Patung Maria dari Gaharu, Tanda Cinta Kardinal Suharyo untuk Papua

oleh -
Kardinal Suharyo (kanan) dan Georgius Gomas Harus (kiri) memegang patung Bunda Maria yang dipersembahkan secara khusus untuk Tanah dan Rakyat Papua di kediamannya Komplek Katedral, Jakarta, Rabu (04/09/2019). (Foto: ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Kardinal Suharyo yang juga Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) mempersembahkan sebuah patung Bunda Maria yang sedang menggendong bayi Yesus untuk tanah dan rakyat Papua. Pemberian patung itu adalah tanda cintanya yang mendalam kepada pulau terbesar di Indonesia itu.

Kardinal Suharyo berharap, patung yang terbuat dari kayu gaharu itu akan membawa kedamaian dan perdamaian di tanah Papua yang saat ini sedang bergejolak.

Hal itu diungkapkan Kardinal Suharyo kepada pegiat devosi kebangsaan, AM Putut Prabantoro dan Georgius Gomas Harun, saat memberikan Patung Maria Bunda Segala Suku di rumah kediaman Kardinal di Jakarta, Rabu sore (04/09/2019).

“Kardinal Suharyo menghendaki patung tersebut diberikan ke tanah dan rakyat Papua melalui Uskup Jayapura  Leo Laba Ladjar. Secara khusus, Kardinal Suharyo menitipkan patung Bunda Maria tersebut kepada Georgius Gomas Harun untuk membawanya ke tanah Papua,” ujar Putut melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (5/9).

Menurut Gomas Harun, patung dengan berat 4 (empat) kg  dan tinggi 60 cm terbuat dari kayu gaharu yang sudah sangat langka dijumpai. Bahan dasar patung yakni kayu gaharu itu merupakan persembahan dari Antoni Ong yang tinggal di Jayapura, Papua dan kemudian dibuat menjadi patung oleh salah satu maestro patung di Bali.

“Saya tidak tahu berapa tahun usia kayu gaharu tersebut, namun saya kira sudah tua sekali jika dilihat dari urat-urat yang ada pada patung tersebut. Ketika beliau menghendaki patung tersebut dihadiahkan kepada tanah dan rakyat Papua, saya dapat merasakan cinta beliau yang sangat mendalam kepada tanah dan rakyat Papua. Beliau ingin patung Bunda Maria itu dapat menghadirkan kedamaian dan perdamaian di tanah Papua. Beliau sangat prihatin atas apa yang terjadi di tanah Papua saat ini,” ujar Gomas Harun.

Kardinal Suharyo (kanan) menerima patung Bunda Maria Segala Suku dari AM Putut Prabantoro (baju putih) di kediamannya komplek Katedral Jakarta, Rabu (04/09/2019). (Foto: Ist)

Namun Gomas Harun menyatakan belum tahu kapan waktu yang tepat untuk membawa patung tersebut ke Papua. Dirinya harus berkordinasi dengan Uskup Jayapura Leo Laba Ladjar terlebih dahulu untuk mendapatkan masukan apa saja yang harus dipersiapkan. Bagi Gomas, tugas khusus dari Kardinal menjadi tanggung jawab yang berat dan besar.

Sementara itu AM Putut Prabantoro menegaskan bahwa patung dari Kardinal Suharyo ini adalah momentum sejarah bagi Gereja Katolik di Indonesia dan Tanah Papua khususnya terkait dengan penunjukan Mgr Ignatius Suharyo sebagai Kardinal oleh Paus Fransiskus akhir pekan lalu. Dalam konteks ini, Putut Prabantoro yakin bahwa Tanah dan Rakyat Papua menjadi perhatian Kardinal Suharyo, yang karena gelar tersebut memiliki hak memilih dan dipilih sebagai Paus.

“Patung Maria Bunda Segala Suku menjadi salah satu ikon Keuskupan Agung Jakarta yang diawali dengan perlombaan Seni patung, lukis dan fotografi yang diadakan pada tahun 2015. Pada bulan Mei 2017 diumumkan pemenang dari lomba tersebut adalah Robert Gunawan, seorang guru lukis anak-anak yang berasal dari Matraman, Jakarta. Dari lukisan tesebut kemudian dijadikan patung yang dikerjakan oleh maestro patung di Bali,” ujar Putut Prabantoro.

“Maria – Bunda Segala Suku” adalah sebutan istimewa untuk Bunda Maria dan disebut fenomenal karena terkait dengan merebaknya ancaman terhadap keutuhan kebangsaan dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam malam penghargaan pada Mei 2017, Mgr Ignatius Suharyo mengatakan, di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Pernyataan Mgr Ignatius Suharyo “tidak ada yang kebetulan” merujuk pada waktu pengumuman pemenang sayembara lomba lukis, patung dan fotografi yang mundur satu tahun dari seharusnya, yakni Mei 2016 atau setahun setelah pembukaan resminya pada 30 Mei 2015.

Namun dengan berbagai alasan, pengumuman itu baru terjadi pada 22 Mei 2017, ketika Indonesia terpolarisasi akibat politik bernuasa suku, agama, ras antara golongan (SARA) yang terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta. (Ryman)