Oligarki Sebagai Ancaman Demokrasi

oleh -
Ferlansius Pangalila adalah Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Indonesia, dan Wakil Sekretaris Jenderal PP ISKA.

Oleh: Ferlansius Pangalila*)

JENDELANASIONAL.IDPendahuluan

Orang kaya sangat berpeluang memperoleh kekuasaan di Negeri ini, dan umumnya mereka tidak memiliki kendala berarti dalam mengikuti kontestasi baik di PEMILU maupun PEMILUKADA. Tentu hal ini bukanlah kejahatan, orang kaya yang masuk dunia politik dan berupaya memperoleh kekuasaan tertinggi melalui sistem demokrasi bukan juga suatu dosa. Pokonya kekuasaan material menggampangkan orang kaya masuk dalam kekuasaan politik dibandingkan seekor unta yang tidak punya apa-apa.

Sejarah banyak mencatat bahwa kesenjangan ekonomi berdampak pula pada kesenjangan politik. Silahkan kita lihat dan nilai bagaimana praktik kekuasaan yang berlaku di sekitar kita. Muncul fenomena pencalonan baik oleh partai politik maupun perseorangan kebanyakan datang dari golongan orang kaya atau setidaknya memiliki modal material yang mumpuni. Jika calon kebanyakan dari kelompok ini maka bukanlah hal yang mustahil apabila lembaga legislatif dan bahkan eksekutif kita adalah sekumpulan orang-orang kaya raya. Kumpulan orang kaya ini adalah mayoritas pengambil keputusan dan yang menjalankan roda pemerintahan, secara teori politik mereka disebut Oligark, dan sistem pemerintahan yang mereka jalankan disebut Oligarki.

Hebatnya oligarki tumbuh subur dalam Demokrasi yang bagi banyak negara merupakan sistem pemerintahan yang terbaik. Oligarki sendiri tidak lepas pada upaya mempertahankan dan meningkatkan kekayaan kaum oligark dalam kekuasaannya. Oleh karena itu tidak heran jika kita menemukan dalam pemerintahan masih terdapat sekumpulan orang yang memegang kekuasaan politik yang kita sebut sebagai elit-elit memiliki keterkaitan satu sama lain apakah terkait se-marga, se-kampung, se-agama, se-golongan dan lain sebagainya yang gampang sekali ditelusuri identitasnya.

Identitas merupakan refleksi diri sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri sendiri. Ini sebagai cermin dan sekaligus pendefinisian seseorang sebagai individu yang berbeda dengan individu yang lain. Namun demikian identitas dapat dikelompokkan karena asal dari keluarga, gender, budaya, keyakinan dan proses sosialisasi lainnya.

Dengan demikian tidak heran apabila Demokrasi hanya merupakan pertikaian atau setidaknya pertarungan dan persaingan kaum elit dalam memperoleh kekuasaan politik. Sehingga PEMILU maupun PEMILUKADA sesungguhnya adalah pertarungan antara elit-elit politik yang berbeda identitasnya.

 

Permasalahan Politik Oligarki

Oligarki memang tidak terlepas dari Politik ekonomi. Semakin besar dan luas kekuasaan suatu elit tertentu semakin besar peluang meningkatnya kekayaan elit tersebut. Meskipun hal ini masih tersamar dengan norma-norma yang ada terlebih norma hukum dan sosial. Namun bukan berarti bahwa norma-norma yang ada tidak dapat direkayasa sedemikian rupa untuk membenarkan secara etis maupun legal tindakan elit tertentu untuk meningkatkan dan melanggengkan kekuasaannya dalam rangka meningkatkan kekuasaan materialnya atau kekayaan.

Hal ini tentu tidak berlebihan sebab kekayaan atau basis kekuasaan material adalah basis kekuasaan oligarki. Meminjam pendapat Jeffrey A. Winters seorang pakar oligarki, bahwa “oligarki bukanlah sistem kekuasaan melainkan proses dan perangkat yang berkaitan dengan sejumlah kecil individu yang kaya raya yang secara unik karena kekayaan mereka menempatkannya dalam pertentangan dengan banyak lapisan masyarakat (bahkan sering dengan sesama mereka sendiri) yang berputar persis di sekitar tantangan politik untuk mempertahankan kekayaan yang terkonsentrasi.” Singkatnya bagi Winters, “oligarki sebagai politik mempertahankan kekayaan (wealth defense)”

Oleh karenanya Demokrasi sering mempertontonkan berbagai elit politik yang berasal dari golongan kaya raya saling bertarung dalam berbagai PEMILU dan PEMILUKADA. Menarik memang tetapi sekaligus menantang bagi kita untuk merumuskan kembali arti demokrasi yang sesungguhnya apakah memang demikian? Apakah Demokrasi tidak lebih berarti “dari orang kaya, oleh orang kaya dan untuk orang kaya”. Jika demikian tidak heran jika berbagai perangkat hukum yang merupakan rekayasa sosial dibuat dan diberlakukan hanya semata-mata untuk keuntungan para kaum elit ini.

Dalam perkembangan politik dewasa ini, kekuasaan material memang bukanlah satu-satunya penentu elektabilitas partai politik maupun seseorang, tetapi dalam banyak hal, material bisa jadi prasyarat penting dalam PEMILU dan PEMILUKADA. Barangkali Politik transaksional mengalami pertentangan yang cukup kuat dalam masyarakat karena norma sosial dan norma hukum sudah mulai sadar dan tegas soal tidak baik dan tidak dibenarkannya suap dan jual beli suara. Tetapi kondisi lain membolehkan dalam pertarungan politik butuh modal material baik dalam pencalonan hingga kampanye misal soal pencitraan calon dan mobilisasi masa saat kampanye. Belum lagi soal urgensi adanya kas partai dalam mendukung kerja-kerja politik yang membutuhkan donasi dari orang kaya yang mau menyumbang dan mencalonkan diri ikut kontestasi PEMILU dan PEMILUKADA.

Politik transaksional mungkin tidak dibenarkan dalam praktik demokrasi saat ini, tetapi mahar politik yang terselubung sebagai biaya operasional kampanye dan kerja-kerja politik masih dapat diterima dan menjadi keharusan bagi beberapa partai politik. Jika mahar politik dan keharusan calon membiayai kampanye dan kerja-kerja partai politik maka hanya orang-orang kaya saja yang dapat mencalonkan diri dan terpilih dalam PEMILU dan PEMILUKADA. Apakah oligarki elektoral ini salah? Secara moral politik masih terus diperdebatkan panjang lebar tetapi secara legal hal ini bukanlah kejahatan, tokh berbagai perangkat hukum PEMILU dan PEMILUKADA melibatkan elit-elit itu berproses dalam legislasi dan validasi di setiap tingkatan politik.

Celakanya politik oligarki dapat memanfaatkan politik identitas. Dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan mempertahankan kekayaan, identitas sering dimanfaatkan dalam meningkatkan popularitas dan elektabilitas calon. Meskipun politik identitas juga sering dipakai oleh kelompok atau calon yang secara material tidak cukup kuat menghadapi kaum elit yang tergolong oligarki ini.

Dalam kekuasaan politik semakin banyak oligark yang berkuasa maka berbagai sumber daya yang ada akan dimanfatkan untuk kepentingan oligarki. Umumnya media dan sumber daya lainnya dikuasai oleh orang kaya atau oligarki yang memegang kekuasaan, atau setidaknya jika tidak menguasai media secara modal, oligarki masih dapat mengintimidasi dan bahkan mengintervensi media-media yang ada melalui perangkat hukum atau bahkan intimidasi sosial lewat ormas-ormas yang sengaja disokong oleh kaum oligarki ini. Tentu hal ini hanya cerita di masa orde baru, ketika Soeharto masih berkuasa dan menjadi diktator.

Apakah cerita ini sudah berakhir di masa orde baru? Saya melihat sama sekali belum berakhir. Jika di masa itu oligarki sering dilihat sebagai kekuasaan baik ekonomi dan politik karena unsur kedekatan dengan Cendana, maka di era sekarang, oligarki dilihat sebagai pemanfaatan berbagai sumber kekayaan dan politik identitas. Banyak elit memahami bahwa politik identitas cukup efektif dalam memperoleh kekuasaan politik dan mempertahankannya. Contoh PEMILU 2014 dan PEMILU 2019 serta PEMILUKADA di Jakarta waktu yang lalu. Bagaimana politik identitas dimainkan dan dimanfaatkan dalam memperoleh kekuasaan politik tersebut.

Tahun 2022 akan segera berakhir artinya tahun 2023 yang merupakan tahun panas dalam pertarungan politik akan semakin terasa, sebab PEMILU 2024 akan digelar diawal tahun kemudian disusul dengan PEMILUKADA serentak di di banyak daerah. Tahun 2022 media telah memainkan peranan penting dalam menginformasikan berbagai bakal calon dan upaya-upayanya melalui survei-survei dan berbagai pencitraan lain. Lagipula beberapa tahapan PEMILU 2024 telah dimulai sejak pertengahan tahun 2022 ini.

Survei elektabilitas yang hanya merekam persepsi publik menjadi menarik karena tokh para kandidat ini masih didominasi oleh elit-elit politik tersebut, dan beberapa di antaranya terindikasi masih se identitas bukan hanya karena sesama ideologi partai politik melainkan juga se-marga atau setidaknya se-darah dan se-keluarga dengan penguasa atau mantan penguasa yang ada, disamping beberapa yang berupaya mempertahankan kekuasaan dan atau meningkatkan kekuasaan seperti dahulunya Bupati berupaya menjadi Gubernur, dan yang Gubernur berupaya menjadi Presiden dan yang dulunya Presiden berupaya menjadikan anaknya sebagai Presiden berikutnya. Ini tidak salah memang tapi  bagaimana soal moral politik demokrasi kita? Tentu masih diperdebatkan.

Mengapa hanya seputar ini kandidat kita atau apakah kita kekurangan kader baik di tingkat daerah untuk PEMILUKADA ataukah di tingkat pusat untuk PILPRES maupun PEMILU legislatif karena calonnya hanya itu-itu saja? Ataukah ini menjadi cerminan bahwa Demokrasi kita hanya melahirkan kelompok elit tertentu yang hanya berupaya memperoleh kekuasaan politik untuk mempertahankan dan meningkatkan kekayaan material/ekonomi kelompoknya?

Tidak bermaksud kasar sebenarnya bahwa elektabilitas yang diperoleh melalui berbagai survei yang ada terkesan hanya pencitraan yang tidak berbanding lurus dengan kualitas dan rekam jejak para kandidat tersebut. Di daerah mungkin kekurangan kandidat bupati atau gubernur yang secara kualitas baik dan memenuhi syarat yang layak untuk menjadi pelayan dalam jabatan politik yang semata-mata untuk kesejahteraan rakyat di daerah. Dan ditingkat pusat mungkin hanya elit-elit itu saja yang dianggap layak menjadi presiden untuk kesejahteraan umum.

Di daerah terasa betul soal oligarki ini, karena beberapa faktor seperti feodalisme, sentimen suku, agama, ras dan antar golongan menjadi pemicu utama faktor elektabilitas seseorang. Tetapi apa yang terjadi di masa orde baru, nepotisme dan bahkan faktor se-keluarga menjadi unsur penting dalam elektabilitas. Entah ini termasuk oligarki atau tidak, yang jelas bahwa fenomena Pejabat politik yang mencalonkan istri, anak, ipar dan bahkan mertua untuk mengisi jabatan-jabatan politik lainnya atau untuk menggantikannya menjadi kecenderungan politik di berbagai daerah. Hal ini tentu tidak salah sejauh memenuhi syarat pencalonan dan tentu tidak bertentangan dengan moral politik yang ada. Sekali lagi muncul pertanyaan apakah memang sudah tidak ada calon lain yang memiliki kualitas dan rekam jejak yang mumpuni yang dapat dicalonkan untuk mengikuti PEMILUKADA di daerah ini?

 

Penutup

Permasalahan oligarki, baik maksud dan berbagai pertanyaan yang muncul di atas menjadi tanggung jawab kita sebagai masyarakat yang memegang kedaulatan tertinggi dalam Demokrasi. Meskipun sumber informasi saat ini lebih banyak berasal dari media yang dikuasai oleh elit oligarki, namun masyarakat perlu memperoleh literasi politik yang baik dan benar. Literasi menjadi penting dalam konteks demokrasi agar tidak tertipu dengan berbagai pencitraan yang tidak sesuai dengan kualitas dan rekam jejak para kandidat yang semakin menjamur mendekati tahun-tahun politik ke depan.

Diharapkan masyarakat tidak terjebak pada pola-pola praktik politik transaksional yang lebih mengutamakan uang dan jabatan dengan mengorbankan esensi demokrasi yang sesungguhnya yakni demi meningkatnya kesejahteraan umum dan bukan meningkatnya kekayaan oligarki.

Penting sekali peranan dari partai Politik, media massa, organisasi kemasyarakatan, kaum intelektual dan dunia akademik, serta para tokoh agama untuk bertanggung jawab memberikan literasi politik yang baik dan benar bagi masyarakatnya. Meskipun ini tantangan terberat yang kita hadapi dikala politik identitas dan oligarki berperan besar dalam pencitraan para kandidat dengan berbagai strategi pemenangan yang masih dihiasi berita-berita hoax, black campaign yang terus menggerogoti proses demokrasi kita saat ini.

Kita bukan seekor unta dungu yang lebih gampang masuk surga daripada masuk kekuasaan politik. Kita perlu literasi politik sehingga dapat memilih pemimpin yang dapat membawa kedamaian surga di tengah dunia ini. Karena kita masih hidup dan memperjuangkan kehidupan saat ini menjadi makin baik dan damai bukan hanya kehidupan setelah kematian melainkan baik sebelum dan sesudah benar-benar mati kita benar-benar merasakan kedamaian.

Tomohon, 29 Oktober 2022

*) Ferlansius Pangalila adalah Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Indonesia, dan Wakil Sekretaris Jenderal PP ISKA.