Patut Disesalkan, Komnas HAM Telah Ditunggangi 75 Pegawai KPK

oleh -
Gedung KPK. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Komnas HAM seharusnya menyatakan diri tidak berwenang memproses pengaduan 75 Pegawai KPK yang diberhentikan oleh Pimpinan KPK akibat tidak lolos dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Dengan memprosesnya, maka Komnas HAM dinilai telah melanggar Undang-undang yaitu dengan menyalahgunakan wewenang, melampaui wewenang, mencampuradukan wewenang dan bertindak sewenang-wenang.

Hal itu dikatakan Koordinator TPDI Petrus Selestinus melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (9/6).

Petrus yang juga advokat Peradi ini mengatakan, apa yang dilakukan oleh Pimpinan KPK Firli Bahuri dkk. merupakan tindakan hukum administrasi negara, berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi sesorang  atau badan hukum perdata, yang masuk wewenang Pengadilan TUN.

“Dengan pemberhentian 75 Pegawai KPK oleh Pimpinan KPK selaku Pejabat Tata Usaha Negara, maka antara 75 Pegawai KPK dan Pimpinan KPK berada dalam sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkan Keputusan TUN (Pemberhentian) termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 51 Tahun 2009 Tentang TUN),” ujarnya.

Petrus mengatakan bahwa patut disesalkan sikap Komnas HAM, karena rendahnya pemahaman terhadap Hukum Tata Usaha Negara dan Administrasi Pemerintahan, sehingga dengan mudah ditunggangi oleh 75 orang Pegawai KPK yang diberhentikan.

“Apa yang terjadi dengan Komnas HAM, yang saat ini katanya sudah memeriksa 19 orang pegawai KPK dan menerima 3 bundel dokumen terkait kasus dugaan pelanggaran HAM terkait TWK, itu jelas merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilarang oleh pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan,” ujarnya.

Petrus mengatakan bahwa tindakan menyalahgunkan wewenang oleh Komnas HAM  dalam memproses pengaduan 75 Pegawai KPK, meliputi tindakan melampaui wewenang; mencampuradukan wewenang; dan/atau bertindak sewenang-wenang.

Oleh karena itu Pimpinan KPK cukup mengirim surat dan menyatakan keberatan memenuhi panggilan Komnas HAM dan persilakan 75 Pegawai KPK untuk menggunakan haknya mengugat ke PTUN Jakarta.

“Anehnya Komnas HAM tidak bisa membedakan mana yang merupakan  tindakan yang masuk kategori Perbuatan Melanggar Hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik dan mana yang masuk kategori Pelanggaran HAM, padahal UU sudah memberikan batasan yang jelas dan tegas, termasuk kapan Komnas HAM boleh bertindak,” katanya.

Petrus menyebutkan sebanyak 75 Pegawai KPK dan Komnas HAM pura-pura tidak tahu dan tidak memahami adanya upaya administratif dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan yang dapat ditempuh sebagai akibat dikeluarkannya keputusan atau tindakan yang merugikan.

Karena itu, jika 75 Pegawai KPK yang diberhentikan tidak menempuh upaya administratif, maka hal ini akan berimplikasi membawa Komnas HAM dan KPK, masuk dalam sengketa kewenangan sesuai pasal 16 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, yang dikenal dengan upaya “keberatan” dan “banding”.

Oleh karena itu sikap Pimpinan KPK yang tidak memenuhi panggilan Komnas HAM sebagai sikap menghormati hukum, karena apa yang dilakukan Komnas HAM jelas telah memyalahgunakan wewenang, yaitu mengambil alih wewenang Pengadilan TUN.

“Perbuatan Komnas HAM jelas telah melanggar larangan menyalahgunakan wewenang, terdiri dari (melampauai wewenang, mencampuradukan wewenang dan bertindak sewenang-wenang),” pungkasnya. (Ryman)