Pembekalan Bela Negara, Calon Pendeta GPIB Punya Keterpanggilan Suarakan Perdamaian

oleh -
Taprof Bidang Ideologi dan Sosbud, AM Putut Prabantoro hadir mewakili Gubernur Lemhannas RI Andi Widjajanto kepada para calon pendeta Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) dalam acara yang berlangsung di Lawang, Jawa Timur, Senin (07/11/2022). (Foto: Ist)

Lawang, JENDELANASIONAL.ID – Sudah saatnya kaum muda Indonesia menyuarakan perdamaian secara bersama-sama karena merupakan amanat Pembukaan UUD 1945.

Kaum muda juga harus bekerja sama dengan semua orang untuk menghadirkan perdamaian tersebut di dunia nyata serta  menyerukan agar perang antara Ukraina dan Rusia berakhir. Seruan perdamaian itu harus dilakukan terus menerus tanpa kenal lelah oleh para pemuka agama.

Demikian ditegaskan Taprof Bidang Ideologi dan Sosbud, AM Putut Prabantoro yang hadir mewakili Gubernur Lemhannas RI Andi Widjajanto kepada para calon pendeta Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) dalam acara yang berlangsung di Lawang, Jawa Timur, Senin (07/11/2022).

Sebelumnya sebanyak 66 calon pendeta (Vikaris) GPIB selama 7 (tujuh) hari menjalani pendidikan bela negara di Rindam V Brawijaya.

Putut mengatakan, dalam konteks perwujudan perdamaian, Presiden Joko Widodo baru saja menerima Penghargaan Perdamaian Internasional Imam Hasan Bin Ali Tahun 2022 yang diserahkan oleh Sekretaris Jenderal Forum Perdamaian Abu Dhabi Cheikhna Abdallah AlSheikh AlMahfodh Bin Bayah di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (7/11/2022).

Bangsa Indonesia, kata Putut, harus menyuarakan perdamaian karena diamanatkan oleh UUD 1945 yakni ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Putut juga menambahkan bahwa pemuka agama tidak hanya mendorong terwujudnya perdamaian, tetapi juga harus mencerdaskan dan sekaligus menyejahterakan para jemaatnya.

Covid-19 merupakan contoh riil dari persoalan dunia yang tiba-tiba datang ke dunia. Dampak dari Covid-19 juga dihadapi institusi keagamaan dan para pemuka agama harus menjelaskan dengan benar tentang Covid-19 ini. Dunia termasuk Indonesia, tak luput dari pandemi tersebut dan akan melewati masa-masa kritis pada tahun-tahun mendatang.

“Kalian harus siap menghadapi tantangan dunia yang penuh dengan dinamika. Sebagai pemuka agama, kelak kalian dihadapkan pada begitu banyak ancaman yang terlihat dan tidak terlihat. Ancaman bukan hanya soal senjata tetapi juga soal media sosial yang menyebarkan hoax. Hoax dengan sengaja disebarkan dan bertujuan untuk menghancurkan persatuan Indonesia. Oleh karena itu, sebagai calon pemimpin, sebelum mencerdaskan umat, harus mencerdaskan diri terlebih dulu, membekali diri secara bijak, mengetahui kondisi jemaat dan masyarakat sosial,” kata Putut.

Selain cerdas dan bijak, menurut Putut, para pemuka agama juga harus cerdik dalam menyiasati begitu banyak ancaman dan tantangan yang sangat nyata.

Dia mengatakan, keberagaman merupakan modal bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa besar. Sejak lahir, apa yang diterima oleh seorang bayi baik dari orang tua, suku, saudara, maupun tempat kelahirannya merupakan talenta atau modal yang harus diterima sebagai anugerah untuk hidup di masa datang. Talenta itu harus dikembangkan sebagaimana yang ditulis dalam kitab suci.

Hal yang sama ketika kita bicara soal Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 adalah anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia. Keberagaman harus dijadikan kekuatan dan bukan sebaliknya menjadi kelemahan. Persatuan Indonesia yang merupakan center gravity (titik berat) harus dijaga dan dipelihara karena merupakan inti kekuatan dari Pancasila.

 

Miliki Keterpanggilan

Sementara itu, Ketua Pembekalan Vikaris dan Mentor GPIB, Pendeta Dina Meijer – Hallatu menegaskan, upaya menghadirkan perdamaian di dunia adalah tugas yang dipercayakan Tuhan kepada umatNya. Setiap anak bangsa sekaligus orang beriman memiliki keterpanggilan untuk menyuarakan perdamaian tersebut.

Pendeta Dina menjelaskan bahwa Indonesia masa kini dan masa depan merupakan realitas bersama. Perang sudah tidak lagi konvensional seperti dulu. Namun yang jelas, perang dalam bentuk apapun dari dulu hingga kini telah berdampak bagi kemanusiaan dan alam semesta.

Bahkan perang pada masa kini telah berubah menjadi perang dalam bentuk multi dimensional yang menyangkut ekonomi dunia, transportasi, industri senjata dan energi.

“Yang berperang dua pihak tetapi yang menjadi korban adalah dunia. Kondisi tersebut bermuara pada satu tugas panggilan bersama yaitu mengupayakan perdamaian sekecil atau sesederhana apapun bentuknya. Para pemimpin muda harus dibekali dengan pengetahuan dan juga kepekaan agar memiliki tanggungjawab agar karunia Tuhan dalam hidup ini terjaga, terawat dan mengalami perkembangan yang signifikan. Semuanya hanya untuk kemuliaan Tuhan dan kehidupan yang berkelanjutan,” tegasnya. ***