekarno. Namun Hatta memiliki cara yang santun dan fair dalam memberikan masukan kepada Soekarno. Kedunya telah melampaui kepentingan dirinya sendiri dan politik kelompok. Di hadapan Bung Karno dan Bung Hatta kepentingan politik itu sudah terendapkan, sehingga tidak ada lagi intrik politik antar keduanya.

“Makna dwitunggal ini, menurut hemat saya juga saling percaya satu sama lain dalam berbagai momen pengambilan kebijakan, seperti momen proklamasi tersebut,” tambah Arcandra.

Banyak hal yang sebenarnya berbenturan antara Soekarno dan Hatta yang terjadi pada beberapa momen.

“Namun, cara mereka berdua saling menciptakan sintesa-antitesa dan bukan hanya sintesa saja telah memperkuat pemahaman terhadap sebuh keputusan,” kata doktor lulusan Texas A&M University ini.

Sementara itu, Arcandra menekankan bahwa kita dapat menilai mundurnya Hatta dari kursi wapres saat itu sebagai cara Hatta  memberikan kesempatan kepada sahabatnya untuk menjalankan tesis politiknya.

“Kita tidak bisa membayangkan jika gagasan kebangsaan keduanya saling berhadapan,” pungkas Arcandra. (*)