Natal Nasional, GAMKI Sesalkan Ambiguitas Pemerintah dalam Hal Toleransi

oleh -
Ketua GAMKI Jawa Barat, Theo Cosner.(Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Pemerintah akan menyelenggarakan Natal Nasional dengan mengusung tema Persahabatan dalam Kerukunan Nasional yang dilaksanakan di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Jumat (27/12).

Juliari Batubara selaku Ketua Panitia Natal mengkonfirmasi bahwa Perayaan Natal akan dihadiri oleh Presiden Jokowi, sejumlah Menteri, petinggi dan pejabat negara, serta tokoh-tokoh nasional lainnya. Pada Natal Nasional ini diperkirakan akan hadir umat Kristen sebanyak 10 ribu orang.

Ketua GAMKI Jawa Barat, Theo Cosner mengatakan, sangat menyesalkan sikap pemerintah yang dinilainya masih ambigu, yaitu di satu pihak menjunjung tinggi toleransi dan keberagaman, namun di sisi lain masih membiarkan adanya tindakan-tindakan diskriminatif pemerintah daerah, serta ormas/oknum intoleran. Pernyataan ini disampaikan Theo melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (20/12).

“Jangan-jangan Presiden tidak mendapat informasi yang seutuhnya, bahwa masih ada persoalan diskriminatif yang terjadi di berbagai daerah seperti pelarangan perayaan ibadah Natal, pelarangan pembangunan rumah ibadah, ataupun persekusi terhadap tokoh agama. Presiden akan menghadiri Natal Nasional, tapi bagaimana dengan umat Kristen di tempat lainnya yang dilarang melaksanakan ibadah Natal,” ujarnya.

Merujuk pada riset Setara Institute, mengungkapkan ada 629 jumlah pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat selama 12 tahun terakhir, dan lebih dirinci lagi oleh Setara Institute selama lima tahun terakhir, yakni 2014-2019, total pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat sebanyak 162 pelanggaran.

Theo mengingatkan, beberapa bulan lalu setelah terpilih untuk kedua kalinya, Presiden telah menyampaikan bahwa salah satu prioritas beliau adalah menyelesaikan persoalan intoleransi.

“Kami yakin dengan komitmen beliau untuk memberantas persoalan intoleransi dan diskriminasi. Namun, apakah bawahan dan pembantu Presiden, antara lain Menteri dan jajaran di bawahnya, aparat kepolisian, serta pemerintah daerah juga memiliki komitmen yang sama?,” tanya Theo.

Theo mengatakan, kita harus berani dan jujur mengatakan bahwa hari ini peningkatan kasus intoleransi semakin marak terjadi. Padahal bagi setiap warga negara, yang paling penting adalah bisa beribadah ataupun merayakan hari besar keagamaan di rumah ibadah masing-masing, dengan aman tanpa kuatir akan diganggu dan ditolak oleh pihak manapun.

“Jika pemerintah tetap melaksanakan Natal Nasional, sebagai simbol dan bentuk perhatian secara seremonial bahwa Negara menjunjung tinggi kemajemukan agama di Indonesia, kami mengharapkan pemerintah bisa juga memberikan perhatian secara substansial yakni menyelesaikan terlebih dulu masalah penolakan pembangunan rumah ibadah, ataupun pelarangan ibadah Natal yang ada di berbagai daerah. Hal itu yang lebih utama dan penting ketimbang melaksanakan perayaan seremonial, karena berkaitan dengan hak asasi setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing,” ujarnya.

Menurutnya, salah satu letak persoalan adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006. Jadi bolanya itu ada di Pemerintah Pusat, yakni Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Karena itu, dia meminta untuk segera melakukan evaluasi Peraturan Bersama ini dan melibatkan lembaga-lembaga keagamaan yang ada.

Pemerintah pusat, katanya, jangan malah melempar bola ke pemerintah daerah. Sudah lima tahun pemerintahan Pak Jokowi karena itu, inilah momentumnya dan jangan dibiarkan atau ditunda-tunda lagi.

Theo mengatakan, dirinya mengucapkan terimakasih kepada sebagian besar pemerintah daerah dan masyarakat Indonesia yang berkomitmen menjaga dan merawat keberagaman Indonesia di dalam bingkai Pancasila. Sayangnya tindakan-tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh sebagian kecil pemerintah daerah ataupun kelompok masyarakat intoleran menjadi bau amis yang menutupi harumnya hubungan toleransi yang dibangun selama ini di berbagai daerah. Sebagai contoh apa yang sedang terjadi di dua kabupaten di Sumatera Barat, pastinya tidak merepresentasikan masyarakat Sumatera Barat.

Perayaan Natal Nasional, katanya, seharusnya dapat menjadi simbol positif bahwa kita bisa hidup berdampingan antar sesama umat beragama. Namun sebaliknya, ini juga dapat menjadi cerita yang negatif, jika ternyata di waktu bersamaan dengan Perayaan Natal Nasional yang meriah, masih ada ribuan warga negara Indonesia yang tidak dapat melaksanakan ibadah Natal di Gereja mereka karena dilarang oleh pemda ataupun ormas intoleran, seperti yang dialami oleh jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang selama beberapa tahun ini melaksanakan ibadah Natal di pinggir jalan di depan Istana Negara.

Jangan sampai mereka kemudian memutuskan untuk melaksanakan Ibadah Natal pada tahun ini di pinggir jalan di seberang gedung Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat. Jika Presiden mengetahui masalah ini, Presiden dapat menindak tegas pemda, ormas, ataupun oknum-oknum yang melakukan kebijakan dan tindakan diskriminatif.

Presiden, kata Theo, bisa saja meminta Pemda-Pemda tersebut untuk memberikan izin terhadap setiap warga negara yang ingin merayakan hari besar keagamaan mereka. Jika tidak dilakukan, bisa saja diberikan sanksi seperti pengurangan Dana Alokasi Umum (DAU) ataupun program-program pemerintah lainnya. “Pastinya sikap Presiden itu konstitusional dan menunjukkan pendirian Presiden yang tidak permisif terhadap tindakan pemda-pemda yang diskriminatif,” pungkasnya. (Ryman)