Nilai Toleransi Harus Ditanamkan Sejak Kecil Secara Sistematis

oleh -
Psikolog Anak dan Keluarga, Maharani Ardi Putri, MSi. Psi. (Foto: Pusat Media Damai BNPT)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Proses radikalisasi di usia dini harus sengaja dilakukan karena anak memiliki daya reseptif yang kuat dalam menerima berbagai hal baru. Begitu pula anak merupakan simpul penerus generasi yang menjadi sasaran empuk kelompok radikal dalam melakukan kaderisasi.

Karena itu, melindungi anak dari virus intoleransi, radikalisme dan terorisme sejatinya adalah bagian dari menyelamatkan masa depan bangsa dan negara ini.

Hal itu disampaikan oleh Psikolog Anak dan Keluarga, Maharani Ardi Putri,  MSi. Psi. Menurutnya metode pencegahan yang sistematis dapat melibatkan semua pihak baik orang tua, guru maupun pemerintah dan Kementerian/Lembaga. Karena hal tersebut merupakan cara yang efektif guna melindungi anak dari virus intoleransi, radikalisme dan terorisme.

“Jadi sebenarnya nilai toleransi dan sebagainya itu harus ditanamkan dari kecil, secara sistematis. Tidak hanya dalam bentuk mata pelajaran saja, tapi kita harus ajari dari segi behavior-nya dan perasaannya. Jadi pembelajaran kita tentang nasionalisme, toleransi, kerukunan harus disusun secara sistematis berjenjang dari TK sampai kuliah,” ujar Maharani Ardi Putri,  MSi. Psi.  di Jakarta, Minggu (24/7/2022).

Dirinya mengatakan bahwa pendekatan sistematis diperlukan agar menghasilkan keberlanjutan. Tidak bisa hanya orang tua, namun juga sekolah. Sehingga menurutnya, akan lebih efektif jika penanaman nilai tersebut dilakukan secara kolaboratif oleh semua pihak.

“Sehingga yang paling baik adalah semua pihak berkolaborasi, sehingga akhirnya anak-anak sepanjang waktu mereka berinteraksi dengan dunia sosial, mereka sudah terbiasa mendapat nilai (toleransi, kerukunan, dsb) seperti itu,” kata wanita yang akrab disapa Putri Langka ini.

Pasalnya, wanita yang juga berprofesi sebagai Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Pancasila ini menilai, semangat radikalisme dan fanatisme paling efektif jika dibangun sedari dini mulai masa kanak-kanak, agar nilai-nilai dan ajaran yang ditanamkan akan terus terbawa oleh anak hingga dewasa.

“Memang paling efektif dibangun dari kecil, karena segala sesuatu yang stay dengan kita dari kecil akan terus terbawa sama kita dan akan sangat mudah menanamkan nilai ke anak kecil karena mereka belum tahu yang lain-lain, apalagi kalau misalnya lingkungan sosialnya ditutup, jadi kan mereka ga bisa belajar dari yang lain,” jelas Putri.

Sehingga, seluruh pihak menurutnya harus sadar bahwa kita semua harus berkompetisi dengan kondisi atau fakta tersebut. Bahkan, ia juga menilai bahwa orang tua juga harus mendapatkan sosialisasi tentang penanaman nilai-nilai toleransi, kerukunan dan keberagaman serta program yang menyadarkan kembali orang tua agar dapat kembali ke akarnya, Indonesia.

“Orang tua punya peranan besar untuk mengajarkan hal itu dari kecil. Hanya saja tidak semua orang tua punya pemahaman dan pengetahuan yang sama tentang itu, bahkan kadang yang dewasa juga sudah terpapar lebih dahulu. Jadi sebetulnya mungkin orang tua juga perlu mendapatkan sosialisasi,” ujar wanita yang juga menjabat sebagai Kepala Biro Humas dan Ventura Universitas Pancasila ini.

 

Waspadai Pengkotak-kotakan

Putri mengatakan bahwa pola dan bibit radikalisasi sudah dapat dilihat sejak dini, terlebih ketika anak tidak diajarkan toleransi dengan orang lain, maka itu sudah dimulai ketika ada pengkotak-kotakan antara pihak “mereka” dan “kami”.  Kondisi yang seperti ini menurutnya, hanya akan membawa kepada pertumbuhan pengkotak-kotakan yang lebih luas lagi.

“Karena akan muncul pemikiran bahwa harus ada pihak yang salah, dan pihak yang kalah. Itu saja bisa menimbulkan radikalisme, apalagi dengan kemunculan oknum yang mengakatakan ajaran agama yang ini paling benar dan yang lain adalah salah,” ucap wanita kelahiran Surabaya, 14 April 1980 ini.

Untuk itu, Putri berharap agar para pemuka agama, khususnya, dan penceramah agar lebih bijaksana menyampaikan sesuatu yang terkait dengan agama. Hal ini karena masyarakat memiliki tingkat pemahaman keagamaan yang berbeda yang dikahwatirkan justru menimbulkan banyak persepsi atau pemahaman keliru akan agama.

“Mungkin para penceramah atau pemuka agama harus juga bijaksana dalam berbicara, jika mungkin berbicara kepada orang yang sudah paham minimal dasar ajaran agamanya dan ingin mengatakan sesuatu yang agak keras di dalam agamanya itu tidak masalah, tapi jika berbicara di public dengan kondisi pemahaman orang yang beragam sebaiknya tidak menggunakan bahasa yang provokatif,” jelas peraih gelar Pasca Sarjana dari Universitas Indonesia ini.

Terakhir, dia juga menyampaikan pesan kepada orang tua agar mawas diri terhadap dunia dan lingkungan sekitar, terlebih jika sudah sampai kepada sikap menyalahkan perbedaan. Maka sebaiknya jangan sampai diajarkan kepada anak karena amat berbahaya, menyempitkan cara berpikir serta dikahawatirkan menjadi bibit dari sikap radikalisme dan fanatisme.

“Jadi sebelum kita berbicara tentang bagaimana mengajarkan hal itu kepada anak di rumah kita harus mulai memikirkan bagaimana kita menjaga pandangan dan perpektif kita terhadap manusia lainnya, karena pemikiran orang tua akan menjadi dasar berfikir bagi anak mereka,” pungkas Putri. ***