Negara Tidak Boleh Kalah Terhadap Vigilantisme atas Tempat Ibadah

oleh -
Tempat ibadah yang dirusak. (Foto: Kumparan.com)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Insiden pelanggaran atas kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) kembali marak di awal tahun 2020. Yang terbaru, sekelompok masyarakat yang berasal dari Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara melakukan aksi perusakan Mushola Al-Hidayah Perum Agape di desa yang sama.

Sekitar 50 orang yang menamakan diri Ormas Waraney melakukan perusakan terhadap Mushola tersebut. Sebelumnya, tindakan vigilantisme atau main hakim sendiri, bahkan dengan kekekerasan, menimpa beberapa gereja.

“SETARA Institute mengutuk tindakan main hakim sendiri dan kekerasan terhadap rumah ibadah. Tindakan demikian tidak dapat dibenarkan dan nyata-nyata melanggar KBB yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,” ujar Halili, Direktur Riset SETARA Institute dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu (1/2),

Halili mengatakan, SETARA Institute menilai bahwa praktik vigilantisme oleh sekelompok masyarakat nyata-nyata menggerogoti demokrasi di Indonesia yang seharusnya dikuatkan dengan elemen rule of law. Kekerasan yang digunakan sebagai instrumen dalam konflik dan ketegangan sosial-keagamaan nyata-nyata menggerus proses demokrasi yang sejatinya terbuka terhadap kontestasi aspirasi apapun, namun mensyaratkan pendekatan dan tindakan non-kekerasan.

Karena itu, Selma Theofany, Peneliti SETARA Institute mendesak pemerintahan Joko Widodo untuk melaksanakan mandat konstitusional Pasal 28E Ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945 dengan mengambil tindakan optimal untuk melindungi kelompok minoritas.

Beberapa kasus terkini, kata Selma, menunjukkan bahwa kelompok intoleran, atas nama mayoritas di daerah setempat, merasa memiliki kuasa untuk melakukan tindakan main hakim sendiri atas minoritas. Dengan kepercayaan diri sebagai mayoritas mereka secara terbuka melampaui proses serta penegak hukum. Dalam situasi demikian, negara harus menegaskan inklusi terhadap seluruh kelompok warga. Negara tidak boleh kalah terhadap kelompok vigilante yang kerap menyangkal hak-hak konstitusional kelompok minoritas.

SETARA Institute mendorong pemerintah daerah dan aparat kepolisian untuk menjalankan fungsi perlindungan dan pengamanan berkelanjutan dengan pendekatan non-favoritisme (tidak mengistimewakan mayoritas atas minoritas), non-koersif, dan nir-kekerasan.

“Mereka mesti bertindak sebagai penghubung dialog antar pemangku kepentingan secara setara dan partisipatif yang menghasilkan keputusan berimbang dan resolutif secara berkelanjutan,” pungkasnya. (Ryman)