NKRI dan Islam Moderat dalam Tantangan Ekstrim Kiri dan Kanan

oleh -
Kasatgas Foreign Terorrist Fighter Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Kombes Pol Dr Didik Novi Rahmanto dalam webinar “Anti Radikalisme, Penanggulangan Bahaya dan Penyebaran Paham Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme pada Lingkungan Kerja” yang diselenggarakan oleh PT Jakarta Industrial Estete Pulogadung (PT JIEP) di Jakarta, beberapa waktu lalu. (Foto: ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Islam moderat yang ada di Indonesia saat ini berada dalam tantangan global. Pada ekstrim kiri misalnya NKRI dan Islam moderat dihadapkan pada tantangan neoliberal, kapitalisme, demokrasi, HAM, pluralisme dan sosialisme.

“Sedangkan pada ekstrim kanan, dihadapkan dengan terorisme, gerakan politik Islam radikal dan Islam transnasional,” ujar Kasatgas Foreign Terorrist Fighter Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Kombes Pol Dr Didik Novi Rahmanto dalam webinar “Anti Radikalisme, Penanggulangan Bahaya dan Penyebaran Paham Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme pada Lingkungan Kerja” yang diselenggarakan oleh PT Jakarta Industrial Estete Pulogadung (PT JIEP) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Webinar yang dibuka oleh Direktur Utama PT JIEP, Landi Rizaldi Mangaweang tersebut juga dihadiri oleh narasumber yaitu Direktur Nasional LPPDSDM BKPRMI, H. Nanang Mubarok, dan  Dosen Universitas Pancasila, Dr. Ricca Angraini Lee. Acara tersebut juga dihadiri oleh Dewan Komisaris dan Direksi PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung serta para Pimpinan perusahaan di Kawasan  Industri Pulogadung, unsur Muspiko dan aparat keamanan baik di lingkungan Kecamatan Cakung, Kelurahan Jatinegara dan Rawaterate, dan anggota Apindo DPK Jakarta Timur dan pimpinan perusahaan/ tenant-tenant di Kawasan Industri Pulogadung (KIP).

Kombes Didik mengatakan, radikalisme ada dua macam, yaitu radikalisme statis, yaitu berupa pemikiran radikal yang lebih bersifat gagasan, tidak dalam bentuk aksi nyata berupa kekerasan.

Kedua radikalisme destruktif, yaitu radikalime yang merusak dengan menggunakan metode kekerasan dalam mewujudkan tujuan yang dicita-citakan.

Sedangkan tipologi kelompok radikal tersebut, katanya, berupa radikal gagasan, radikal milisi, radikal separatis, radikal premanisme dan radikal dalam bentuk lainnya.

Dia mengatakan, intoleransi dan radikalisme dipengaruhi oleh faktor seperti ketidakpercayaan terhadap agama lain, fanatisme agama, dan sekularitas.

“Radikalisme dan terorisme tersebut merupakan ancaman terhadap kebhinnekaan karena kelompok ini menghendaki perubahan secara ekstrem sesuai dengan kehendak pengikutnya. Mereka juga hanya membenarkan kelompoknya sendiri dan kelompok yang ada di luar kelompoknya adalah kafir,” ujarnya.

Kelompok radikal terorisme tersebut juga, katanya, dalam memahami agama bersifat tektualis dan skriptualis. Tindakan kelompok ini hanya merendahkan citra Islam.

Adapun faktor-faktor terbentuknya radikalisme ada tiga, yaitu pertama, faktor domestik. Faktor ini terbentuk karena kondisi di dalam negeri misalnya adanya kemiskinan, ketidakadilan atau merasa kecewa dengan pemerintah.

Kedua, faktor internasional, yaitu pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentimen keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan, dan imperialisme modern negara adidaya.

Ketiga, karena faktor kultural, yaitu yang terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal.

 

Revitalisasi Hubungan Agama dan Negara

Sementara itu, Nanang Mubarok mengatakan bahwa dalam relasi agama dan negara telah muncul persoalan.

Pertama, yaitu adanya radikalisme sekuler, yaitu kelompok yang mudah menuduh bahwa umat beragama adalah pelaku anti kebhinnekaan. Umat beragama dituduh sebagai gerakan anti Pancasila, pro makar, dan melawan pemimpin negara. Kelompok radikal-sekuler ini selain bercirikan otoriter, dan hegemonik, berupaya mendelegitimasi peran agama tetapi juga berupaya mengaburkan tradisi luhur dan lanskap tata kawasan warisan nenek moyang Nusantara.

Kedua yaitu kelompok ekstremisme beragama. Kelompok ini ditandai oleh munculnya pemikiran dan perilaku beragama yang gemar mengkapling surga atas stempel khilafah. Mereka menggunakan teknik hoaks atas nama agama, mudah menghalalkan darah dan nyawa kelompok lain yang tidak sepaham dengannya serta gemar menyalahkan dan mengafirkan aliran lainnya sebagai telah keluar dari tuntutan Qur’an dan Sunnah.

“Ekstremisme beragama menodai ruh beragama yang hanif, moderat, dan toleran. Sementara radikalisme sekuler adalah pemberontakan terhadap prinsip negara religius yang menjunjung tinggi nilai-nilain gotong-royong, toleransi, kolektivitas, permusyawaratan, dan dialogis,” ujarnya.

Polarisasi keduanya, katanya, nyata-nyata memberi kesempatan kepada kelompok the invisible hand, propagandis, pengadudomba anak-anak bangsa antara kaum religius dan nasionalis yang sejatinya sama-sama memiliki komitmen untuk saling menghormati, mau bekerja sama membangun negeri tercinta, dan berkomitmen terhadap keutuhan NKRI dan tegaknya Pancasila dan UUD 1945.

Menurutnya, ada dua macam relasi antara Islam dan kebangsaan. Pertama, relasi segregatif-separatif. Dalam realasi model ini, Islam dan komitmen kebangsaan diposisikan secara diametral sebagai dua kutub yang berbeda domain. Islam adalah akidah, sementara kebangsaan berada di luar urusan akidah. Komitmen kebangsaan tidak memiliki landasan baik sakral ataupun profan. Bahkan kebangsaan juga diposisikan sebagai bentuk bida’ah (human create).

Kedua yaitu relasi mutualistik. Dalam relasi model ini Islam dan kebangsaan dalam konteks NKRI berdasarkan Pancasila tidak bersifat atas-bawah, tidak segregatif, melainkan sejiwa, senafas, saling membutuhkan, dan beriringan baik sebagai fondasi maupun cara menuju tujuan cita-cita nasional bangsa Indonesia yang sesuai dengan Al-Qur’an berupa baidatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Islam tidak mungkin bisa diaktualisasikan tanpa komitmen kebangsaan, demikian pula kebangsaan akan absurd jika tidak ada peran dan partisipasi nilai-nilai Islam di dalamnya.

Karena itu, dalam hubungan antara agama dan negara bangsa yang demikian itu maka perlu dilakukan revitalitasi harmoni antara keduanya.

Revitalisasi nasionalisme Indonesia misalnya dilakukan melalui penguatan simbol-simbol nasionalisme dan negara bangsa; Penguatan kebersamaan, solidaritas dalam waktu senang dan susah; Revitalisasi/rejuvenasi/resosialisasi Pancasila; Resosialisasi/reedukasi tentang integrasi agama dan negara bangsa melalui keluarga, sekolah dan masyarakat; dan penguatan Islam wasatiyah untuk menangkal ekstremisme, radikalisme dan terorisme.

Juga penting melakukan revitalisasi harmoni agama dan negara dalam kaitannya dengan konsolidasi demokrasi dan good governance. Hal ini misalnya dilakukan dengan konsolidasi demokrasi, penguatan good governance, pemberantasan korupsi, dan penegakkan hukum; Pemberdayaan religious-bassed civil society untuk penguatan komitmen pada negara-bangsa; Pengurangan/penghilangan disparitas cita kebangsaan dan Pancasila dengan realitas; Peningkatan peran kepemimpinan agama, sosial dan politik dalam penguatan/pemberdayaan harmoni agama dan negara-bangsa; dan pemberdayaan jaringan dan sinergi agama dan negara-bangsa.

Revitalisasi harmonisasi bertujuan demi terbangunnya kewaspadaan nasional yaitu adanya suatu sikap dalam hubungan dengan nasionalisme yang dibangun dari rasa peduli dan tanggung jawab serta perhatian seorang warga negara terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegaranya dari suatu potensi ancaman.

Hal itu dilakukan demi terbangunnya satu komunitas nasional yang senantiasa tetap terjaga dengan menggunakan 4 konsesus dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. ***