Pembekalan Mahasiswa Poltekpar Medan, Merawat Indonesia Ibarat Memasak

oleh -
Foto Bersama (ki-ka) – WADIR I Poltekpar Medan Femmy Indriany Dalimunthe, DIREKTUR Poltekpar Medan Anwari Masatip, Alumnus Lemhannas RI PPSA XXI AM Putut Prabantoro (Narasumber) dan WADIR II Poltekpar Medan Mustafa Kamal, di Poltekpar Medan, Kamis (03/10/2019). (Foto: Ist)

Medan, JENDELANASIONAL.ID — Merawat Indonesia yang beragam budaya, agama, suku, ras, kelompok dan bahasa ibarat memasak dan meramu makanan dengan berbagai bumbu di dapur sebuah hotel besar. Ketidaktahuan akan kegunaan dan fungsinya bumbu yang beranekaragam itu akan menjadikan sebuah masakan mahal menjadi tak berharga karena tidak ada yang mau menyantapnya. Kekeliruan memberikan bumbu yang sesuai dengan takaran juga menjadikan sebuah makanan favorit menjadi  tanpa harmoni rasa.

Demikian ditegaskan Alumnus Lemhannas RI PPSA XXI, AM Putut Prabantoro dalam pembekalannya kepada 200 mahasiswa Politeknik Pariwisata (Poltekpar) Medan, Kamis (03/10/2019). Thema pembekalan “Kampus Dan Masa Depan Indonesia” itu mengambil judul “The Spirit Of Indonesia” dengan menitikberatkan pada apa yang bisa dipelajari dari industri perhotelan.

Narasumber pembekalan “KAMPUS DAN MASA DEPAN INDONESIA” AM Putut Prabantoro, Alumnus Lemhannas RI PPSA XXI di tengah-tengah para mahasiswa Poltekpar Medan, Kamis (03/10/2019). (Foto: Ist)

Menurut Putut Prabantoro, industri perhotelan mengajarkan para mahasiswa, yang kelak akan menjadi pemimpin masa depan Indonesia, untuk menghargai perbedaan, keberagaman, dan sekaligus persatuan.  Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) itu menandaskan para mahasiswa harus belajar dari seorang Chef, Barista dan juga Tata Graha (houskeeping).

“Sebuah masakan yang enak disantap pada dasarnya sebuah budaya menghargai berbagai perbedaan yang berasal dari masing-masing bahan dasar dan juga bumbunya yang menjadi satu kesatuan. Justru karena berbagai perbedaan yang menjadi satu itulah sebuah masakan menjadi sebuah cita rasa. Oleh karena itu, karena kepandaian masing-masing pemasak atau chef, bahan yang sama dapat menjadi berbagai jenis masakan yang diminati,” ujar Putut Prabantoro melalui pernyataan pers, di Jakarta, Jumat (4/10).

Para calon pemimpin Indonesia di masa datang itu, diminta Putut Prabantoro, untuk melihat dan memahami betapa kekayaan berupa budaya, suku, agama, bahasa dan juga kekayaan alam merupakan bahan material “masakan” yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia. Dari kekayaan itulah kemudian dapat dijadikan berbagai masakan lezat yang tiada duanya di dunia.

Namun jika kekayaan yang begitu banyaknya tersebut tidak dikelola dengan baik, tidak dipahami dengan bijaksana akhirnya menjadi barang yang mubasir dan tidak berguna.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Putut Prabantoro, para mahasiswa harus percaya terhadap “resep” masakan para master chef dulu yakni para leluhur, para bapa bangsa ataupun pendiri negara. Resep masakan dan makanan tradisional itu dibuat karena seluruh bahan material dan bumbunya ada di Indonesia dan tidak ada dari negara asing. Bahkan karena kekayaan bumbu yang ada di Indonesia, bangsa asing menjajah Indonesia.

“Dalam konteks itu, resep yang dibuat para leluhur sifatnya tidak mengada-ada. Sehingga masakah yang dihasilkan adalah bercita rasa Indonesia dan bukan masakan Indonesia dengan cita rasa asing. Hal yang sama juga dengan Pancasila yang merupakan nilai-nilai luhur yang ada di Indonesia. Jika Negara Kesatuan Republik indonesia ibarat sebuah masakan, maka bumbu-bumbu yang digunakan adalah nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang terwujud dalam Pancasila. Jika NKRI menjadi masakan yang tidak enak dimakan, itu pasti bumbunya bukan Pancasila. Oleh karena itu jangan salah bumbu,” tegas Putut Prabantoro, yang juga Ketua Presidium  ISKA Bidang Komunikasi Politik.

Peserta pembekalan “KAMPUS DAN MASA DEPAN INDONESIA” berfoto bersama dengan WADIR I Poltekpar Medan Femmy Indriany Dalimunthe dan Narasumber AM Putut Prabantoro, Alumnus Lemhannas RI PPSA XXI (tengah), Poltekpar Medan, Kamis (03/10/2019). (Foto: Ist)

Hal yang sama juga terjadi pada profesi Barista, sebutan untuk seseorang yang pekerjaan memilih, membuat dan menyajikan kopi kepada pelanggan.  Betapa bangsa Indonesia harus bangga dengan berbagai jenis kopi yang lahir di tanah nusantara ini. Tumbuhan kopi terbentang dari Aceh hingga Papua dan memiliki kekhasan sendiri. Nama kopi itu menjelaskan asal dari tumbuhan itu ditanam atau berasal seperti kopi Gayo, Sidikalang, Sinabung, kopi NTT, Kopi Toraja dll.

“Namun yang terjadi adalah, sebagian anak muda menyukai kopi asing yang dianggap lebih modern dan bergaya hidup. Padahal kopi asing itu bahannya dari Indonesia dan diolah di negara tujuan dan kemudian dikonsumsi oleh anak muda Indonesia. Seharusnya, bangsa Indonesia dapat membuat kopi-kopi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Para mahasiswa dapat membuat kopi jenis baru yang merupakanhasil campuran dari berbagai kopi di Indonesia dan kemudian dinamakan kopi NKRI,” ujar Alumnus PPSA XXI itu.

Seperti halnya kopi, diurai lebih dalam, di Indonesia terdapat berbagai suku. Semua suku memiliki kekhasan, keunikan dan kehebatannya. Suku-suku ini menjadi berharga dan bernilai ketika hidup berdampingan menjadi satu karena di situlah substansinya. Semua suku dalam ikatan NKRI sama berharganya dan di tangan “barista” masa depan, semua suku di Indonesia akan semakin menjadi kekuatan yang tiada tandingnya. Dan Indonesia membutuhkan banyak “barista” kebangsaan agar kekayaan keberagaman itu menjadi kekuatan yang tak terpecahkan. (Ryman)